🍓 Badai Musim Semi

3.6K 437 78
                                    

Rio mengurai pelukannya ketika tangis Zefa sudah mereda. Dia mengelus pipi Zefa, menghapus sisa-sia air mata di pipinya sembari menatap wanita itu penuh perhatian. Cahaya matahari terlihat menyusup dari balik gorden. Di luar sana hari terlihat sangat cerah, berbanding terbalik dengan suasana di dalam rumah yang penuh air mata.

“Udah agak tenang?” Suara Rio mengalun lembut, Zefa mengangguk sebagai jawaban. Lalu tangan Rio yang semula menangkup wajah Zefa, bergerak naik untuk mengelus kepalanya. Zefa diam tak bergerak.

“Ze?” Ragu-ragu Zefa mendongkak, mempertemukan tatap mereka dalam satu garis lurus. Meski rasa kesal belum reda sepenuhnya dari hati, Zefa bisa melihat betapa lelaki di depannya ini merasa teramat bersalah. Kedua mata Rio terlihat kuyu, raut wajahnya penuh kegundahan dan Zefa tahu bahwa dia adalah alasan dibalik semua itu.

“Aku emang nggak akan ngerasain apa yang kamu rasain,” ucapnya. “aku nggak akan mengandung seorang bayi selama sembilan bulan di dalam perutku, aku nggak akan ngerasain ketakutan melahirkan sebesar apa yang kamu rasa, aku nggak juga nggak tau gimana rasanya takut menjadi seorang ibu. Beban yang bakal aku hadapi memang nggak akan seberat kamu Ze.” Tangan Rio turun, kini dia meraih tangan Zefa ke dalam genggamannya.

“Tapi aku bakal selalu ada di sini Ze, aku bakal selalu ada buat kamu. Jadi bilang sama aku apa yang harus aku lakuin, apa yang bisa aku bantu buat ngeringanin beban kamu. Apapun Ze ... apapun bakal aku lakuin asal kamu mau nerima bayi ini.” Kedua mata Rio berkaca-kaca. Zefa tercenung, kaget melihatnya.

“Maaf kalau pada akhirnya aku tetap egois.”

Zefa menjadi saksi saat sebulir air mata lolos membasahi pipi Rio. Di detik yang sama pula entah kenapa ia merasa seakan ada yang mencubit ulu hatinya. Apa yang sudah dia lakukan pada laki-laki sebaik Rio? Sudah berapa kali lelaki itu meminta maaf sementara yang dia lakukan sejak kemarin hanyalah meraung menyalahkannya, menyalahkan Tuhan dan memaki bayi di dalam perutnya yang tidak berdosa.

Dia bukan hamil di luar pernikahan, bukan pula hamil di usia yang terlalu muda yang membuatnya terlihat belum pantas menggendong bayi dan menjadi seorang ibu.

Dia punya suami yang sangat peduli padanya, yang meminta maaf atas apa yang bukan salahnya, yang memohon padanya semalaman hanya untuk memintanya mengisi perut, yang rela pagi-pagi masak demi dirinya dan rela bolos kerja demi seucap kata maaf yang belum juga diterima.

Lantas mengapa dia begitu menolak?

Batin Zefa berbantah. Masing-masing sisi dirinya saling melemparkan argumen hingga pada akhirnya mencapai satu kesimpulan.

Bukan Rio yang egois, tapi elo Zefa!

Iya, dia memang syok, dia belum siap. Semua itu wajar mengingat pernikahan mereka masih seumur jagung, tapi bukankah keterlaluan jika dia sampai menolak bayi ini? Yang bahkan tidak tahu apa-apa, dan tidak pernah untuk meminta tumbuh di dalam perutnya.

Lagipula sedari awal dia tahu kemungkinan dia hamil itu ada walau persentasenya kecil, tapi dia bisa apa kalau Allah sudah memberi nyawa pada seperkian kecil persentase menurutnya itu?

Zefa menggigit bibirnya, menyudahi segala perdebatan di dalam pikiran lalu menarik sebelah tangannya yang masih ada dalam genggaman Rio. Lelaki itu terperanjat dia pikir Zefa akan menolaknya lagi, tapi yang Zefa lakukan selanjutnya adalah balik menggenggam tangan Rio sambil menundukkan kepalanya.

Rio jelas kebingungan.

“Maaf Rio aku udah ngucapin kata-kata jahat ke kamu.” Kerutan di dahi Rio perlahan menghilang. Dia tersenyum kecil penuh pemakluman.

It's okay Ze, kamu lagi kalut aku nggak apa-apa, justru aku minta maaf karena udah bentak kamu.”

“Aku takut Ri, takut banget.” Tangan Zefa sedikit gemetar, Rio bisa merasakannya. “Aku nggak tau harus ngapain, aku nggak tau apa aku bisa jadi ibu yang baik atau nggak.”

Neapolitan: StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang