Ahlan Wasahlan, terimakasih udah menemukan cerita ini.
"Hal terberat dalam hidup adalah kehilangan orang yang kita cintai, benar adanya janganlah kamu mencintai seseorang melebihi batasannya dengan sang maha pencipta."
-Untukmu Zhafira-
Tak terbayang sedikitpun olehku bahwa umi meninggalkanku secepat ini disaat umurku 11 tahun, kapal yang tenggelam merenggut banyak nyawa, umi yang rela menjadikan tubuhnya menjadi perisai untuk melindungi anaknya, kehilangan umi adalah kiamat kecil bagiku.Ahza Aqila Paranaya anak dari pasangan Khumaira Az-Zahra dan Daffa Paranaya. Ahza anak laki-laki yang hidup mandiri karena problem sebuah masalah keluarga yang mengharuskan ia menjadi orang yang lebih mandiri.
"Den Ahza, diluar ada Abinya sedang menunggu." kata Mpok Sara.
"Iya Mpok, nanti Ahza yang menyusul." Ucap Ahza yang masih sibuk dengan laptopnya.
Ahza berjalan keluar untuk menghampiri Abinya yang berada diruang tamu, pantaskah beliau disebut Abi laki-laki yang pergi begitu saja meninggalkan ia dan uminya, tapi darah tetaplah kental dari air, bagaimanapun beliau adalah tetap Abinya.
Teryata Abinya bersama isteri beliau "Ada perlu apa Anda datang kesini?" tanya Ahza tanpa basa basi, karena ia tak suka basa basi.
Laki-laki yang rambutnya sebagian memutih itu, tetap menenangkan dirinya bagaimanapun awal kesalahan ada pada dirinya.
"Abi hanya ingin bersilahturahmi denganmu sesekali berkunjunglah kerumah nak." kata Abi Daffa.
"Benar nak, rumah kami selalu terbuka untukmu." kata perempuan disebelah
Abi Daffa isteri kedua beliau.Ahza, berusaha menenangkan dirinya mengepalkan tangannya sehingga memperlihatkan buku-buku putih pada jarinya. Ia harus berdamai dengan masa lalu walaupun itu begitu sulit.
"Kemana waktu itu Abi pergi, disaat Ahza butuh pertolongan dan pelukan, nomor yang dihubungi tidak aktif, rumah yang didatangi telah dijual." Kata Ahza, tak terasa air mata menetes dipelupuk matanya. Hari terberat dalam hidupnya tidak akan pernah terlupakan olehnya.
Dengan cepat Daffa mengusap air mata yang ada disudut matanya sedangkan isterinya telah menangis, menghapus air mata menggunkan tisu.
"Maafkan Abi nak." hanya kata itu yang bisa keluar dimulut Daffa.
Ahza, memandang sekejab Abinya setelah itu mendongakkan matanya keatas.
"Anda tidak bersalah, saya yang terlalu egois mengharapkan hal yang tidak pasti." kata Ahza tegas.
"Nak maafkan Abimu dan keluarga Bunda yah, kami waktu itu tidak ada disaat nak Ahza butuh pertolongan kami." Ucap Fara, sambil menggenggam tangan Abinya.
"Ahza telah memaafkannya, bagimana pun Abi adalah tetap Abinya Ahza, Ahza juga minta maaf kalau sifat Ahza kurang sopan pada kalian." Kata Ahza, pada Daffa dan Fara.
Abi Daffa berdiri, menghampiri Ahza memeluknya begitu erat. "Abi memahami sikapmu nak, tidak masalah untuk Abi, abi ridho dengan setiap langkahmu nak."
Ahza memeluk Abinya tak kalah erat,
ia berusaha untuk berdamai dengan masa lalu.Fara terharu melihat interaksi antara anak dan abinya. Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik dengan komunikasi yang baik.
Daffa, menepuk-nepuk punggung Ahza kini anaknya sudah dewasa, bahkan tingginya melebihi dirinya yang seorang TNI.
