Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, terkadang memang harus mengorbankan sesuatu yang besar pula. Begitulah sepetik kalimat yang pernah keluar dari mulut Aldebaran, dan nampaknya menjadi jalan yang harus ia tempuh kini. Meski dengan berat hati, Aldebaran tetap memutuskan untuk tetap pergi. Meninggalkan keluarganya, meninggalkan ladang bisnisnya, dan meninggalkan jejak perasaannya yang entah bagaimana caranya ia melepaskannya kelak.
"Apakah kamu tidak berniat menemuiku untuk yang terakhir kali, Ndin?" Gumam Aldebaran dalam hatinya. Ia sedang mematut dirinya di depan sebuah kaca besar di kamarnya. Pria itu tampak telah rapi dengan setelan serba hitam disertai sebuah jas panjang yang juga berwarna hitam.
Aldebaran melirik pergelangan tangan kanannya yang nampak melingkar sebuah gelang dengan model berdesain Yin dan Yang, namun berwarna hitam. Aldebaran tersenyum simpul memandangnya. Gelang itu tak pernah ia lepas sejak Andin memasangkannya sendiri pada tangannya waktu itu. Tapi mulai hari ini, apakah sudah saatnya ia harus melepaskannya sendiri?
"Meskipun saya tidak yakin, tapi saya akan mencoba untuk mulai merelakan kamu, Ndin. Saya akan belajar menerima semuanya. Saya harus menghormati keputusan kamu." Lirih Aldebaran.
Perlahan ia melonggarkan ikatan tali gelang tersebut, lalu melepaskannya dari pergelangan tangannya. Ia menghela nafas dengan berat sambil terus memandangi gelang tersebut.
"Sudah siap, belum?" Suara Roy tiba-tiba mengusiknya. Pria yang nampaknya juga sudah tampil rapi dengan gaya kasualnya itu menghampiri sang kakak.
"Gue mau nemuin Andin sebentar, ya." Ujar Aldebaran.
"Ngapain lagi sih? Dia aja nggak peduli sama lo."
"Gue hanya mau pamitan."
"Sudahlah, nggak usah. Waktunya sudah mepet. Papa sama mama sudah nunggu di depan." Desak Roy. Kemudian ia mengambil koper hitam Aldebaran yang sudah siap.
"Saatnya kembali menatap ke depan, Al. Lupakan Andin." Tutur Roy, lalu menyeret koper tersebut keluar dari kamar itu, meninggalkan Aldebaran sendiri yang masih termenung, bimbang.
Andin membuka matanya, menatap jam di ponselnya yang baru menunjukkan pukul enam pagi. Setelah menumpahkan airmatanya dalam pelukan sang mama tadi malam, lantas disuruh minum obat, Andin tak sadar lagi bahwa ia tertidur. Meski pagi ini badannya masih terasa hangat, tapi ia merasa sedikit lebih baik.
Andin bangun dengan kedua kelopak mata yang masih sedikit pucat. Kepalanya masih agak pusing, akan tetapi ia tetap mencoba bangkita dengan sedikit sempoyongan. Ia berjalan ke kamar mandi, mencuci muka, menggosok gigi, hingga akhirnya termenung di depan cermin wastafel. Pikirannya langsung tertuju pada Aldebaran. Ia harus bertemu Aldebaran pagi ini, sebelum pria itu pergi dan membuat ia menyesal.
"Maa!" Seru Andin saat keluar dari kamarnya. Tak ada jawaban.
"Bas!" Andin berjalan ke arah meja makan. Tak ada siapa-siapa. Kemana mama dan adiknya?
"Bi, mama sama Baskara belum bangun?" Tanya Andin pada seorang wanita tua yang baru muncul dari area dapur.
"Loh, non Andin nggak ikut?" Tanya asisten rumah tangga tersebut membuat kening Andin mengernyit.
"Ikut kemana?"
"Ke bandara. Katanya mau ikut nganter Den Al."
"Hah?" Andin tampak kaget. Aldebaran akan berangkat pagi ini?
"Mama sama Baskara sudah berangkat?"
"Baru saja, Non. Mungkin masih di depan."
Dengan cepat Andin berlari meninggalkan area itu menuju ke teras depan dengan perasaan panik dan takut. Takut jika ia tidak memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Aldebaran dan menyampaikan penyesalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever After
FanfictionSeperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjuang untuk terus hidup di antara luka di sekujur hatinya, di sisi lain Aldebaran sedang menikmati hasil kerja kerasnya. Ironis. Namun bagi mer...