Hidup terus berlanjut, jangan sampai hanya terpaut dengan masa lalu. Jadikan itu penyeimbang layaknya spion mobil, jika hanya terfokus kesana maka akan nabrak. Namun jika terlalu fokus melihat depan tanpa menoleh ke spion maka tetap akan nabrak juga.
~goresanpena~***
Bismillahirrahmanirrahim..
Hai,
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
Athacha balik lagi nih, semoga suka dengan part ini
Tinggalkan jejak dengan memberikan vote dan komen ya
Tandai jika ada typo, terimakasih..
Happy reading..
----------
Sore yang mendung ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Sudah tiga bulan lebih, dia tidak pernah berhenti datang dan terus menumpahkan tangisnya pada gundukan tanah kecil yang terdapat di depannya ini.
Dalam pembaringan ini, seorang yang sangat dia nantikan kehadirannya, seorang yang sangat dia sayangi telah beristirahat dengan tenang. Bahkan belum sempat dia untuk melihat seperti apa rupanya, seperti apakah wajahnya yang selama sembilan bulan selalu dibawanya kemana-mana. Apakah menyurapai dirinya ataukah mirip dengan orang itu.
Sayangnya belum sempat dia memeluknya, mendengar tangisnya, sang anaknya sudah kembali duluan kehadapan-Nya. Apakah ini karma? Karna sebelumnya dia sangat tidak mengharapkan dan menginginkan kehadiran anaknya. Sehingga lebih memilih untuk pergi sebelum dia sempat untuk melihatnya.
Sudah dua jam lebih, perempuan itu masih belum beranjak dari duduknya. Air matanya masih mengalir menangisi sang anak.
"Sudah tiga bulan tiga belas hari ya, Apa kabar anaknya Bunda disana? Kamu lagi main ya disana dengan para bidadari-bidadari surga. Apakah mereka sangat sayang padamu?"
Tidak ada jawaban hanya hembusan angin yang mengiringi pertanyaan darinya.
"Seandainya kamu masih disini bersama Bunda. Pasti kamu sudah bisa tertawa, sudah bisa mengenal Bunda, sudah bisa mengoceh apapun itu yang bisa membuat Bunda selalu tersenyum melihat tingkahmu." diusapnya nisan sang anak.
"Mungkin hari-hari Bunda akan dipenuhi dengan tawa, mendengar suara tangisanmu ditengah malam yang membuat Bunda begadang, merawatmu di saat sakit yang membuat Bunda khawatir sepanjang malam." bibirnya tersenyum tipis membayangkan hal-hal yang baru saja dia katakan.
"Sayangnya Bunda hanya bisa melihat dirimu tidak lebih dari satu detik, hanya bisa mendengar tangismu saat kamu dilahirkan. Seandainya-"
Air matanya jatuh lagi, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Seandainya hari itu Bunda tidak pingsan, seandainya Bunda diberikan kesempatan untuk melihat dirimu lebih lama lagi."
Jari-jarinya sesekali terus bergerak mengelap air matanya yang terus mengalir.
"Insyaallah Bunda sudah ikhlas sayang, kamu sudah bahagia disana. Bunda juga harus bahagia disini kan? Bunda pasti akan terus mendoakan kamu disana. Kamu juga mendoakan Bunda ya! Semoga Bunda tidak terus menangis saat mengingat dirimu, melainkan terus tersenyum saat membayangkan bagaimana kamu sembilan bulan di perut Bunda. Membayangkan saat kamu menendang disini," diusap perutnya tempat sang anak tumbuh sebelumnya.
Dia menyunggingkan senyum tipis. "Bunda akan memulai kehidupan baru, bukan untuk melupakan dirimu. Tapi, mencoba untuk mengikhlaskan sayang."
Kembali diusapnya batin nisan sang anak. "Bunda pergi ya. Bukan, bukan untuk meninggalkan dirimu. Bunda akan terus datang kesini bukan dengan air mata lagi. Tapi, dengan senyuman manis menyambut dirimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Athacha
Teen Fiction(Dilarang plagiat) Pernikahan akibat kesalahpahaman. dua pribadi yang baru ditemukan sudah terikat dengan pernikahan. sanggupkah mereka menjalani dan mengurus anak diusia yang masih muda? Acha remaja yang sikapnya sebelas dua belas dengan bocah, mam...