🍓 Imam Masjid

2.6K 388 50
                                    

Zefa merenung sambil menatap ke luar jendela. Jalanan sangat padat sore itu. Ratusan kendaraan memenuhi ruas jalan, toko-toko di samping kiri kanan terlihat ramai oleh pengunjung. Cahaya oranye matahari sore mengintip dari celah-celah gedung pencakar langit.

Zefa menghela napas. Perkataan Berli beberapa saat lalu kembali terngiang di kepalanya. Sementara sang suami masih fokus menyetir di sampingnya.

“Mbak Zefa, boleh saya bicara sebentar sama Mbak?” ujar Berli mencegat Zefa yang hendak masuk ke mobil. Rio masih di dalam mengurus beberapa hal, jadi ia tak tahu menahu tentang percakapan kedua wanita itu.

“Iya, silakan,” jawab Zefa. Ia menutup kembali pintu mobil dan memberikan semua atensinya untuk Berli.

“Saya mau minta maaf soal kejadian tadi siang.” Berli menatap Zefa takut-takut.

“Oh iya nggak apa-apa, Rio udah jelasin semuanya kok.” Zefa menjawab sesantai mungkin.

“Makasih, tapi saya tetap mau minta maaf secara langsung. Lain kali saya janji nggak akan melibatkan Rio lagi dalam masalah saya,” ucap Berli. Wajahnya benar-benar terlihat merasa sangat bersalah.

“Iya, tapi kalau urgent kamu boleh kok minta tolong saya atau Rio. Saya cuma nggak suka kalian pergi diem-diem tanpa sepengetahuan saya,” kata Zefa terus terang. Syukurlah Berli orangnya cepat mengerti.

“Makasih Mbak.”

“Panggil Zefa aja, berasa tua banget gue dipanggil Mbak,” Zefa refleks mengibaskan tangannya. Berli mengangguk.

“Oh ya, satu lagi,” ujar Berli. “Kalau nanti kamu denger gosip-gosip aneh tentang saya sama Rio, tolong abaikan aja. Saya cukup sadar diri kok, orang kaya Rio nggak pernah masuk dalam jangkauan saya, dan saya juga masih punya hari nurani buat nggak deketin suami orang.”

Zefa terperangah. Dia tak menyangka Berli tahu kalau dirinya sering digosipkan orang lain. Lalu Zefa kemudian mengangguk. “Makasih udah ngingetin.”

“Sama-sama. Kalau gitu saya balik ke dalam dulu.” Berli melirik perut Zefa sekilas, lalu tersenyum. “Salam buat dedek bayinya.”

“Iya.” Zefa ikut tersenyum. “Lain kali nggak usah formal-formal banget, kita seumuran jadi ngomong santai aja nggak apa-apa.”

Begitulah isi percakapan Zefa dan Berli yang tak pernah Zefa sangka sebelumnya. Ketika tadi dia menginjakkan kaki ke restoran Rio, dia pikir dia akan berakhir bertengkar dengan Berli, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Benar-benar di luar dugaan.

“Zefa!” Zefa tersentak saat Rio memanggil namanya cukup keras. Bayanyan Berli di kepalanya langsung buyar.

“Kenapa?” tanyanya menyudahi kegiatan merenungnya dan menoleh pada sang suami.

“Kamu ngapain sih ngelamun? Masih ada yang kamu pikirin?”

“Nggak kok. Kamu sendiri ngapain manggil-manggil?”

“Tadi aku nanya, nanti mau sahur sama apa? Biar aku siapin bahan-bahannya.”

“Ehm ... apa aja terserah yang penting enak.”

“Oke.”

Setelah itu mereka terdiam lama. Zefa kembali menatap ke luar jendela sampai Rio lagi-lagi berujar meminta atensinya.

“Makasih,” katanya sambil senyum-senyum.

“Makasih buat apa?”

“Buat sikap kamu hari ini.”

“Hah?”

“Hari ini kamu ngedatengin aku baik-baik dan ngasih aku kesempatan buat ngejelasin dulu.”

Neapolitan: StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang