36

30 4 0
                                    

Satu hari sebelum keberangkatan Kafi ke Chicago, Kania kembali akan bertemu dengan Kafi. Sebuah hadiah lengkap dengan rangkaian kalimat manis telah Kania siapkan untuk sosok yang dekat dengannya beberapa waktu belakangan ini.

Kafe milik Kafi menjadi tempat pilihan Kania untuk mereka bertemu. Satu tas kertas dengan merk ternama—yang merupakan hadiah—sengaja ia letakkan di dekat kakinya agar tidak mengganggu mereka berdua menghabiskan waktu.

Tiga puluh menit berlalu dengan cepat. Kania memang tiba lebih cepat dari waktu janji temunya dengan Kafi karena letak toko roti dengan kafe tidak terlalu jauh. Setelah mengetahui kalau Kafi belum tiba, Kania pun memutuskan untuk bersantai sembari menikmati segelas iced green tea latte yang ia pesan.

"Selamat siang, nona tepat waktu."

Suara yang sudah sangat tidak asing itu membuat Kania mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang menampilkan pemandangan luar. Netranya langsung menangkap senyum khas milik Kafi yang sangat indah itu. Setelah saling melempar pandang dan senyum untuk beberapa detik, Kafi pun duduk di kursi yang ada di hadapan Kania.

"Kok nggak kelihatan kamu datang?" tanya Kania sembari membenarkan posisi duduknya.

"Aku langsung ke parkir belakang tadi," jawab Kafi. "Baru datang? Udah makan?"

"Belum lama, dan aku udah makan."

Kafi mengangguk mengerti. Ia memanggil salah satu pegawai kafe untuk memesan minuman untuknya dan beberapa makanan untuk ia nikmati bersama Kania.

"Semua yang mau kamu bawa udah siap, Kak?" tanya Kania setelah Kafi selesai memesan.

"Udah, tinggal barang-barang kecil dan dokumen aja yang mau aku double check lagi."

Kali ini Kania yang mengangguk. Mendapati kenyataan ia harus terpisah jarak dan waktu dengan seseorang yang hampir setiap hari mengisi harinya sedikit membuat Kania sedikit sedih. Meski sesungguhnya mereka pasti akan bisa bertemu lagi saat Kafi kembali.

Obrolan mereka mengalir begitu saja. Terselip tawa saat cerita lucu diceritakan salah satu dari mereka. Hidup memang selalu seimbang. Akan ada tawa disetiap kesedihan, begitu pula sebaliknya.

"Ya, sekarang aku mau ngomong serius."

Tepat setelah tawa mereka selesai, keadaan sekitar ikut berubah seiring dengan Kafi yang ingin bicara serius dengannya. Kania meneguk minumannya, lalu mengangguk pertanda siap mendengarkan apa pun yang ingin Kafi bicarakan dengannya.

"Besok sore aku terbang ke Chicago."

Kania mengangguk paham, Kafi sudah memberitahunya beberapa hari yang lalu. "Boleh aku antar?"

"Nggak, aku nggak mau kamu berangkat dan pulang sendiri dari bandara."

"Oke, lalu?"

"Aku ke Chicago karena ada acara keluarga."

"Kamu udah bilang."

"Acara keluarga yang aku maksud itu ... acara pernikahanku."

Detik itu juga rasanya kepala dan dada Kania meledak kemudian hancur jadi abu. Satu kalimat yang seharusnya menjadi kabar bahagia untuk semua orang, justru menjadi kabar buruk untuk Kania. Bagaimana bisa beberapa bulan belakangan ini Kafi memperlakukannya bak puteri raja, memberinya pujian dan kata manis untuknya, memberinya banyak bunga harapan, namun ternyata semuanya palsu? Ah, bagian paling menyedihkannya adalah ia terlalu bodoh untuk tidak menyadarinya sejak awal.

"Kak Kafi ... mau menikah?" Kania berusaha mengumpulkan puing-puing kewarasannya sebelum memastikan kalau pendengarannya tidak salah.

Kafi mengangguk. "Namanya Charlotte, kamu udah pernah ketemu sama dia."

Pernah ketemu? Di mana?

Kania—sekali lagi—berusaha mengingat di mana ia pernah bertemu dengan perempuan bernama Charlotte. Seingatnya, ia tidak pernah bertemu atau dikenalkan oleh perempuan mana pun oleh Kafi. Selama ini pun mereka hanya menghabiskan waktu berdua dan juga bersama Kaisar, Arka, dan Anggi.

Belum selesai otak Kania berusaha mencari ingatan tentang perempuan yang dimaksud, seorang perempuan tinggi dengan rambut pirang menghampiri meja mereka. Ia tersenyum, lalu mengambil tempat duduk di sebelah Kafi meski belum mendapat izin dari sang empunya meja.

"Halo, Kania," Perempuan itu mengulurkan tangan. "Charlotte. Kafi's fiancée."

Oh to be this young and dumb Kania Amandita.

"Kania," Kania tersenyum sembari membalas uluran tangan Charlotte. "You need to punch him because he introduced you to me as his cousin yesterday."

Charlotte tertawa. "Aku udah suruh Kafi jujur dari awal, tapi dia selalu nanti, nanti, dan akhirnya hari ini baru berani ngomong."

Tatapan Kania kembali pada Kafi yang kini seakan mulutnya terkunci, meminta penjelasan padanya melalu isyarat mata yang—Kania yakini—Kafi mengerti, hanya saja ia tidak ingin mengatakannya.

"Kaisar nggak sekali dua kali bilang bakal ngehajar aku kalau aku main-main sama kamu, Anggi juga bilang Arka itu sabuk hitam dan nggak akan diem aja kalau ada temannya yang tersakiti," kata Kafi yang setelah lima menit akhirnya membuka suara. "Kamu boleh bilang sama Kaisar dan Arka, Ya. Biar aku bisa terima konsekuensinya."

Kania tersenyum sinis. "Gue nggak tau Kaisar ada di mana sekarang, dan Arka juga lagi di Jogja. Mungkin memang Kak Kafi nggak perlu dapat tonjokan atau tendangan dari mereka sekarang karena lo bakal nikah dan wajah lo harus terlihat tampan di hari bahagia itu."

"Ya udah, udah sore nih. Gue mau balik dulu, takut keburu macet." Kata Kania yang kini mengganti sebutan 'aku' kembali menjadi 'gue'. Ia hendak bangkit lalu mendapati tas kertas yang ia taruh di dekat kakinya tadi. Niatnya ingin memberi hadiah itu untuk Kafi kini ia urungkan, lebih baik ia buang atau berikan kepada yang membutuhkan.

"Biar Kafi antar kamu." Kata Charlotte sebelum Kania melangkah.

"Nggak usah, gue bisa pulang sendiri," cegah Kania. "Safe flight and be happy kak Kafi, kak Charlotte."

Langkah kaki Kania terus membawanya hingga ke persimpangan jalan raya yang cukup jauh dari kafe. Dadanya sesak, tapi ia tidak ingin menangis. Kepalanya panas, emosi seakan berkumpul di puncak kepalanya. Oh, Kania ingin meralat perkataannya sebelumnya; ia tidak sedikit sedih, tapi sangat amat sedih.

Tas kertas yang Kania bawa ia berikan sembarang ke orang yang ia temui, sekaligus meminta maaf jika ada surat yang kalimatnya begitu menggelikan untuk dibaca. Kemudian ia menaiki bus menuju tujuan yang entah ke mana, berusaha melepaskan kekesalannya sebelum ia harus kembali ke rumah dan menghadapi hari esok.

Ah, ada satu hal yang Kania sadari. Tidak ada permintaan maaf dari Kafi.

Atau belum?

Atau memang tidak perlu kata maaf?

Kania mengambil ponsel dari dalam tas, mengetik rentetan nomor telepon Kaisar yang sudah ia hapal di luar kepala, lalu menekan lambang panggil yang kemudian disambut nada tunggu tanpa henti. Tiga kali Kania berusaha menelepon, tiga kali juga panggilan Kania tidak mendapat jawaban. Ia menghentikan usahanya, mungkin Kaisar memang lagi mau sendiri.

Perjalanan Kania terhenti di halte terakhir. Ia turun dari bus dan kembali duduk di halte tersebut. Pikirannya melayang pada keputusannya menerima Kafi untuk 'mengenalnya lebih dekat' saat itu.

Jika saja saat itu Kania menolak, mungkin hari ini rasanya tidak akan sesedih ini.

Jika saja Kania tidak menaruh hati, mungkin hari ini rasanya tidak akan sesakit ini.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima, dan berdoa semoga sakit dan sedih yang dirasa bisa pergi secepatnya.

Klandestin Sang KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang