25

48 3 0
                                    

Sudah satu minggu nyonya Yaoyorozu mengganggu hubungan rumah tangga putrinya itu. Shouto benar benar tak tahan. Ia merasa tak nyaman berada jauh dari Momo.

Siang ini Shoto berjalan kaki pulang dari kantornya, kali ini ia memang ingin menghabiskan waktunya diluar cukup lama, karena ia sedang tidak mood untuk bertemu dengan ibu mertuanya.

Ia membuka pintu toko buku yang ada di seberang jalan. Itu adalah toko buku lama yang sering ia kunjungi bersama Momo saat kecil.

"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang pria tua bertanya pada Shoto dengan ramah.

"Buku panduan untuk berumah tangga, apa yang seperti itu ada?" Tanya Shoto.

Pria tua itu mengangguk sejenak, ia lekas berbalik untuk mencari apa yang dimaksud Shoto.

"Tunggu sebentar" Shoto mengangguk. Ia mulai mengamati bangunan tua itu. Sama sekali tak berubah, semuanya masih sama, hanya saja buku buku disana terlihat berdebu karena memang toko itu jarang adanya pengunjung. Pemilik toko itu pun masih sama, hanya saja di usianya yang sekarang, ia sudah sangatlah tua.

"Disebelah sini, nak!" Shoto berjalan ke arah pria tua itu. Ia mulai mengamati satu persatu buku yang ada didepannya.

Setelah ia memilih, ia berjalan ke arah kasir. Namun matanya tertuju ke sebuah rak buku majalah. Majalah lama.

Ia mengambil satu majalah berdebu itu. Di cover tersebut terpampang jelas gambar istrinya.

Itu foto dua tahun yang lalu. Tahun yang sama setelah Momo pergi meninggalkannya. Shoto tersenyum melihatnya, ia merasa beruntung.

"Yaoyorozu Momo, apa dia wanita yang akan kau nikahi?" Ucapan pria tua itu membuat Shoto terkejut.

"Apa kau Todoroki Shoto?" Tanya pria itu lagi.

"Hahahha, jangan kira aku melupakanmu. Kau yang sering membawa gadis itu kemari saat kau masih kecil, kan?" Shoto mengangguk dengan senyum sendunya.

"Selamat ya nak" Pria itu menepuk pundak Shoto.



Pagi itu langit Jepang sangat gelap, sepertinya beberapa saat lagi akan turun hujan. Shoto mengguncang tubuh Momo yang berada di atas sofa.

"Ayolah, Yaoyorozu. Kemarin kata temanku ada buku pahlawan disana. Ayo temani aku!" Momo yang sedang menonton TV berdecak kesal dengan pria disampingnya.

"Tidak mau. Sebentar lagi pasti hujan, nanti kita kehujanan!"

"Memangnya kenapa kalau hujan, kan sekalian mandi" Shoto berbisik pada Momo.

"Maksudnya hujan hujanan?!" Momo berceletuk kencang membuat Shoto panik.

"Stt... Jangan keras keras. Nanti ketahuan ibu" Momo lekas menutup mulutnya rapat rapat dengan kedua tangannya.

Shoto meraih tangan Momo dan menyelinap keluar rumah diam diam. Momo suka ini, baginya ini asyik.

Shoto membuka pintu toko itu. Matanya berbinar saat melihat buku pahlawan yang ingin ia beli sekarang bulan lalu.

Ia mengeluarkan uang sakunya untuk membeli buku tersebut. Ia sangat bangga mengeluarkan uang sakunya untuk membeli buku itu. Tapi sayangnya uang yang ia keluarkan tak cukup untuk membeli buku itu.

Shoto kecewa. Ia menundukkan kepalanya, namun Momo menggenggam erat tangan Shoto. Ia mengeluarkan beberapa uang dari sakunya.

"Paman, kalau segini cukup kan?" Momo menambahkan uang.

Pemilik toko tersebut tersenyum melihat mereka berdua. Pemilik toko itu mengangguk walaupun uang itu masih kurang.

"Todoroki san, jangan sedih, bukunya kan sudah kita dapatkan" Momo menatap sahabatnya yang masih tertunduk itu.

"Tapi kan tidak keren kalau tidak beli dengan uang sendiri" Ucapnya.

"Uang Momo kan uang Todoroki san juga. Kita kan sahabat" Ucap Momo tersenyum.

Dan setelah itu mereka berlari menerjang hujan. Rencana hujan hujanan gagal total. Mereka harus melindungi buku pahlawan itu dari air hujan, walaupun masih terbungkus plastik, namun hujannya sangat deras, mengakibatkan air masuk kedalamnya.

"Todoroki san, tunggu!" Momo mengejar Shoto yang ada didepannya.

"Todoroki san!" Momo tersandung batu saat mengejarnya.

"Yaoyorozu!" Shoto panik. Lutut Momo berdarah.

"Bawa ini" Shoto menyodorkan buku pahlawannya yang sudah basah kuyup itu padanya. Shoto lekas mengangkat Momo kepunggungnya.

Momo menggiggil kedinginan dibahu Shoto, membuat Shoto merasa bersalah.

Rei menghela nafas berat saat melihat putranya menggendong Momo dengan keadaan basah kuyup sekaligus terluka.

Momo demam setelahnya. Ia terbaring diatas kasurnya dengan kompresan di dahinya.

"Maaf Todoroki san, gara gara Momo, bukunya basah" Momo menatap Shoto dengan raut sedihnya.

"Hei jangan dipikirkan, nanti kita beli lagi" Shoto mengusap Kepala Momo. Terlihat jelas Momo sedang gelisah.

"Jangan pergi" Momo menggenggam tangan Shoto. Ia memejamkan matanya sambil tersenyum.

"Rasanya tenang sekali jika seperti ini" Shoto tersenyum. Ini kebiasaan Momo jika sedang sakit. Ia pasti akan mencari tangannya untuk digenggam.

"Aku tak akan kemana mana" Dan tangan itu bertaut hingga esok hari.


Number OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang