18

34 4 1
                                    

Suara lonceng pintu toko berbunyi saat pintu dibuka. Kafi yang baru tiba langsung menghampiri meja kasir yang masih kosong, membunyikan lonceng meja supaya ada orang yang datang menghampirinya.

"Maaf, tapi tokonya belum—" Kania yang menongolkan kepalanya dari pintu dapur terkejut saat melihat Kafi yang datang. "Kak Kafi?"

"Hai," Kafi menyapa seraya tersenyum seperti biasa. "Kepagian, ya?"

Kania menghampiri Kafi masih dengan meses cokelat dalam genggamannya. "Iya, lah. Kemarin janjinya kan jam 8."

"Masa pegawai datang waktu toko buka?"

"Ih, dikasih enak malah mau ribet."

Kafi terkekeh. "Apa yang bisa gue bantu?"

Kania berpikir sejenak. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru toko, mencoba mencari apa yang bisa ia tugaskan untuk Kafi lakukan. "Nah, Susun roti yang udah jadi aja, deh."

"Siap, Ibu Bos."

Kania mengajak Kafi untuk masuk ke bagian belakang toko, tepatnya dapur dan ruang istirahat untuk para pegawai. Satu celemek bersih dengan logo toko roti Kania berikan pada Kafi untuk ia pakai. Setelahnya, Kania membantu Kafi membawa dua nampan berisi roti yang baru matang untuk ditata di etalase toko.

"Lho, ada Kafi. Kapan datang, Nak?" tanya Papa Kania saat keluar dari dapur.

"Barusan, Om. Tadi saya mau nyapa di belakang tapi nggak enak, Om lagi sibuk sama pegawai yang lain." Jawab Kafi seraya berjalan menghampiri Papa Kania untuk bersalaman.

"Oalah, iya. Tadi lagi ngajarin pegawai baru," Kata Papa Kania. "Omong-omong, kenapa kamu pakai celemek toko? Kania yang suruh, ya?"

"Enak aja! Kak Kafi yang dari kemarin bilang mau one day service di sini, Pa. Kania mah nggak mungkin yang suruh, ngegajinya aja nggak kuat." Protes Kania.

"Iya, Om. Daripada libur di rumah aja, makanya saya mau kerja di sini aja. Sekalian nemenin Kania." Kata Kafi menambahkan.

"Ya sudah. Santai aja, ya, Kafi. Kalau cape ya duduk aja, temani Kania di meja kasir nanti." Kata Papa Kania sembari menepuk pundak Kafi. "Om masuk lagi, ya."

"Iya, Om. Makasih."

Setelah Papa Kania kembali ke dapur, Kafi dan Kania kembali melanjutkan aktivitas mereka. Sesekali Kania merapikanletak roti yang baru Kafi susun. Biar simetris dan enak dilihat, katanya.

Tepat pukul delapan, toko dibuka. Sejak dibuka, pelanggan langsung datang membeli roti untuk mereka sarapan, saking sering dan selalu datang di waktu yang sama, Kania bahkan hafal dengan pesanan beberapa dari mereka. Apalagi dengan seorang perempuan berusia sekitar 40 tahunan yang harga rotinya sedang Kania hitung, Kania sangat hafal karena perempuan ini akan tersenyum manis sembari mengucap terima kasih dan memberikan beberapa bungkus permen yang dia ambil dari saku blazer-nya pada Kania setelah ia selesai membayar. Dan hari ini, Si Ibu baik—begitu lah Kania menyebutnya—kembali memberinya beberapa bungkus permen. Kali ini rasa anggur dan jeruk.

"Dia keluargamu juga, atau pegawai biasa?" tanya si Ibu Baik pada Kania. Ia menunjuk Kafi yang baru kembali dari dapur dengan nampan berisi roti kismis di atasnya. "Atau jangan-jangan dia suamimu, ya?"

"Ibu ada-ada aja. Aku masih kuliah, belum kepikiran mau menikah," Jawab Kania. "Dia temanku. Kita kan lagi libur kuliah, nah dia mau ngisi waktu luangnya sembari bantu aku di sini."

"Oh, begitu. Maaf, ya, Ibu tadi asal tebak aja."

Kania tertawa. "Nggak apa-apa, Bu."

Ibu Baik tersenyum seraya menangguk. "Ibu pamit, ya."

Klandestin Sang KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang