Cuitan burung-burung kecil yang berterbangan dari dahan pohon satu ke dahan pohon yang lain menjadi melodi pembuka pagi yang indah. Serpihan kabut masih tersisa yang memberikan udara sejuk. Setetes air dari sekumpulan embun yang menyatu di badan daun, meluncur begitu saja menyentuh tanah yang lembab.
Terdengar suara deru air yang berasal dari sebuah selang panjang yang tengah Andin gunakan untuk menyiram rerumputan hijau dan beberapa tanaman sang mama di halaman rumahnya. Poppy dengan setia menemani aktivitasnya sembari ikut bermain air. Samar-samar juga terdengar suara berat seseorang dari tablet miliknya yang tersandar pada meja kecil di teras itu. Sesekali terdengar tawa renyah dari interaksi mereka berdua.
"Poppy sudah dikenalin belum sama Kiko?"
"Sudah, Mas. Waktu itu saat Kiko ikut mama sama papa kamu jogging. Terus lewat di depan rumah malah ketemu sama Poppy yang lagi nongkrong."
"Oh ya? Hahaha."
"Iya. Reaksi Poppy lucu. Dia mendadak takut dan sembunyi di belakangku. Mungkin dia merasa aneh kali ya, kok nggak punya bulu, hehe."
"Hahaa. Itu tandanya Poppy harus sering diajak jalan, biar nggak kaget kalau ketemu sesama yang berbeda."
"Iya, sih. Tapi Kiko ternyata cukup agresif ya."
Obrolan ringan itu terus berlanjut menemani aktivitas Andin yang belum berhenti. Berbulan-bulan telah berlalu. Tak terasa kedua insan itu telah menempuh bulan keempat mereka berpisah. Namun komunikasi mereka masih tetap terjaga dengan baik. Jika tidak memungkinkan untuk telepon atau video call, maka menulis pesan via email adalah alternatif terbaik untuk keduanya. Kabar baiknya, pagi ini Aldebaran berhasil menghubungi kekasihnya lebih dulu setelah sebelumnya berkali-kali namun tidak bisa karena Andin mungkin masih terlelap.
Selama empat bulan waktu berjalan dengan kondisi mereka yang berjarak, tentu tidak dilalui dengan mulus-mulus saja. Sesekali ada perasaan kesal dan marah, entah karena begitu sulit berkomunikasi, terjadi perbedaan pendapat hingga berujung debat. Namun saat salah satu merasa jengkel, maka yang satunya mencoba meredakan dan mengalah. Sebab kunci dari suatu hubungan selain rasa saling percaya, juga harus memiliki hati yang besar untuk saling mengalah. Seandainya keduanya sama-sama mempertahankan ego, maka tak akan pernah bertemu jalan keluar yang baik.
"Bagaimana perkembangan skripsi kamu? Sudah sampai mana?" Tanya Aldebaran.
"Emmh, sudah sampai mana, ya?" Andin berlagak mengingat-ingat.
"Heii..." Tegur Aldebaran saat melihat kekasihnya itu seperti sedang mempermainkannya. Andin tertawa.
"Lusa aku akan menemui dosen pembimbingku lagi untuk konsultasi yang ke ... ke berapa ya?" Andin mencoba mengingat-ingat.
"Ke sekian kali lah pokoknya. Kalau aku berhasil mendapatkan acc darinya, maka aku akan segera mengambil jadwal untuk menuju seminar hasil. Itu artinya langkahku menuju sidang sudah di depan mata, Mas." Ungkap Andin.
"Alhamdulillaah. Saya senang sekali mendengarnya. Saya tahu kamu bisa lebih hebat dari yang saya kira." Puji Aldebaran diiringi tawa renyahnya.
"Aku bakal dapat hadiah apa, ya?" Tanya Andin. Aldebaran terkekeh mendengarnya.
"Memangnya kamu mau apa, hem? Coba katakan, saya pasti akan memberikannya. Asal jangan minta patung liberti saja." Canda Aldebaran membuat Andin tertawa geli.
"Aku kangen kamu. Kamu disananya masih lama banget, ya?" Wajah Andin berubah cemberut.
"Nggak lama-lama amat. Ya paling sisa delapan bulan lagi."
"Itu lama namanya." Sahut Andin dengan wajah manyun. Pria di seberang sana memamerkan senyumannya yang lebar.
"Sabar, ya. Semua yang indah kan perlu waktu yang nggak sebentar. Atau kamu mau nggak menyusul saya kesini? Kalau mau, saya akan suruh Tommy mengurus pasport, visa, sama tiket pesawat. Biar bisa sekalian liburan." Cetus Aldebaran dengan santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever After
Fiksi PenggemarSeperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjuang untuk terus hidup di antara luka di sekujur hatinya, di sisi lain Aldebaran sedang menikmati hasil kerja kerasnya. Ironis. Namun bagi mer...