16. Untukmu Zhafira

20 3 0
                                    

Hari ini langit cerah setelah malam tadi diguyur air deras, sebagian tempat masih becek karena genangan air.

"Kaka tau Fir, kalau perjodohan ini berat untukmu." ucap Zahra prihatin dengan Zhafira.

Zhafira menertawakan dirinya sendiri, kalau tau udah berat bagi dirinya kenapa juga harus mengatakan padanya lagi atau hanya ingin pamer.

"Kalau Kaka yang berada diposisi aku." kata Zhafira.

Zahra tertuhok dengan pertanyaan Zhafira, pertanyaan menjebak bagi dirinya, tentu ia menolak perjodohan itu.

"Pasti kaka akan nolakkan, seperti itu juga Aku kak." Zhafira menjawab sendiri pertanyaan, terang-terangan Zahra menolak perjodohan itu.

"Iya ga gitu juga Fir, terima perjodohan ini karena abi dan umi, kalau kamu merasa keberatan, setidaknya demi orang tua." jelas Zahra the point.

Ia pikir menerima perjodohan ini mudah apalagi laki-laki itu terlihat menyebalkan dimata Zhafira.

"Kalau demi orang tua, kenapa kakak nolak perjodohan pada waktu itu." kata Zhafira tersenyum sumbang.

Zahra hanya santai melipat tangannya didada. Abi dan umi sedang berada diteras belakang sambil menikmati teh, sedangkan Akram bekerja dikantor.

"Karena Akram adalah jodoh Kaka, lagipula yang sebenarnya ingin dijodohkan bukan kakak tapi memang dirimu sedari masih berbentuk zigot." kata Zahra memberi pemahaman pada Zhafira agar tak salah paham.

"Kalau kamu ga percaya tanyakan aja sama abi dan umi." Kata Zahra tegas dan nyaring.

Kebetulan Abi dan Umi menuju tempat duduk Zhafira dan Zahra yang menghadap jendela. "Apa yang kalian ributkan?" tanya Khaidir. Zhafira memalingkan wajahnya menghadap jendela.

"Zhafira masih ga nerima perjodohan ini Abi." jawab Zahra.

Setelah mengatakan itu Zahra meninggalkan mereka bertiga biarkanlah Zhafira menyelesaikan masalahnya sendiri. Lagi pula keputusan ada ditangannya sendiri.

"Apa benar itu nak?" tanya Khaidir pada Zhafira yang masih menghadap pada jendela.

Zhafira menghembuskan nafasnya panjang, sambil menatap keluar yang masih menyisakan hujan. "Hati ini masih ragu untuk menerima semua ini Abi." ungkap Zhafira jujur, pandanganya masih tertuju keluar.

"Apa yang ragu biasanya berasal dari syaiton." ucap Haliza, Ahza adalah laki-laki yang baik dan sholeh apa lagi yang membuat hati ragu, Haliza jadi geleng-geleng kepala sendiri.

Khaidir memahaminya, karena anaknya yang satu ini lebih keras dari dirinya dan kakanya. Khaidir menjelaskan dengan santai pada Zhafira agar anak itu memahaminya.

"Nak Ahza itu laki-laki yang baik, sholeh dan bertanggung jawab, Abi akan merasa lega ketika abi menyerahakanmu padanya, tidak ada seorang ayah yang tidak menginginkan kebahagian putrinya, abi ingin melihat Zhafira bahagia dengan pernikahan ini." petuah Khaidir pada Zhafira.

Haliza ikut membenarkan ucapan Khaidir, "benar apa yang dikatakan Abimu Zhafira."

Pilihan orang tua adalah yang terbaik untuk anak-anaknya, benar apa yang dikatan Khaidir tidak ada seorang ayah yang tidak menginginkan kebahagian putrinya, nikah itu ga hanya fisik tapi juga batin, nikah itu bukan akhir tapi awal dan nikah itu ga hanya enak tapi juga susah.

Zhafira hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katak pun, sekarang ia tidak ingin membahas tentang perjodohan ini.

-----------------------------------

Seorang perempuan dengan gaya
rambut diikat satu menghampiri Ahza yang sedang duduk menikmati secangkir kopi dikantin.

"Hai." sapa perempuan itu tersenyum ramah.

Ahza hanya berdeham, perempuan itu adalah dokter baru dirumah sakit ini.

"Silahkan duduk." ucap Ahza mempersilahkan.

Perempuan itu bernama Haifa, salah satu dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. "Terimakasih." kata Haifa.

Ahza hanya mengangguk ketika Haifa mengatakan itu, suara azan bergema dihandpohenya, melalui sebuah aplikasi, dirinya bergegas pergi menuju mushala rumah sakit.

"Saya duluan." ijin Ahza sopan pada Haifa, diiringi anggukan oleh Haifa.

Haifa menumpang tanganya untuk menyangga dagunya, sambil tersenyum ketika melihat kepergian Ahza.

Maya menghampiri Haifa, yang sedang senyum-senyum melihat kepergian Ahza.

"Calon idaman ga tuh." ucap Maya mendayu, sambil duduk dihadapan Haifa.

Haifa kaget ketika mendengar suara Maya dirinya kembali menormalkan mimik wajahnya kemode awal.

"Bisa aja lo." ucap Haifa, melipat tangannya pada dada.

Maya memutar bola matanya malas. "Tapi lo jangan dekat-dekat dulu ama dokter Ahza! ia baru aja ditinggal kekasihnya." kata Maya.

Teryata jomblo ada peluang untuk mendekati dokter Ahza, apalagi Ahza adalah laki-laki dewasa dan mapan.

Haifa menyerupot minuman cokelat hangatnya, perempuan itu adalah penyuka cokelat. "Kasian dia, masa laki-laki sebaik itu ditinggal begitu saja perempuannya aja yang ga bersyukur."

Maya menepuk jidadnya pelan, perempuan secantik dan seanggun Anita aja ia putusin, jangan-jangan tu dokter play boy, mana cewe yang deketin cakep-cakep lagi, tapi ga sekelas dengan dirinya, yah dirinya juga salah satu perempuan yang terpesona pada Ahza, bagaimana ga terpesona wajahnya itu loh, kata Daniel kalau Ahza ini impor dari luar, sedangkan saya impor lokal, wajah kearab-araban yang dimiliki Ahza menjadi nilai plus pada dirinya.

"Perempuannya meninggal dunia, lagi pula sebelum itu mereka udah putus." jelas Maya.

Haifa pikir perempuannya nya yang meninggalkan begitu saja, teryata oh teryata menuju peristirahatan terakhir. Yah walapun menjadi yang kedua itu sedikit banyaknya ujian.

"Lo suka sama dokter Ahza?" tanya Maya serius.

Kalua masalah suka sih suka, tapi masih tahap proses pendekatan, Haifa sangat suka dengan karakter Ahza yang dewasa dan hamble apalagi sangat friendly dengan pasien-pasienya.

"Ya ga tau juga." jawab Haifa, ga harus jugakan ia kasih tau sekarang. Setelah menjawab pertanyaan dari Maya, Haifa
menjawab panggilan telponnya.

_________
Jazakullah Kher
Terimakasih banyak pada kalian yang udah baca karya aku. Sampai sejauh ini.
Thank atas vote dan komentarnya.

UNTUKMU ZHAFIRA (Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang