Part 19.

426 61 1
                                    

Kedua kelopak mata Emma perlahan-lahan terasa begitu berat untuk tetap terbuka. Ia semakin mendongakkan kepalanya saat cekikan di lehernya semakin menguat. Bibirnya sedikit terbuka guna mengisi pasokan oksigen yang terhambat. Kedua tangannya terangkat mencengkram balik tangan yang mencekiknya. Dengan sekuat tenaga ia melayangkan tendangan pada perut Bufan hingga membuatnya tak sengaja melepas cekikan pada lehernya.

Bufan yang lengah tak sempat menghindar. Ia sedikit terdorong kebelakang beberapa langkah setelah menerima tendangan yang lumayan kuat dari Emma. Samuel yang sedari tadi memperhatikan mereka tak berniat ikut campur. Ia hanya ingin melihat wajah asli Emma dan niat liciknya.

"Elf yang hampir saja tersungkur hanya karena satu tendangan dari manusia." Cibir Samuel kemudian berdecak beberapa kali.

"Setelah mengetahui kita,seharusnya gadis ini pantas untuk di bunuh." Ucap Bufan sembari terkekeh.

Emma memposisikan tubuhnya dengan kuda-kuda. Ia tak selemah itu hingga membiarkan dirinya mati hanya dengan cekikan di lehernya saja. Satu alis Bufan terangkat melihat Emma. Seringaian muncul kembali di bibirnya. Pantas saja tendangan tadi lumayan kuat untuk ukuran manusia,itu karena Emma bisa bela diri.

Ggrrrr..........

Suara geraman yang begitu keras terdengar di telinga mereka. Sosok pria berlari dengan kecepatan tidak normal menghampiri mereka. Pria itu tak lain adalah Cedric. Niatnya tadi datang kemari untuk menyusul Emma ke pemakaman. Ia khawatir gadis itu tak kunjung balik dan kekhawatirannya membuatnya yakin Emma tak baik-baik saja. Awalnya ia hanya berasumsi bahwa Emma hanya kembali bersedih mengingat Ferrel namun ternyata tidak. Gadis itu tengah dikepung oleh dua pria.

Cedric langsung berada di depan Emma guna melindunginya. Geraman khas miliknya semakin terdengar. Sontak Bufan mundur beberapa langkah. Bukan karena ia takut,namun jika diadu tentu saja ia akan kalah melawan werewolf. Kekuatan elfnya tak bisa sebanding dengan werewolf dan tentu saja ia tak bisa beregenerasi dengan cepat seperti werewolf bila mendapat beberapa luka.

Tak hanya Bufan,Samuel yang merupakan seorang vampir juga mundur. Selain membenci bau busuk anjing ia juga tak ingin mencari masalah dengan werewolf. Hal itu akan memicu permusuhan bangsa mereka.

"Sangat tidak etis kalian para bangsawan menyudutkan seorang gadis." Ucap Cedric dengan rahang yang semakin mengeras.

"Tenanglah,jangan tertipu dengan gadis penyihir itu. Gadis itu begitu rendahan hingga membuat jampi-jampi pada kita." Jawab Bufan sembari mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Sudahlah,kami akan pergi." Sahut Samuel. Ia tak ingin masalah ini semakin rumit. Biarlah untuk saat ini Emma lolos dari genggamannya. Kedepannya ia tak akan membiarkan gadis itu lepas dengan mudah.

"Kita pulang,Emma." Ucap Cedric namun saat melihat ekspresi wajah Emma ia mulai panik. Emma sudah tersulut emosi. Kedua warna manik matanya semakin kentara perbedaannya. Salah satu warna matanya yang berwarna kuning kecoklatan perlahan memudar. Sedangkan yang satunya masih tetap.

"Sial." Umpat Emma membuat yang mendengarnya seketika kembali tertuju padanya.

"Tidak, kita harus pulang sekarang." Sahut Cedric saat melihat jari lentik Emma mulai bergerak. Ia langsung meraih kedua tangan Emma kemudian mengangkatnya seperti karung.

"Biadab,sial,keparat.." Ucap Emma dengan nada menggerutu. Ia tak terima dengan perlakuan tadi. Hampir saja ia terbunuh jika terus diam.

"Mengataiku rendah?hanya karena aku manusia atau karena penyihir ataupun hewan sekaligus. Kalian bukan makhluk juga?." Lanjutnya dengan kesal. Ia sangat ingin menjungkir balikkan dua makhluk yang mengatainya tadi. Ia sudah memutuskan untuk kembali seperti dulu,tak selalu terus diam menerima semuanya. Ia juga ingin membela diri.

"Biadab! Biarkan aku menikam telinga runcing dan lintah darat itu, paman!." Ucap Emma namun tak meronta-ronta,ia mengucapkannya dengan santai namun terkesan kesal.

"Diamlah, kita akan makan pancake nanti." Ucap Cedric mencoba untuk mengalihkan perhatian Emma. Seketika itu Emma langsung terdiam kemudian Cedric menurunkannya.

Emma berjalan kemudian menaiki motornya. Ia langsung melajukan motornya dengan ekspresi kembali datar seperti sebelumnya. Sedangkan Cedric mulai melajukan mobilnya mengikuti Emma dari belakang.

"Gadis itu lucu juga." Ucap Bufan membuat lamunan Samuel buyar. Sekilas Bufan merasakan keanehan pada dirinya. Ia sedikit terhibur melihat tingkah Emma yang dengan blak-blakan mengatainya balik. Bahkan menurutnya umpatan-umpatan tadi terlalu banyak untuknya.

"Gadis itu bisu." Gumam Samuel tanpa sadar. Ia tadi tak begitu fokus mendengar suara Emma karena pikirannya teralihkan. Seperti biasanya Vera memindlinknya lewat pikiran dan membuatnya tak mendengar sekitarnya untuk sementara.

"Jadi gadis itu juga bersandiwara?." Tanya Bufan sedikit bingung dengan maksud Samuel. Jelas-jelas tadi Emma mengumpat dan mengatai balik mereka berdua beberapa kali.

"Jangan bercanda,gadis itu bisu." Sahut Samuel kemudian teringat Emma yang tadi sedang mengendarai motor sport. Beberapa pertanyaan berputar-putar di otaknya. Ia penasaran apa hubungan Emma dengan Cedric yang merupakan seorang Werewolf. Dan motor itu, gadis itu sangat pintar menguras uang.

"Terserah padamu. Kudengar pernikahanmu akan di selenggarakan. Aku sudah menerima undanganmu dan datang ke negara ini untuk menghadirinya."  Jelas Bufan.

"Terima kasih, pastikan kau datang bersama matemu." Ucap Samuel.

"Tentu saja, lintah darat." Jawab Bufan di iringi dengan ejekan yang Emma lontarkan tadi. Sebutan baru itu sangat cocok untuk para vampir penghisap darah.

Samuel berdecak sembari memutar bola matanya malas. Ia langsung melesat pergi dengan mobilnya meninggalkan Bufan sendiri.

oO0Oo

Kondisi tubuh Emma sedang tidak baik-baik saja. Sebelumnya ia masih mampu mengendarai motornya. Namun setelah pulang tadi ia langsung pingsan di depan pintu. Melinda yang duduk di samping Emma menatap wajah pucat itu dengan sedih. Cedric sedang menghubungi kedua orang tua Emma.

Melisa yang baru saja mendapatkan kabar dari ayahnya langsung pulang. Ia ikut duduk di samping ibunya. Raut panik di wajahnya masih sangat kentara. Melinda mengelus punggung putrinya untuk menenangkannya. Akan semakin sulit jika Melisa terus menerus panik dan kembali trauma saat mengingat kematian kakaknya.

"Kenapa jadi seperti ini?." Tanya Melisa dengan nada sedikit bergetar. Ia menahan air matanya melihat Emma yang masih terbaring tak sadarkan diri.

"Emma tertolak lagi." Jawab Melinda membuat Melisa semakin miris.

"Aku sudah menghubungi Brayn. Mereka khawatir dan belum bisa menemui Emma karena urusan perusahaan. Aku meyakinkan bahwa Emma akan baik-baik seiring berjalannya waktu agar mereka tidak terlalu cemas." Jelas Cedric.

Perlahan-lahan kelopak mata Emma terbuka. Dengan eskpresi tanpa beban ia menarik selimut dan kembali menutup matanya. Melihat itu membuat yang lain tak habis pikir. Mereka semua sedang mengkhawatirkannya dan Emma malah kembali tidur setelah sadar dari pingsan.

"Bagaimana perasaanmu?." Tanya Melisa untuk memastikan kondisi Emma yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.

"Mataku berat,aku ingin tidur." Jawab Emma tanpa membuka matanya.

Yang lain langsung berjalan keluar kamar membiarkan Emma mengistirahatkan tubuhnya. Untuk pertama kalinya Emma merasa sangat lemas. Rasa ngantuk dan pusing semakin bertambah jika ia terus membuka matanya. Ini masih siang,dan rasa kantuk susah mengganggunya. Beberapa berkas dari perusahaan yang harus ia selesaikan hari ini juga menjadi tertunda. Semoga saja papanya tak mengomelinya karena sakit seperti ini.

Tak lama kemudian Emma sudah tak dapat merasakan kakinya. Ia langsung merilekskan tubuhnya untuk segera tertidur karena takut jika tak segera beristirahat entah akan separah apa lagi kondisinya.

Melinda yang mengintipnya dari pintu hanya bisa menghela nafas pasrah. Satu-satunya jalan untuk membuat Emma pulih hanya waktu. Jika saja matenya sesungguhnya sudah bertemu. Emma tak akan merasakan sakit dan lemah seperti ini.

𝑰 𝑫𝑶𝑵'𝑻 𝑪𝑨𝑹𝑬!.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang