L A N J U T . . .
_____________________
"Saya punya riwayat trauma di masa lalu. Kejadian besar yang membuat saya kehilangan separuh hidup yang saya miliki. Itu sudah lama sekali. Tapi memori tentang kejadian itu menempel di kepala saya, bahkan sampai sekarang." Tutur Aldebaran dengan tatapan yang mengawang-awang, seperti mengingat kembali pada kejadian itu. Sedangkan Andin menyimaknya dengan serius.
"Awalnya saya tidak mengerti tentang apa yang terjadi, karena saat kejadian saya masih sangat kecil. Tapi saya sering dihantui mimpi yang sama berulang-ulang, yang pada akhirnya membuat saya bertanya-tanya..."
"Al!!" Belum selesai Aldebaran meneruskan ceritanya, Roy datang tergopoh-gopoh dengan panik disusul dengan Zara di belakangnya. Sontak hal itu membuat Aldebaran dan Andin bingung.
"Kita harus segera balik. Papa jatuh di kamar mandi." Beritahu Roy dengan nafas tersenggal-senggal. Sontak keduanya kaget.
"Kok bisa?" Tanya Aldebaran, shok.
"Gue nggak tahu. Kita balik dulu pokoknya."
"Kalian duluan."
"Buruan ya!" Seru Roy sambil melangkah pergi dari tempat itu menuju motor yang mereka naiki sebelumnya.
"Mas, kamu pulang duluan saja. Aku bisa pulang sendiri." Kata Andin yang ikut terlihat panik.
"Tidak, Andin. Kamu ikut saya, ya. Nanti saya antar kamu pulang."
"Tapi Mas..."
"Bang! Ini uangnya, ya. Sisanya ambil saja!" Seru Aldebaran seraya meletakkan selembar uang seratus ribu pada meja tersebut. Pria itu meraih tangan Andin dan dengan terburu-buru membawa gadis itu pergi dari sana.
Di sebuah kamar luas yang didominasi warna putih, terlihat berkumpul beberapa orang teman Roy dan Rossa yang duduk di pinggiran tempat tidur, tepat di samping sang suami yang terbaring lemah. Damar yang sebelumnya tak sadarkan diri, tampak telah siuman meski masih terlihat lemah.
Roy datang bersama Zara yang mengekor di belakangnya dengan terburu-buru. Tak lama kemudian, disusul Aldebaran yang masuk bersama Andin dengan tangan yang saling bertaut. Kedatangan dua sejoli itu cukup menarik perhatian teman-teman Roy yang ada disana, sebab sejauh yang mereka tahu, mereka tidak pernah melihat pria itu dekat dengan perempuan mana pun. Terlebih untuk Aurel yang menangkap tautan tangan keduanya, ia menatap dengan rasa cemburu.
"Papa kenapa?" Tanya Aldebaran, menghampiri sang papa diantara Roy dan sang mama. Sedangkan Andin berdiri di antara teman-teman Roy yang lain.
"Tadi Papa pingsan saat mau keluar dari kamar mandi. Mama juga nggak ngerti, Al." Adu sang mama, menangis gelisah. Aldebaran segera meraih tangan mamanya, mencoba menenangkan wanita itu.
"Mama tenang, ya." Ucap Aldebaran, lembut.
"Sudah ada yang menghubungi dokter?"
"Sudah, Al. Tadi mama sudah menghubungi Om kamu." Jawab Rossa, membuat Aldebaran mengangguk.
"Pa, papa bisa dengar aku?" Aldebaran bertanya pada sang papa yang sedang memejamkan matanya, namun dalam kondisi sadar.
"Iya, Al. Papa dengar." Jawab Damar, terdengar lemah.
"Apa yang papa rasakan sekarang?"
"Kepala papa pusing sekali." Keluh Damar, masih berusaha memejamkan matanya.
"Papa tenang, ya. Papa coba untuk rileks dulu. Semoga Om Ilham cepat sampai kesini." Ucap Aldebaran dengan tenang.
Andin terenyuh melihat pemandangan di depannya. Di antara Roy dan Rossa yang terlihat begitu cemas, Aldebaran bisa dengan tenang mengatur emosinya untuk tidak menampakkan rasa cemas yang sama. Meskipun Andin tahu, tentu pria itu juga memiliki rasa khawatir terhadap keadaan sang papa. Andin memahami posisi Aldebaran sebagai putra sulung di keluarga itu, yang harus menjadi tumpuan kedua setelah papa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever After
FanfictionSeperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjuang untuk terus hidup di antara luka di sekujur hatinya, di sisi lain Aldebaran sedang menikmati hasil kerja kerasnya. Ironis. Namun bagi mer...