29

24 4 0
                                    

Sudah hari kelima Kaisar berdiam diri di rumah—di kamar lebih tepatnya. Suasana rumah jauh lebih tenang dari yang ia bayangkan; tidak ada papa yang mengoceh, tidak ada papa yang memaksa masuk ke kamarnya, tidak ada papa yang memukul, dan tidak ada papa yang berusaha mengenalkannya dengan entah perempuan mana lagi yang ia bawa pulang. Semua tenang, papanya masih menegur Kaisar saat dirinya keluar kamar. Mungkin karena Kaisar yang tidak keluar dari rumah untuk beberapa hari ini lah yang membuat papanya melunak pada anak bungsunya.

Saat sinar matahari mulai menerangi kamar Kaisar melalui jendela yang terbuka, pintu kamarnya diketuk beberapa kali dari luar. Kaisar bingung karena setelahnya pintu kamar tidak langsung dibuka—karena jika asisten rumah tangganya yang mengetuk, pasti setelahnya langsung membuka pintu. Sedangkan sangat tidak mungkin jika papanya yang mengetuk, karena biasanya beliau akan langsung masuk tanpa aba-aba.

"Lo masih tidur apa gimana sih, Sar?"

Suara Arka terdengar bersamaan dengan pintu yang kembali diketuk beberapa kali, membuat Kaisar bangkit dari kasurnya untuk membukakan pintu. "Biasanya juga langsung masuk."

"Berusaha menjadi orang sopan," kata Arka lalu nyelonong masuk ke dalam kamar namun sedetik kemudian kembali membalikkan badan. "Sar, tapi, lo belum tidur sebulan, ya?"

"Hah?"

"Lingkar mata lo hitam banget, tau! Kayak abis diolesin areng."

"Lo ngapain deh ke sini?" Kaisar berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Anggi mau ajak kita makan, tiga hari lagi kan dia berangkat ke Amerika."

Kaisar mengangguk paham. "Kania?"

"Kalau lo lupa kita selama ini ke mana-mana berempat sih," jawab Arka. "Makanya, ppunya HP tuh dilihat, jangan jadi pajangan aja."

"Baterainya habis, gue males nge-charge."

Tanpa bicara lagi, Arka langsung meraih ponsel Kaisar yang tergeletak di atas kasur kemudian menyambungkannya ke pengisi daya yang ada di atas meja. Saat ponsel Kaisar sudah kembali menyala, Arka kembali menghadap ke Kaisar.

"Tapi kayaknya kak Kafi juga ikut hari ini."

"Memangnya kenapa?"

Arka mengangkat kedua bahunya. "Kali aja lo keberatan."

"Nggak lah, santai."

"Ya udah, mending sekarang lo siap-siap. Gue tungguin."

"Papa masih di bawah?"

"Masih, kayaknya bokap lo nggak ke kantor hari ini. Soalnya tadi gue liat masih pake baju rumah."

Kaisar mengangguk. "Lo nggak apa-apa ngobrol sama papa gue dulu? Atau mau tunggu di sini aja?"

"Geli deh gue ngeliat lo begini," kata Arka sembari terkekeh. "Santai, gue ngobrol aja di bawah. Lagian papa lo nggak akan ngegebukin gue kok."

Kaisar tersenyum. "Thanks, Ka."

"Untuk?"

"Lebih milih ngobrol sama papa daripada diam di sini. Gue takut lo ngintipin gue lagi mandi aja."

Bantal yang ada tepat di belakang Arka langsung ia ambil dan lempar ke arah Kaisar yang duduk di ujung kasur. "Bajingan," katanya lalu mengacungkan jari tengahnya pada Kaisar. "Udah, ah, gue turun dulu. Gue tunggu di bawah."

Setelah mendapati Kaisar setuju dan akan bersiap, Arka pun keluar dari kamar dan menutup pintunya. Kaisar tidak langsung pergi ke kamar mandi, melainkan ia berdiri di tengah-tengah kamarnya sembari berkacak pinggang dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Kayaknya ini waktu yang pas, pikirnya.

Klandestin Sang KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang