Pernah dengar tidak kalau bagus tidaknya sebuah hari yang kita lewati, tergantung dari bagaimana kita mengawalinya di pagi hari? Yups betul Zefania mempercayai hal itu. Ketika paginya sudah berantakan, suasana hatinya akan memburuk sepanjang hari dan itulah yang terjadi pada hari ini.
Ketika dia berangkat ke kantor, mobilnya tiba-tiba mogok di tengah jalan yang membuatnya jadi terlambat menghadiri meeting pagi. Si botak—maksudnya Pak Dias—mengomelinya di depan karyawan lain usai meeting itu selesai. Dia tidak menerima apapun alasan Zefa terlambat, rasanya Zefa ingin menendang kepala pak tua itu saking kesalnya, tapi tentu saja tidak dia lakukan atau dia akan berakhir jadi pengangguran.
Beberapa teman kantornya menatap prihatin, beberapa memberi semangat basa-basi. Terlampau jengkel, Zefa hanya menanggapinya singkat lalu memilih kembali ke mejanya dan pura-pura sibuk dengan pekerjaan. Namun belum lama dia duduk, atasan tercintanya itu memanggilnya lagi dan menyuruh Zefa memeriksa dokumen dengan segera. Katanya harus selesai siang ini juga.
“Itung-itung buat nebus kesalahan kamu karena terlambat meeting tadi.” Itu yang dikatakan Pak Dias dengan wajah super menjengkelkan. Darah Zefa seketika mendidih. Meski begitu dia tetap mempertahankan senyum tidak ikhlasnya saat menjawab ucapan Pak Dias.
“Baik Pak, akan segera saya kerjakan.” Zefa mengangguk patuh dan keluar dari ruangan Pak Dias sambil menahan diri agar tidak membanting pintu—dia pernah mendapat teguran karena membanting pintu ruangan Pak Dias dengan amat kencang beberapa waktu lalu sebagai bentuk pelampiasan kemarahannya dan Zefa tidak berniat mengulanginya atau Pak Dias akan kembali mengomelinya lebih lama lagi.
“Yaallah ingin berkata kasar,” gumam Zefa sambil berderap ke mejanya. Berlembar-lembar dokumen di flashdisk Pak Dias kini sudah terpampang di layar komputer Zefa. Sambil mengembuskan napas panjang, Zefa memulai pekerjaannya. Tidak boleh marah-marah, nanti cepat tua. Begitu pikirnya untuk menghibur diri sendiri.
“Oy Ze, makan nggak lo?” Suara Andre menyapa telinga Zefa setelah wanita tu berjam-jam berkutat dengan perkerjaannya.
“Duluan aja, kerjaan gue belum selesai.” Zefa menjawab tanpa menoleh. Fokusnya masih terarah pada layar 19 inci di depannya.
“Mau gue beliin makan?”
“Beliin minuman aja yang seger-seger, gue nggak mood makan.”
“Ck, yaudah. Semangat lo!” Zefa mengangguk, Andre pergi.
Lima belas menit berlalu sejak Andre menghampirinya. Pekerjaan Zefa hampir selesai, dia tinggal mengirimkannya ke Pak Dias lalu bisa menikmati waktu istirahatnya. Demi apapun dia akan mengutuk Pak Dias kalau sampai mengomentari pekerjaannya sebab Zefa sudah mengecek dokumen itu berkali-kali dan memastikan tidak ada satu kesalahan pun yang terlewati.
Klik.
Selesai.
Zefa selesai mengirimkan dokumen itu tepat waktu. Diregangkannya kedua tangan lebar-lebar. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan muda menghampirinya.
“Mbak Zefa,” ujarnya membuat kepala Zefa menoleh ke arahnya.
“Ini ada titipan buat Mbak Zefa.” Perempuan itu menyerahkan sebuah totebag pada Zefa yang isinya kotak makan entah milik siapa.
“Buat gue?” Dia mengangguk. “Dari siapa?”
“Suamimu Mbak, tadi ketemu di bawah.”
“Hah, Rio ke sini?” kaget Zefa. Perempuan itu lagi-lagi mengangguk. Dia tentu saja mengenali wajah Rio karena datang ke acara pernikahan Zefa.
“Udah dari tadi sih Mbak, tapi tadi gue beli kopi dulu hehe jadi nyampe sininya agak lama.”
“Oh, oke deh thanks ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Neapolitan: Strawberry
RomanceMelihat mantan menikah itu sudah biasa, tapi bagaimana jika kamu disuruh menikah dengan mantan? Tunggu testimoni dari Zefania untuk jawabannya. [Special collaboration] Romance | Marriage Life ✍ 02 Januari - 14 September 2022 ©Dkatriana