Belum genap satu minggu merasakan libur semester, Kania harus kembali menapakkan kakinya di lingkungan kampus. Meski sudah serah terima jabatan untuk mengurus acara bazar, ternyata hidup Kania masih belum bisa tenang. Adik tingkatnya masih terus menghubungi untuk bertanya tentang acara hingga akhirnya ia mengalah, dan itu lah kenapa ia berada di kampus sekarang.
"Bazar sialan, ganggu libur gue aja." Maki Kania saat melewati lapangan kampus yang sudah penuh dengan tenda yang menjual apa pun yang bisa dijual. Mulai dari makanan hingga pakaian dan aksesoris ponsel pun ada.
Setelah bertemu dengan Agung, si adik tingkat yang—Kania anggap—menyebalkan, Ia mulai mengoceh panjang lebar memberikan arahan, sesekali ia juga mengomel saat mengetahui ada ketidaksiapan pada acara. Seperti mikrofon yang hanya ada satu contohnya. Tanpa bicara lagi Kania langsung berlari ke gedung Dekanat untuk meminjam mikrofon tanpa kabel yang biasa digunakan untuk acara penting fakultas, diikuti Agung yang terus membuntutinya.
"Kenapa nggak inisiatf dari tadi pagi, sih?!" Kania sudah siap mengomel lagi tepat setelah urusan mikrofon selesai.
"Gue udah coba pinjam ke Dekanan, Kak, tapi Mas Nanang nggak ngasih." Jawab Agung.
"Kalau lo langsung minta tanpa kasih alasan yang jelas ya wajar aja nggak dikasih."
"Maaf, Kak."
"Maaf lo nggak berguna," Kania mengusap keringat di dahinya dengan selembar tisu. "Apalagi kendalanya? Buruan. Gue mau cepat pulang dan lanjut tidur."
"Udah, Kak. Yang lain udah bisa di-handle sama panitia."
"Itungan dana nggak ada selip?"
"Sampai sekarang nggak ada, Kak. Aman."
Kania mengangguk. "Lain kali kalau nggak sanggup, bilang. Biar gue sama yang lain tetap ikut andil. Jangan tiba-tiba bom chat dan telepon gue karena kesalahan kalian sendiri. Nama himpunan juga yang jelek di mata Dekan sama yang lain kalau acaranya terus begini sampai hari terakhir."
"Maaf, Kak."
"Udah gue bilang maaf lo nggak berguna."
Agung terdiam.
"Gue masih mau bantuk kok, hubungi aja kalau memang kepepet," kata Kania. "Tpi jangan kayak tadi! Gue baru tidur sepuluh menit udah rame aja ini hp."
"Iya, Kak. Makasih dan maaf banget."
"Jadiin bahan evaluasi kesalahan hari ini."
"Siap, Kak."
"Ya udah, balik ke yang lain, sana. Minum dulu lo, pasti capeabis gue ajak lari-lari sambil diocehin tadi. Jangan lupa makan juga."
Agung mengangguk. "Makasih banyak, Kak."
Setelah Agung pergi meninggalkannya, Kania tertawa kecil saat mengingat wajah Agung yang pucat pasi karena langsung ia ocehi bahkan saat baru mengucapkan satu kalimat. Belum lagi ada saja yang Kania komentari dengan nada ketus saat melihat langsung area bazar, jelas saja perlakuan itu membuat Agung tidak mampu bicara banyak karena ia sadar kalau kinerjanya dengan panitia yang lain masih jauh dari kata sempurna—dan juga karena takut dengan Kania yang sedang murka tentunya.
"Serem banget lo tadi."
"Ya Tuhan!" Suara yang tiba-tiba muncul dari arah belakangnya jelas membuat Kania terkejut. Keterkejutannya bertambah saat mendapati Kafi sudah berdiri di belakangnya. "Kak Kafi!"
Seperti biasa, Kafi tersenyum hingga matanya hilang.
"Lo ngapain di kampus?"
"Ngurusin anak BEM."
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin Sang Kaisar
Fanfiction"Nggak semua tentang gue harus diceritain, kan?"