🍓 Lautan Air Mata

3.9K 417 59
                                    

Kedua mata Rio membelalak saat mendapati Zefa menangis di kamar. Dia baru sampai beberapa saat lalu, dan bukannya mendapat sambutan manis, dia justru disambut dengan hal yang paling tidak ia duga.

“Zefa kamu kenapa?” tanya Rio panik. Zefa terduduk di atas kasur sambil menekuk kakinya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Ia menangis sesenggukkan tanpa berniat menjawab pertanyaan Rio.

“Ze?” Rio menyentuh lengan Zefa, tapi langsung ditepisnya kasar.

“Zefa?” kaget Rio atas perlakuan Zefa. “Kamu marah sama aku Ze?”

Jelas sekali Rio bingung. Tadi pagi mereka masih baik-baik saja, mereka bahkan masih sarapan bersama. Lantas mengapa sikap Zefa tiba-tiba berubah? Rio merasa dia tidak melakukan kesalahan apapun hari ini. Dia sibuk di restoran mengurus salah satu tamu penting dan rombongannya, dia pun sudah bilang soal itu pada Zefa. Lalu kenapa?

“Ze, tell me what's wrong? Kamu ada masalah di kantor atau kamu marah sama aku gara-gara sesuatu?” Suara Rio melembut. Dia duduk di tepi ranjang dan menghadap ke arah Zefa, namun wanita itu tetap enggan menjawabnya. Hingga tak sengaja tatapan Rio jatuh pada benda asing yang tergeletak di samping Zefa. Rio meraih benda itu dan mengamatinya. Rasanya dia pernah melihatnya.

“Ini test pack?” tanya Rio bingung. “Kamu kenapa be—” Ucapannya terhenti saat ia melihat tanda dua garis merah pada benda itu. Ditatapnya benda itu dan Zefa bergantian. Rio menganga tak percaya. “Ka-kamu hamil Ze?”

Suara Rio tercekat. Namun selang beberapa detik senyuman lebar terbit di wajahnya. Itu adalah reaksi alami dari seseorang yang mengharapkannya, tapi Rio tak menyadari bahwa sang istri tidak mengharapkan hal yang sama dengannya.

“Kamu kenapa nggak bilang sama aku Ze astaga, aku nggak nyangka kamu beneran langsung hamil. Aku harus cepet-cepet ngasih tau Mama.” Mendengar suara Rio yang berubah antusias dalam sekejap, Zefa sontak mengangkat wajahnya dan memandang tajam lelaki itu. Wajah Zefa benar-benar berantakan. Rambutnya kusut dan beberapa menempel di pipi, matanya merah sembab serta jejak air mata terlihat jelas di kedua pipinya.

“Kamu seneng aku hamil?” Tanpa sadar Zefa mengeluarkan nada sinis dalam ucapannya, tapi sepertinya Rio tak begitu menyadari.

“Iya dong Ze masa nggak seneng? Aku beneran nggak nyangka kamu bakal langsung hamil. Allah pasti sayang banget sama kita.”

“Sayang?” tanya Zefa nyalang, lalu suaranya naik satu oktaf. “Tapi aku nggak mau hamil Ri!” Zefa berteriak marah, Rio sampai terkejut karenanya.

“Aku nggak mau hamil Rio, aku belum siap!” Tangis Zefa kembali pecah dan saat itulah Rio sadar mengapa tadi ia menemukan Zefa dalam keadaan menangis. Ternyata mereka belum sepaham.

“Ze, aku—” Rio kehilangan kata-kata. Perasaan bahagia yang barusan dirasakannya sudah menguap entah kemana.

“Kamu cowok Ri, beban kamu nggak akan sebanyak aku. Tugas kamu cuma menafkahi aja, sementara aku? Aku harus nanggung nyawa selama 9 bulan di perut aku, aku harus siap-siap jadi ibu yang aku sendiri tau kalau aku belum siap buat itu. Aku nggak mau hamil Ri, nggak mau.” Kepala Zefa menggeleng kuat. “Kita seharusnya nggak ngelakuin itu, aku seharusnya nggak hamil.”

Seketika raut wajah Rio berubah kecewa. Dia tak menyangka reaksi Zefa akan sehisteris ini. “Kamu nyesel Ze?” Rio bertanya lirih. Ia berharap Zefa akan menjawab tidak, tapi yang didengarnya justru sebalikya.

“Iya aku nyesel!” Zefa menjawabnya tanpa pikir panjang. Perasaannya sedang sangat kalut. “Bayi ini nggak seharusnya ada!”

“Zefa!” Rio menyela, tanpa sadar dia menaikkan nada suaranya. Rahangnya mengeras saat mendengar kalimat terakhir Zefa. Ia tahu Zefa masih syok, tapi seharusnya dia tidak sampai berkata seperti itu. “Kamu sadar nggak apa yang barusan kamu omongin?”

Neapolitan: StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang