Pagi Minggu yang cerah. Hari yang tepat untuk bermalas-malasan. Bahkan bagi Aldebaran yang biasanya selalu produktif dalam setiap hari-harinya, meski di hari libur sekalipun. Tapi tidak dengan hari ini. Tubuhnya yang masih berbalut selimut tebal seakan begitu enggan untuk bangkit dari belenggu kehangatan tersebut.
Dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, ia mengambil ponsel dan melihat beberapa notifikasi yang masuk. Hampir semuanya adalah pesan dari Tommy yang mengkonfirmasikan mengenai keberangkatannya esok hari. Dengan malas, ia membuka satu-persatu pesan tersebut.
Keberangkatannya ke New York yang menjadi jembatannya untuk sebuah cita-cita yang telah lama ia idamkan, terasa lebih berat dengan kondisi percintaannya yang sedang tidak baik-baik saja. Tiga hari berlalu setelah berakhirnya hubungannya dengan Andin, tidak lantas membuat Aldebaran sembuh dari patah hatinya. Tentu saja tidak semudah itu. Apalagi Andin adalah perempuan pertama yang membuatnya jatuh hati.
Bukannya ia tidak ingin berjuang lagi, namun jika perjuangannya justru membuat perempuan yang ia cintai merasa tidak nyaman, Aldebaran harus memikirkannya lagi berkali-kali. Bahkan ia sempat menyampaikan keinginannya kepada Roy untuk mengundur keberangkatannya, atau mungkin akan membatalkannya sama sekali. Rasanya, ia tidak bisa meninggalkan Indonesia dengan kondisi yang rumit seperti sekarang.
"Apa gue batalkan keberangkatan gue saja ya, Roy?" Ucap Aldebaran menatap jauh ke depan saat ia tengah duduk di bangku tepi kolam renang, sedangkan Roy yang ia ajak bicara sedang berendam pada air kolam renang tersebut.
"Heh, lo jangan gila, ya!" Sahut Roy dengan sedikit emosi.
"Gue nggak bisa pergi dalam keadaan seperti ini, Roy. Gue nggak bisa melepaskan Andin."
"Gue tahu. Tapi bukan berarti lo mengorbankan cita-cita lo sendiri. Ingat Al, memimpin perusahaan itu sudah jadi impian lo dari dulu kan? Masa belum bertarung, lo sudah mundur gitu aja." Roy naik ke tepian kolam renang, meraih handuk dan mengusapkannya pada wajahnya.
"Ya mungkin ada benarnya sama apa yang pernah gue denger. Kadang untuk mendapatkan sesuatu, kita harus mengorbankan sesuatu yang lain. Memimpin ARTMedia grup bukan cita-cita gue satu-satunya. Gue masih bisa memimpin perusahaan gue sendiri. Tapi untuk merelakan Andin, gue nggak yakin gue bisa. Gue hanya mau Andin, Roy." Curah Aldebaran, frustasi. Melihat sang kakak yang begitu keras kepala membuat Roy menghela nafasnya begitu panjang, tak habis pikir.
"Ternyata Andin nggak hanya bikin lo jadi bucin ya, tapi juga mendadak tolol tahu, nggak!" Cerca Roy, membuat Aldebaran menatapnya kesal.
"Yasudah, sekarang begini, kalau lo memutuskan untuk nggak jadi pergi, terus apa yang mau lo lakuin sama hubungan kalian, heh?" Mendengar pertanyaan itu membuat Aldebaran terdiam. Jujur, ia pun belum tahu mengenai apa yang harus ia lakukan.
"Nggak ada juga, kan?" Roy terkekeh, seakan mengejek.
"Begini, ya, Mas Al..." Ucap Roy dengan sedikit penekanan, seakan ingin mengejek abangnya tersebut, sebagaimana panggilan itu yang disematkan oleh Andin pada Aldebaran.
"Lo sadar nggak sih, apa yang menjadi impian kita, itu juga bagian dari impian papa dan mama. Kalau lo melepaskan impian lo yang satu itu, bagaimana dengan mereka? Lo tega bikin papa yang selama ini mati-matian dukung lo jadi kecewa?" Tanya Roy yang pada nampaknya membuat Aldebaran harus memikirkan ulang keputusannya. Roy benar. Dalam hal ini, ia tidak boleh bersikap egois. Orang tua mereka sudah mendukung cita-citanya sejauh ini.
"Gue mengerti lo lagi dilema banget sekarang. Tapi please, lo jangan bertindak bodoh, apalagi hanya karena persoalan cinta. Abang gue yang gue kenal bukan orang yang mellow seperti ini. Abang gue selalu memutuskan semuanya dengan pilihan terbaik." Lanjut Roy, mencoba meyakinkan Aldebaran dengan pilihannya yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forever After
FanfictionSeperti langit dan bumi. Nasib Andin dan Aldebaran memang teramat jauh berbeda. Di saat Andin tertatih berjuang untuk terus hidup di antara luka di sekujur hatinya, di sisi lain Aldebaran sedang menikmati hasil kerja kerasnya. Ironis. Namun bagi mer...