"Kalau begitu Abi dan Bunda pamit pulang dulu." Kata Daffa.
"Iya... Abi." balas Ahza sedikit gagap.
"Assalamualaikum."
"Wa'alikum salam."
Ahza terdiam, sanggupkah untuk ia datang kerumah Abinya bertemu dengan saudara-saudaranya. "Ini berat untuk Ahza, Ahza seperti orang bodoh saat ini." kata Ahza.
Mpok sara, terdiam diantara sekat dapur. Ia tau betul bagaimana rapuhnya Ahza, tapi anak itu terlalu pandai untuk menutupinya.
"Den, Ahza." panggil Mpok Sara.
Ahza terlunjak kaget, setelah itu mengukir senyuman pada Mpok Sara.
"Iya Mpok, ada apa?" tanya Ahza balik.
"Mpok cuma mau tanya, Den Ahza mau dimasakin apa."
"Ga usah mpok, Ahza makan dirumah sakit aja." Ucap Ahza, tersenyum manis setelah itu masuk kedalam rumahnya.
"Oh ya Mpok, pakan ikan masih banyak kan?"
"Masih banyak Den, pakannya cukup untuk 1 bulan kedepan." Ucap Mpok Sara sambil meletakkan teh pada nampan untuk dicuci.
"Kucingnya Aden gimana?"
"Alhamdullilah sehat, tapi untuk semantara waktu Ahza titipkan dulu pada dokter hewan."
"Alhamdullilah." kata Mpok Sara.
"bapa mana tu Mpok, dari tadi ga keliatan?" tanya Ahza.
"Oh bapa sedang beli martabak nak keluar." Kata Mpok Sara yang geleng-geleng kepala.
Ahza berjalan keatas, menaiki undakan demi undakan tangga. Rumah yang cat dindingnya putih semua, dari depan rumah sampai dalam rumah.
Ahza penyuka tanaman yang hijau banyak tanaman yang ia koleksi seperti bonsai asam jawa dan bonsai mahuni yang diletakkan berjejar rapi, masih banyak juga tanaman hijau lainya. Tapi hanya hijau.
Surat untuk anakku Ahza Aqila Paranaya kesayangannya umi
Disaat Ahza, membaca surat ini berartinya umi telah meninggalkan Ahza.
Nak ingat ini adalah awal dari perpisahan kita, perpisahan untuk menuju surga.
Ahza anak umi jangan benci abi yah, beliau tetap abinya Ahza dan kak Azza tetap kakanya Ahza, maafkan umi yang tak bisa mempertahankan pernikahan umi.
Umi harap Ahza jangan putus sekolah, ingatkan cita-cita Ahza ingin jadi dokter seperti umi.
Anaknya umi pintar dan sholehah, harus rajin shalat dan rajin belajar.
Ada mpok Sara dan bapa Ali juga yang bantu-bantu dirumah. Kebun lemon bapa Ali yang kelola, sebagian untuk gaji beliau sebagian lagi untuk nak Ahza.
Untuk biaya sekolah Ahza udah umi atur, ATMnya ada dilaci kamar umi semoga cukup untuk kedepannya, umi cuma sampai sini bisa membantu Ahza, selanjutnya Ahza berjuang sendiri.
Rangkai-rangkaian kata dari uminya, adalah motivasi untuk Ahza, ia harus tetap tegar untuk menjalani semua ini, disetiap pertemuan pasti ada perpisahan, entah itu sementara atau selamanya.
Jazakullah kher telah baca, vote and komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTUKMU ZHAFIRA (Selesai
RomanceApa yang ditakdirkan untuk kita pasti terjadi dan apa yang tidak ditakdirkan untuk kita tidak akan terjadi, tetapi kita sebagai hambanya tentu berusaha untuk menggapai surganya. Ahza Aqila Paranaya, dia pernah jatuh cinta pada orang yang dia sukai...