Pagi itu, Andin telah selesai mematut dirinya di depan cermin meja rias, bersiap untuk pergi ke kampus. Senyumannya terukir simpul, berharap hari itu menjadi hari yang baik untuk dirinya. Senyuman itu juga sebagai simbol bahwa ia telah melupakan perkataan yang cukup menyakitkan dari sang mama tadi malam.
Andin sangat paham, kadang tak semua hal dalam hidup akan berpihak pada dirinya. Tak selalu garis kehidupan membawanya pada hal-hal yang melegakan. Terkadang ada rasa sakit yang harus ia telan bulat-bulat kemudian melupakannya begitu saja.
Andin meraih tasnya kemudian keluar kamar. Ia menuruni satu-persatu tangga kecil yang menghubungkan kamarnya dengan lantai dasar rumah tersebut. Di ruang makan sudah ada sang mama dan Baskara yang baru akan memulai sarapan. Andin pun lantas segera bergabung disana.
"Pagi, Ma, Bas." Sapa Andin seraya duduk pada kursinya.
"Pagi, Kak." Balas Baskara dengan tersenyum, lebar. Sedangkan mama mereka sibuk mengolesi roti dengan selai kacang kesukaan Baskara. Sudah biasa. Begitulah kira-kira arti tatapan yang muncul pada kedua bola mata gadis itu.
"Ma, hari ini aku pulang agak telat, ya. Soalnya habis jam pelajaran nanti akan ada program bimbingan sains dari sekolah untuk olimpiade bulan depan." Kata Baskara, kemudian melahap roti selainya.
"Kamu ikut olimpiade lagi?"
"Doakan ya, Ma. Mudah-mudahan pas seleksi aku terpilih lagi."
"Of course, sayang. Mama selalu berdoa yang terbaik buat kamu." Balas sang mama, tersenyum hangat pada putranya.
Andin yang selalu melihat interaksi hangat antara ibu dan adik lelakinya itu tampak ikut tersenyum samar. Sebagai kakak, Andin tentu juga merasa bangga atas pencapaian adiknya. Namun jauh di relung hatinya, ia pun sering cemburu dengan perlakuan sang mama yang selalu manis dan hangat pada Baskara, berbeda jauh jika dengannya.
Baskara melirik sang kakak yang duduk berseberangan dengannya. Gadis itu terlihat mengolesi roti dengan santainya sembari tersenyum tipis. Terkadang remaja itu juga sering merasa tak enak hati dengan perlakuan sang mama yang senantiasa memberikan perhatian lebih padanya namun di sisi lain justru menyisihkan keberadaan kakaknya. Baskara tahu sekali betapa terjalnya jalan yang telah dilewati oleh Andin sejak perceraian kedua orang tua mereka.
Sedari remaja, kakaknya itu harus dihadapkan pada situasi yang tak pernah diinginkan oleh anak mana pun, menghadapi keluarganya yang semula begitu harmonis tiba-tiba hancur dalam sekejap. Sang kakak yang begitu dekat dengan sosok sang papa mau tidak mau harus merelakannya pergi demi segala pengkhianatan yang telah pria itu berikan kepada keluarga mereka.
Di babak selanjutnya setelah pengkhianatan itu, mereka berdua dihadapkan pada depresi sang mama. Wanita itu terkadang berteriak-teriak ketika malam, berhari-hari tidak mau makan, tidak mau bicara, seperti mayat hidup. Namun sesekali justru tertawa-tawa sendiri. Seberapa menyakitkan kondisi itu bagi mereka berdua saat itu? Tak bisa dijabarkan. Amat sangat menyakitkan.
Namun saat itu Baskara masih terlalu dini untuk memahami semuanya. Semua rasa sakit itu ditanggung penuh oleh Andin. Dia lah sosok yang harus terlihat selalu kuat diantara mereka. Dialah satu-satunya orang yang harus berpikir keras bagaimana cara mereka bertahan dalam situasi sulit itu.
Bahkan di saat situasi mulai membaik, Andin masih tak memiliki tempat untuk menumpahkan semua rasa sakit itu. Ia harus menerima kenyataan bahwa sang mama telah berubah. Ia tak mengenal lagi sosok wanita hangat yang selalu ia panggil dengan sebutan 'mama' itu.
Hingga waktu demi waktu, Andin sudah terbiasa dengan itu semua. Tak ada yang bisa Andin lakukan selain berbesar hati menerima. Meskipun jauh di dalam hatinya ia masih berharap suatu saat, kapan pun itu, sang mama bisa kembali menyayanginya seperti sedia kala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever After
FanfictionSeperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjuang untuk terus hidup di antara luka di sekujur hatinya, di sisi lain Aldebaran sedang menikmati hasil kerja kerasnya. Ironis. Namun bagi mer...