Terdengar suara dan getaran dari ponsel yang tergeletak di samping tubuh Emma. Tak menunggu lama ia meraih ponsel itu dengan mata yang masih terpejam lalu menggeser ibu jarinya pada layar ponsel untuk mematikan alarm yang sudah ia atur semalam. Dengan gontai ia bangkit dan berjalan memasuki kamar mandi. Seperti biasanya,setelah melakukan rutinitas pagi ia menunggu di depan pintu rumah sembari melirik jarum jam di pergelangan tangan beberapa kali. Setelah memastikan untuk yang terakhir kalinya akhirnya kakinya mulai bergerak melangkah.
Sambil berjalan dengan santai ia menarik maskernya kebawah dagu lalu menggigit sandwich yang sengaja ia bawa. Rambutnya sengaja tak ia gelung seperti biasanya,ia menguncir biasa. Tangan kiri yang kosong terangkat menyibak beberapa helai rambut yang lolos karena terlalu pendek untuk dikuncir lalu membenarkan posisi earphone yang tak terpasang tepat di telinganya. Untuk pertama kalinya ia tak memakai tudung hoodie untuk menyembunyikan rambutnya. Kali ini ia memakai pakaian yang menurutnya lebih santai. Sweater abu-abu polos dengan celana jeans panjang dan jangan lupa juga topi dan maskernya.
Sambil mendengarkan alunan musik ia memakan sandwichnya dengan lahap. Tak lama kemudian terlihat Joy melewatinya dengan menaiki sepeda motor bersama temannya yang ia bonceng. Tak sengaja matanya melirik wajah gadis itu. Dengan kecepatan yang sedikit cepat ia hanya bisa melihat wajah samar Emma.
Setelah habis tak tersisa, Emma menarik maskernya hingga menutupi hidungnya. Kepalanya mulai menunduk tak ingin melihat sinar matahari yang membuat matanya sakit. Hari ini ia juga tak memakai kacamatanya karena Edmud meminjamnya kemarin untuk mengejek Jake lalu entah tak ada kabar lagi tentang kacamata itu. Mungkin mereka tak sengaja membawa kacamata minus itu pulang.
Sesampai di gerbang kampus,seperti biasanya banyak pasang mata yang meliriknya. Lebih banyak daripada hari-hari sebelumnya. Ia semakin mengeraskan volume di ponselnya lalu berjalan melewati mereka yang menatapnya bingung. Hanya memperlihatkan rambut yang di kuncir menggunakan karet rambut berwarna coklat dan tak memakai kacamata saja dapat membuat dirinya menjadi bahan berita hangat. Rumor tentang dirinya yang mengira ia adalah laki-laki tak ada lagi. Apa hanya karena rambut dan kacamata dapat membuat seseorang mengetahui bahwa ia perempuan?.
Sepasang mata Joy langsung tertuju pada Emma yang baru saja memasuki kelas dan duduk di tempatnya. Emma semakin menundukkan kepalanya guna menutupi pandangan matanya menggunakan topi yang ia pakai. Suara bisik-bisik mulai terdengar di telinga Joy. Suara itu berasal dari beberapa gadis yang berkumpul di meja samping begitupula dengan beberapa laki-laki di meja depan.
"Berhenti membicarakannya." Teriak Joy jengah. Bukan hanya mereka saja,namun Juga dirinya sangat penasaran dengan Emma. Apalagi tadi saat menjemput temannya ia tak sengaja melewati Emma yang tengah asik berjalan sembari memakan Sandwich. Otaknya berkali-kali ia paksa untuk mengulang memori tadi. Ia tak begitu melihat jelas wajah Emma.
"Silahkan duduk di tempat masing-masing. Silahkan juga keluar jika masih ingin mengeluarkan suara." Terdengar suara dosen yang menggelegar baru saja memasuki kelas.
Mata dosen itu tak sengaja melihat Emma di barisan paling belakang. Senyum di bibirnya mulai kentara,anak dari sahabatnya terlihat lebih baik daripada sebelumnya. Ia sedikit khawatir mengetahui Emma tak mengikuti pembelajaran di kampus selama dua hari. Kedua orang tua Emma memintanya untuk mengawasi dan menjaga Emma selama di kampus. Tentu dengan sepenuh hati ia melakukannya karena menganggap Emma sebagai keponakannya sendiri.
°•°•°
Tak terasa,bel istirahat mulai berbunyi. Terlihat wajah Vera menyembul kedalam dari pintu. Ia mulai melangkahkan kakinya masuk menghampiri Emma yang sibuk menatap layar ponselnya. Seperti biasanya,Emma tak membeli makanan atau minuman. Ia akan menghabiskan waktu istirahat hanya dengan duduk diam di tempatnya.
"Kita ke kantin bersama." Ucap Vera lalu menarik lengan Emma namun Emma tak berkutik.
"Hari ini kau terlihat lebih segar daripada sebelumnya." Suara dosen yang masih belum keluar kelas terdengar.
Cedric jonshon,nama itu tertera di pin nama yang menempel di dada kanannya. Ia berjalan menghampiri Vera dan Emma sembari tersenyum. Joy yang juga masih belum keluar kelas mulai memperhatikan mereka. Jarang sekali dosen itu mengajak Emma berbicara secara langsung. Biasanya ia akan menyuruh orang lain untuk menyampaikan sesuatu.
Vera mulai mengernyitkan dahinya setelah mendengar suara Cedric. Kalimat itu terdengar ambigu baginya. Kalimat yang biasa bagi mereka,namun tidak bagi makhluk sepertinya. Maksud dosen itu adalah kondisi Emma yang terlihat lebih baik daripada sebelumnya,namun bagi Vera dengan menambahkan kata 'segar' itu berarti sesuatu yang berhubungan dengan makanannya,darah. Itu sebabnya ia sedikit sensitif dengan kata itu.
Emma sedikit mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk menatap ponsel. Ia menatap dosen yang sudah berada di hadapannya. Cedric kembali tersenyum,tangan kanannya terangkat mengelus puncak kepala Emma yang masih memakai topi. Setelah itu ia berbalik dan berjalan pergi keluar kelas. Kejadian itu tak lepas sedikitpun dari Joy dan Vera. Setahu mereka,dosen itu tak terlalu akrab dengan orang lain. Beberapa pertanyaan mulai bermunculan di benak mereka.
"Apa hubunganmu dengan dosen itu?kau tahu dosen itu sudah memiliki istri dan seorang anak perempuan yang seumuran dengan kita." Ucap Vera penasaran. Ia tak akan membiarkan hubungan seperti itu terjadi pada calon kakak iparnya.
"Hentikan pemikiran bodohmu itu." Kini Joy ikut membuka suara. Menghampiri Emma lalu meletakkan sepotong sandwich yang masih terbungkus plastik dan sekaleng minuman soda.
"Tadi pagi aku sempat melihatmu berjalan memakan sandwich. Kebetulan sekali ibunya Leo membuatkan sandwich untukku karena sudah menjemput anaknya tadi. Aku tak terlalu menyukai sandwich." Ucapnya lalu melenggang pergi.
Mata Vera kembali menatap Emma dengan penasaran. Terlihat jelas dari tatapan Joy pada Emma,tatapan suka itu terlihat sangat kentara. Jika kakaknya mengetahui hal ini mungkin ia akan langsung menghabisi mereka mengingat kaumnya yang sangat posesif dengan pasangan jiwanya. Dan mengingat perlakuan dosen pada Emma juga terlihat mencurigakan.
"Apa hubunganmu dengan mereka? Apa yang akan kak Samuel lakukan jika mengetahui ini.?" Tanya Vera bingung sendiri.
Perkataan Vera sukses membuat Emma menatapnya. Sekilas Vera tersenyum puas melihatnya. Ia tak menduga selain makanan, membicarakan Samuel dapat membuat Emma teralih. Kini Samuel juga berpengaruh pada Emma.
"Lupakan tentang kantin dan mereka,bagaimana jika setelah selesai kau main di rumahku?." Ucap Vera dan langsung dijawab dengan anggukan kepala oleh Emma.
Dalam hati Vera mengumpat. Sedari dulu Emma sangat susah di ajak kerumahnya. Dan sekarang,setelah bertemu dengan Samuel ia dengan entengnya mengangguk. Ia pasti tak berniat untuk bermain-main di rumahnya melainkan ingin bertemu dengan kakaknya.
"Kau terlihat memiliki niat terselubung." Sindirnya lalu tertawa bersamaan dengan suara yang membuatnya merintih seketika.
Bukh..
"Kau memukulku?." Ucap Vera sambil melototkan kedua matanya lebar-lebar. Untuk pertama kalinya Emma meresponnya selain melirik dan menatap saja. Tentu saja Vera tak merasakan sakit di keningnya yang baru saja dihantam buku tulis. Sungguh mengerikan melihat perubahan Emma yang mendadak. Jika sedari dulu ia tahu akan seperti ini,mungkin sedari dulu ia langsung mempertemukan Samuel dengan Emma.
°•°•°
"Yah,dia terlihat mulai lebih terbuka." Ucap Cedric dengan ponsel yang menempel di telinganya.
"Kuharap ia bisa melupakan traumanya."lanjutnya berbicara dengan orang yang ia hubungi lewat ponselnya.
"Tidak,gadis kecil itu sedang bersama temannya. Mungkin dengan sering berkomunikasi akan membuat ia kembali berbicara." Ucapnya dengan penuh harap.
Cedric memutuskan sambungan di ponselnya. Rasa sedih kembali menghampirinya mengingat kejadian masa lalu yang masih membekas di ingatannya.
Ingatan tentang anak laki-laki pertamanya dan Emma yang sedang berlarian di tepi kolam renang,lalu kejadian yang tidak diinginkan terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑰 𝑫𝑶𝑵'𝑻 𝑪𝑨𝑹𝑬!.
FantasyKarena takdir yang sudah tertulis, membuat seorang gadis bernama Emma Harley harus menanggung beban dan menyembunyikan rahasia besarnya. Agar tidak di salah gunakan oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Begitupula dengan identitasnya yang bukan seba...