18. Untukmu Zhafira

23 2 0
                                    

Apa yang menjadi milikmu akan menemukanmu. -Ali Bin Abi Thalib-

Lembaran baru akan dimulai tidak akan sama lagi dengan hari-hari sebelumnya. Langit hari ini begitu cerah dan terik, Zhafira dan teman-temanya sedang kumpul dikantin kampus.

Zen heran melihat raut wajah Zhafira yang ditekuk sedari tadi, ga biasanya anak itu bertingkah kaya itu. Pasti bukan perkara masalah dosen nih.

"Kenapa wajah lo Fir, dari tadi ditekuk melulu!" kata Zen.

Zhafira yang mendengar namanya disebut ia tersadar dari lamunannya.

Sarah dan Salwa juga heran dengan tingkah Zhafira. "Fir kalau ada masalah cerita aja sama kita-kita." ucap Sarah.

Zhafira tersenyum sumringsih pada mereka. "Maaf kalau tingkahku membuat kalian khawatir, aku baik-baik aja." jelas Zhafira, ia tidak ingin menceritakan tentang masalahnya, lagi pula curhat sama mereka bukan mencari solusi.

Haikal datang mengejutkan mereka semua. "Dorr... kalian lagi bahas apa." ucap Haikal, tapi sayang mereka-mereka ga terkejut dengan olah Haikal. Haikal menggaruk kepala yang tak gatal.

"Benar Fir ga ada masalah?" tanya Salwa.

Zhafira yang ingin menyuapkan baksonya kedalam mulut, berhenti sejenak dan menaruh kembali sendonya kedalam mangkok.

"Suer gue ga ada masalah." kata Zhafira memastikan.

Haikal menjentikkan tangannya. "Guys biasanya yang diam-diam toh suka kasih kejutan, hayo tebak!" kata Haikal memecah keheningan.

Kira-kira kejutan apa hayo! Zhafira tak mengindahkan ucapan Haikal, lebih baik ia makan baksonya sedangkan yang lainnya berpikir kata-kata apa yang cocok untuk dikatakan.

"Menikah mungkin." ucap Salwa santai setelah itu menyedot es tehnya.

"Uhuk... uhuk..." Zhafira keselek setelah mendengar kata menikah dari Salwa, kenapa harus kata itu yang keluar dari mulut Salwa.

Semua mata tertuju pada Zhafira, Zhafira yang ditatap seperti itu menjadi kikuk. "Jangan-jangan lo mau mirred beneran lagi." kata Haikal.

"I-ya." ucap Zhafira gagap, apalagi teman-temanya menatap tanpa berkedip.

"Wah gila lo Fir, beneran mau nikah." ucap Zen ga percaya.

Zhafira mengembuskan nafasnya toh kan mereka itu bukan solusi yang untuk masalah yang kaya gini.

"Benar Fir?" tanya Sarah.

Bukan Zhafira yang menjawab melainkan Salwa. "Gimana sih kalian, gue aja juga mau mirred, apalagi salah satu jalan menuju halal." ucap Salwa memutar bola matanya malas.

Dari pada mereka-mereka berseteru dengan hal-hal yang ga jelas, perlahan Zhafira mengeluarkan surat undangannya dari ransel.

"Nih untuk kalian satu-satu." ucap Zhafira, membagikan sebuah undangan berwarna hijau muda. Satu-persatu undangan telah berada ditangan mereka masing-masing, tentu mereka terkejut karena hal ini begitu mendadak, tidak ada hujan tidak ada petir, tidak ada kabar tiba-tiba nyebar surat undangan.

"Ya udah aku duluan yah."

Zhafira pergi meninggalkan teman-temanya yang masih di alam bawah sadar, mereka kaget akan kebenaran hal ini. Teryata benar apalagi laki-laki itu dosen yang digandrumi oleh para kaum hawa.

"Gila nih anak benaran mau nikah." ucap Zen.

Salwa geleng-geleng kepala ketika mendengar Zen berbicara. " Zen!" panggil Salwa lembut.

"Apa." Sahut Zen.

"Bisa ga kalau ngomong, ga ada kata gilanya, diubah pakai istilah yang lebih baik." nasihat Salwa.

"Inilah gue apa adanya." kata Zen santai sambil mengangkat kedua bahunya.

"Serah lo deh Zen." kata Sarah setelah itu pergi begitu saja tanpa permisi dan salam.

Salwa dan Haikal saling mengkode, mereka berdua juga seperti ada masalah, jangan-jangan saling jatuh cinta lagi.

_______________________________

Semalam acara pernikahan Zhafira berjalan dengan lancar, kini ia resmi menyandang status dari isteri Ahza Aqila Paranaya.

Hari ini mereka menginap dirumah Abi Daffa atas permintaan beliau.

Lantunan moratol surah Ar-rahman bergema didalam mobil yang hanya diisi oleh insan yang berbeda jenis.

"Mas Ahza udah pernah kerumah abi sebelumnya?" tanya Zhafira untuk memecahkan keheningan yang ada.

Ahza berdeham sejenak. "Baru satu kali, kerumah Abi karena ada urusan yang penting." jawab Ahza dingin.

Zhafira mengeryitkan dahinya, sebenarnya ada permasalahan apa antara anak dan ayah. Setelah mendengar suara Ahza yang begitu dingin, Zhafira memilih diam dan memejamkan matanya yang sedang ngantuk, sedangkan Ahza fokus pada jalanan dan menyetir.

UNTUKMU ZHAFIRA (Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang