28

31 5 0
                                    

Sudah lebih dari dua jam Kaisar duduk di ruang tunggu, menunggu gilirannya dipanggil. Selama itu ia hanya duduk dan melihat sekitar, memperhatikan orang-orang berlalu-lalang di depannya. Matanya sempat beberapa kali terpejam, namun kembali ia buka karena rasa tidak nyaman.

"Kaisar Baskara,"

Suara yang memanggil namanya membuat Kaisar mengangkat kepala, lalu sedetik kemudian ia beranjak dari kursi yang sudah jadi tempatnya menunggu cukup lama. Kaisar mendorong pintu dengan papan nama bertuliskan 'dr. Jazziel Waradana, SpKJ', pandangannya bertemu dengan milik Jazziel yang sedang tersenyum menyambut kedatangan Kaisar.

"Kebiasaan buruk daftar konsultasi last minute diluar jadwalmu sendiri tuh nyusahin diri kamu sendiri, tau." kata Jazziel setelah Kaisar duduk di kursi yang berada di seberang mejanya. Ya, Kaisar selalu menjadi pasien terakhir.

"Seenggaknya saya bisa ada di luar rumah lebih lama, Dok."

"Oke," Jazziel memfokuskan dirinya pada Kaisar. "Gimana kabarmu belakangan ini?"

"Ngambang, seperti biasa."

"Kamu mau kita serius kayak beneran lagi konsultasi, atau kamu mau anggap saya ini abang kamu?" tanya Jazziel. "Soalnya kamu hitungannya sekarang tuh adik sepupu saya, mengingat orang tua Kania udah angkat kamu jadi anak."

Bukan tanpa alasan Jazziel bertanya demikian. Saat ini, entah kali ke berapa, Jazziel melihat ada luka pada buku-buku jari Kaisar, dan memar yang sebisa mungkin Kaisar tutupi dibalik hoodie-nya. Sejak awal bertemu dengan Kaisar yang didampingi oleh Bima saat awal konsultasi, Jazziel memang lebih memosisikan dirinya sebagai sosok Kakak untuk Kaisar karena sulit untuk mendekatinya jika ia harus benar-benar menjadi seorang psikiater dihadapan Kaisar. Dan, voila! Pendekatannya berhasil.

Sudut bibir Kaisar terangkat saat mendengarnya. "Gimana aja deh, Dok. Menurut saya sama aja." Jawabnya. "Oh, kemarin saya secara sadar narik Kania ke dalam pelukan saya."

"Good. Udah mulai mau skinship sekarang?"

Kaisar mengangkat kedua bahunya. "Mungkin? Kemarin refleks aja tiba-tiba narik gitu."

"Nggak apa-apa, itu termasuk kemajuan."

Saya nggak melihat itu sebagai kemajuan, Dok.

"Tapi, Dok, saya bisa stop konsumsi obatnya, nggak?"

Jazziel yang tadinya tersenyum senang langsung berubah sedikit bingung. "Ada reaksi alergi di badanmu karena obatnya?"

Kaisar menggeleng.

"Orang tuamu masih ambil obatmu?"

"Iya, tapi masalahnya bukan itu."

"Lalu?"

"Saya ... saya mau berhenti aja. Sama ... kayaknya ini konsul terakhir saya, Dok."

"Tunggu, ini bukan karena saya keluarga Kania, kan?"

Kaisar terkekeh. "Nggak, Dok. Saya aja yang mau berhenti."

"Kalau obat, saya sarankan untuk turunkan dosisnya perlahan. Jangan langsung berhenti," kata Jazziel. Ia kemudian menunjuk lingkar hitam di sekitar mata Kaisar. "Ini salah satu alasan kenapa kamu nggak boleh langsung berhenti."

"Tapi saya nggak apa-apa, nggak ngerasa kurang tidur atau lemas, gitu."

"Iya, tapi namanya manusia itu butuh tidur, Kaisar. Meski beberapa orang spesial seperti kamu perlu dibantu lebih dulu."

Kaisar mengangguk setuju. Ia terdiam menunggu Jazziel yang sedang menulis sesuatu di bukunya, kemudian kertas itu dirobek dan diberikan pada Kaisar. "Ini nomor handphone pribadi saya, nomor yang kamu punya itu khusus untuk kerjaan. Hubungi saya ke nomor ini kapan pun kamu butuh saya. Kamu juga tau di mana bisa temui saya."

Klandestin Sang KaisarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang