Kaisar yang baru terlelap kurang dari dua puluh menit harus kembali terbangun karena tenggorokannya yang kering. Satu botol air minum yang biasanya cukup untuk semalam, kali ini terasa kurang. Kaisar keluar dari kamar, menuruni satu per satu anak tangga untuk menuju dapur. Aneh, pikirnya saat akan melewati ruang makan. Biasanya, ruang makan akan kosong. Jika tidak, di sana akan ada Papanya dan seorang perempuan yang sedang menikmati sarapan bersama. Namun hari ini, hanya ada Papa seorang.
Tanpa menoleh, Kaisar terus berjalan melewati Papanya menuju dapur. Tidak ada niat sedikit pun untuk Kaisar berbincang dengan orang tua satu-satunya itu.
"Kamu nggak ke rumah Bima?" Papa mencoba membuka pembicaraan dengan anak bungsunya.
"Aku ke rumah bang Bima, dimarahin. Aku diam di rumah, ditanyain." Kata Kaisar sembari tangannya mengambil satu botol air mineral dari dalam kulkas.
"Sana ke rumah Bima, antar sarapan untuk dia dan Angel dari Nina."
Setelah menutup pintu kulkas, Kaisar kembali menuju ruang makan dan melihat satu tas totebag berisi tiga kotak makanan dengan warna yang sangat mentereng. "Dari tante yang mana? Yang dandanannya norak?"
"Jaga ucapanmu."
Kaisar meneguk air minumnya hingga tandas, lalu meletakkan botol kosongnya di atas meja makan dengan kasar. Tenggorokannya terasa lebih kering dari sebelumnya. Setelahnya, ia berjalan tanpa berkata apa pun.
"Kaisar."
"Ya."
Hoodie hitam yang tergeletak di atas sofa kamarnya ia ambil, Kaisar segera bersiap—tanpa mandi tentunya—untuk pergi ke rumah Bima untuk mengantar sarapan dari seorang yang bernama Nina. Kaisar yang merasa harus tidur pun dengan sigap membuka lemarinya untuk mengambil obat yang harus ia konsumsi. Sialnya, obat itu—kembali—hilang.
"Masa Papa bisa ngambil pas gue tidur tadi?" Kaisar bermonolog sembari memeriksa sekitar. "Ini mah uang gue habis buat beli obat yang ilang mulu."
Sejak ditinggal Mamanya, Kaisar hidup sehari-hari dengan menggunakan uang yang ditinggalkan mendiang Mama untuknya. Bukan berarti Papanya tidak memberi uang, beliau selalu mentransfer sejumlah uang setiap minggunya untuk Kaisar, hanya saja Kaisar tidak ingin menggunakannya.
Sadar dirinya tidak berbakat membangun sebuah bisnis, sejak SMA Kaisar sudah mulai belajar berinvestasi, menyimpan uang dalam deposito, dan berbagai cara lainnya yang ia pelajari dari Bima untuk bisa menambah jumlah uang yang ia miliki. Berkat ketekunannya, Kaisar pun bisa hidup hingga saat ini hanya dengan uang itu tanpa menyentuh uang pemberian papanya yang jika dijumlah, mungkin Kaisar sudah bisa membeli dua unit rumah mewah dan tiga mobil mewah keluaran terbaru dengan harga selangit.
Udah lah, pikirnya. Kaisar langsung menyambar tasnya dan bergegas untuk pergi. Papanya sudah tidak ada di meja makan, pertanda beliau sudah berangkat ke kantor. Kaisar bersyukur akan hal itu karena ia tidak perlu repot untuk berpamitan padanya. Kaisar mengambil totebag di atas meja, lalu berpamitan pada asisten rumah tangganya.
Perjalanan Kaisar terbilang cukup cepat karena ia memacu laju motornya seperti sedang berada di sirkuit balapan. Kecepatan motornya baru berkurang saat memasuki lingkungan perumahan. Kaisar tidak langsung menuju jalan rumah Bima, melainkan ia memilih memutar jalan untuk melewati rumah Kania terlebih dahulu.
Kaisar tidak berhenti, ia hanya melewati rumah Kania begitu saja. Rumah itu nampak sepi, sepertinya seluruh penghuni rumah sedang tidak ada di dalam. Tapi bisa saja Kania ada di dalam sedang tertidur lelap mengingat jam tidur Kania yang terbalik tidak seperti manusia kebanyakan. Setelah melewati rumah Kania, ada secuil rasa ingin memutar balik dan singgah di sana sebentar. Namun niatnya ia urungkan dan langsung menuju ke rumah Bima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Klandestin Sang Kaisar
Fanfiction"Nggak semua tentang gue harus diceritain, kan?"