Seperti biasanya,setelah bel istirahat berbunyi Vera akan menghampiri Emma. Ia duduk di kursi samping Emma yang sudah kosong. Niatnya hari ini tak mengajak Emma kek kantin,hanya ingin berbicara santai dengan Emma di tempatnya. Ia tahu mengajak Emma keluar kelas di jam istirahat adalah hal yang percuma. Itu sebabnya ia hanya ingin menemaninya di kelas.
Emma memasukkan satu persatu barangnya di tas. Ia berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Vera. Vera yang masih duduk di tempat langsung melesat mengikuti Emma. Tak biasanya Emma keluar kelas,mengingat perubahan temannya itu ia menduga-duga bahwa mungkin saja Emma akan pergi ke kantin. beberapa pertanyaan sudah tersusun rapi di otaknya namun ia tak ingin menanyakan pertanyaan yang percuma,Emma tak akan menjawabnya.
Emma terus berjalan hingga sampai di depan lemari loker besi. Ia memasukkan kunci lokernya lalu memutarnya. Entah sudah berapa lama ia tak membuka lokernya. Vera sangat penasaran,barang apa yang sempat disimpan di dalam lemari loker tersebut. Pintu loker itu terbuka hingga memperlihatkan sesuatu di dalamnya. Mata Vera membulat sempurna melihatnya. Tak ada begitu banyak barang,hanya terdapat sebuah toples aluminium berukuran kecil. Toples itu hanya sebesar ibu jarinya.
Berbeda dengan loker lemari milik Vera yang sangat dipenuhi dengan tempelan foto dirinya bersama Ken. Loker milik Emma sangat mengecewakan. Hanya toples kecil yang entah apa isinya.
"Hanya itu?." Tanya Vera tak percaya. Emma mengambil toples itu lalu kembali mengunci lokernya.
"Memangnya apa isinya?." Lanjutnya,ia mulai penasaran.
Emma berbalik lalu menghadapnya. Ia membuka tutup toples itu untuk menunjukkannya. Hanya berisi dua belas pil obat. Hati Vera mencelos begitu saja saat melihat pil obat yang ia ketahui adalah pil obat penenang. Entah apa yang membuat Emma mengonsumsi pil obat itu,apa karena kakaknya?atau apapun itu.
Dengan cepat Vera merebut toples itu. Ia menatap Emma dengan marah. Perasaan khawatir pada sosok manusia lemah di hadapannya semakin terasa. Ia tak ingin membiarkan Emma terlalu lama mengonsumsi pil obat penenang ini dan membuatnya ketergantungan. Apapun masalah yang tengah di hadapi Emma,ia akan membantu semampunya.
"Sudah berapa lama kau mengonsumsi obat penenang ini? Aku harus menyita barang ini. Kau membuatku semakin khawatir." Ucap Vera lalu memasukkan toples kecil itu ke dalam saku bajunya.
Emma sedikit tersentak,dalam hati ia meruntuki dirinya sendiri. Tentu saja ia sudah mengetahui ini akan terjadi namun ia selalu tak bisa menghindarinya. Pil obat penenang itu,selama ini sudah sangat membantunya. Mengingat dirinya yang ingin berdamai dengan keadaan,akhirnya ia membiarkan Vera membawa pil obatnya. Ia akan mencoba untuk tak bergantung lagi pada pil obat penenang itu.
"Aku akan pergi dulu,kau tahu?anjing itu sedang memperhatikan kita." Bisik Vera lalu melesat pergi meninggalkannya.
Emma tahu itu,sedari tadi ada yang memperhatikan dirinya. Siapa lagi kalau bukan Cedric. Paman angkatnya itu selalu mengawasinya. Mengenai cara Vera memanggilnya anjing itu karena Cedric bukanlah manusia. Ia tahu itu,sedari kecil dirinya sudah sering berbaur dengan makhluk seperti mereka. Kedua orang tuanya lah yang meminta Cedric untuk menjaganya. Untuk apa?untuk menjaga dirinya yang bukan manusia biasa.
Cedric yang sedari tadi berada di sudut lorong mulai berjalan menghampiri Emma. Tak hanya Cedric,terlihat juga Joy berjalan di belakangnya.
"Jadi?obat penenang huh?." Tanya Cedric sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak terkejut dengan itu. Sudah pasti Emma memakai obat penenang itu untuk mengatasi traumanya.
Emma memutar bola matanya kesal. Matanya melirik sekilas Joy yang masih menatapnya. Cedric meraih tangan kanan Emma untuk memberikan sebiji permen mint. Seketika ekspresi wajah Emma berubah. Ingatan tentang Samuel terlintas di benaknya. Sudut bibirnya sedikit terangkat kemudian menggenggam permen mint itu kuat-kuat. Bukan sedih atau kecewa,melainkan merasa lega. Ia lega karena Samuel menolaknya. Dengan begitu ia tahu pria itu tak mengutamakan dirinya yang merupakan matenya. Yang ia cari adalah seseorang yang dengan lapang dada menerima dirinya apa adanya,bukan ada apanya.
"Melihat Vera begitu memperhatikanmu membuatku sedikit lega." Ucap Cedric.
"Jika kau ingin berteman dekat juga dengan ponakanku ini,kau harus belajar dari Vera. Emma sangat lemah dengan makanan." Lanjutnya kemudian menepuk ringan pundak Joy beberapa kali. Ia tahu sedari dulu Joy sedikit tertarik pada Emma.
Joy sedikit tersentak mendengarnya. Ia melirik Emma yang kini sedang menatapnya. Hal itu membuatnya salah tingkah. Ia tersenyum canggung saat memberikan map pada Cedric. Setelah menerima map itu Cedric langsung melenggang pergi meninggalkan Emma dan Joy berdua.
"Aku suka motormu,seleramu lumayan juga." Ucap Joy mengingat kembali motor yang tentu saja ia dambakan sedari dulu dan hanya melihat gambarnya dari iklan. Ia tak mampu membeli motor sport yang harganya tak bisa ia jangkau. Ia berasumsi bahwa Emma sedikit atau memang kaya. Ia tak menduga gadis dengan pakaian seadanya memiliki kendaraan mahal.
"Maaf meninggalkanmu,aku sangat tak nyaman dengan dosen itu tadi." Sahut Vera yang sudah berada di samping Joy.
Hal itu membuat Joy tersentak kaget. Begitu pula dengan Emma. Ia masih belum terbiasa dengan Vera yang tiba-tiba muncul. Gadis itu sangat sembrono. Beruntung Joy tak mencurigainya karena muncul begitu saja di sampingnya.
"Aku menerobos antrian untuk membeli minuman soda untukmu. Ah,untukmu juga." Lanjutnya lalu memberikan minuman soda itu pada Emma dan Joy.
"Kenapa aku juga?." Tanya Joy sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Aku dengar tadi apa yang dosen itu katakan padamu. Emma masih muda,ia juga butuh teman laki-laki." Cerocos Vera dengan semangat. Sangat disayangkan Emma yang masih muda menyia-nyiakan masa mudanya. Seharusnya gadis seusianya melakukan hal-hal yang disukainya dan memulai drama percintaan di kampus.
"Kita istirahat di taman belakang kampus. Disana sepi,kita bisa menghabiskan bekal dengan tenang." Ajak Vera lalu menarik tangan Emma dan Joy.
"Sangat kekanakan." Gerutu Joy dengan lirih namun masih dapat di dengar oleh Vera. Ia terpaksa mengikuti arahan Vera dan membiarkan gadis itu menarik lengannya. Lagi pula setiap jam istirahat tak ada yang menemaninya di kantin. Ia tak begitu akur dengan sesama laki-laki di kelas.
Sesampai di taman,Vera langsung menduduki rerumputan di ikuti dengan Emma dan Joy. Joy mengeluarkan sandwich yang sekali lagi ia dapat dari ibu Leo tadi pagi. Dalam hati ia sedikit bersyukur karena tak perlu mengantri panjang di kantin untuk membeli makanan. Vera juga mengeluarkan kotak bekalnya lalu membukanya. Hanya sedikit nasi dan sayur sebagai lauknya.
"Kenapa hanya sayur?tak menarik." Cibir Joy lalu menggigit sandwichnya.
"Diet." Singkat Vera dengan ketus. Ia sedikit menyesal mengajak Joy tadi. Laki-laki itu seperti Jake, selalu melayangkan kata-kata untuk mengejeknya.
Emma juga membuka kotak bekalnya. Kemudian mengambil pisau dan garpu yang ia bawa juga. Melihat itu Joy sedikit tertegun. Ia merasa beda kasta dengan Emma. Bagaimana tidak?gadis itu membawa steak daging dan kini ia memotongnya dengan gerakan yang begitu elegan. Ia curiga Emma adalah seorang anak dari raja-raja di negara lain,mungkin.
"Apa dia selalu begitu?" Tanya Joy lalu meneguk minuman sodanya.
"Siapa? Emma?yah dia selalu begitu. Kau menikmati makananmu dengan sangat anggun. Kau seperti tuan putri saja." Jawab Vera sambil mengunyah. Ia sengaja membuat nada mengejek agar Emma kesal.
Emma melirik sekilas Vera dengan lirikan tajam. Ia sedikit tersinggung mendengarnya. Cara makan ini merupakan kebiasaan yang harus diterapkannya sedari kecil. Walaupun ia tak ingin,tapi terkadang ia lupa karena sudah terbiasa. Ia tahu cara makannya tak sesuai dengan tempat. Kebiasaan ini ia lakukan saat makan bersama selain dengan pamannya.
Emma langsung menusuk steak daging itu lalu menggigitnya tanpa memotongnya. Pisau kecil tadi ia simpan kembali ke dalam tasnya. Melihat itu Joy terkekeh pelan. Ia tak menduga Emma bisa kesal setelah mendapatkan ejekan.
"Tuan putri memiliki kebiasaan seperti itu." Timpal Joy ikut mengejek.
"Yah,kebiasaan itulah yang menghambatnya untuk mendapatkan jodoh." Timpal Vera dan seketika Joy tersedak lalu terbatuk-batuk.
"Sial." Satu kata umpatan lolos dari bibir Emma.
Sontak kata itu membuat Joy semakin terbatuk-batuk dan menepuk dadanya berkali-kali. Sedangkan Vera menatap Emma dengan tatapan kosong. Ia tak mengira Emma akan mengumpat. Ia tahu selama ini Emma bisa berbicara namun ia tak menduga kata itu yang pertama kali diucapkan di depannya.
"Uhukk..apa?." Tanya Joy heran sambil meredakan batuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝑰 𝑫𝑶𝑵'𝑻 𝑪𝑨𝑹𝑬!.
FantasyKarena takdir yang sudah tertulis, membuat seorang gadis bernama Emma Harley harus menanggung beban dan menyembunyikan rahasia besarnya. Agar tidak di salah gunakan oleh mereka yang haus akan kekuasaan. Begitupula dengan identitasnya yang bukan seba...