(18) Payung Teduh

2.1K 290 47
                                    

HAPPY READING!

.

.

Andin terus berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tanpa menghiraukan Aldebaran yang berjalan di sisinya. Sejak keluar dari kamar orang tuanya, Aldebaran hanya tampak memperhatikan sikap Andin saja yang tiba-tiba berubah. Ia tidak bertanya atau mengajak perempuan itu bicara.

"Hujan ternyata." Tutur Aldebaran saat mereka telah berada di teras depan rumah tersebut dan menyadari bahwa di luar kembali didera hujan. Kali ini tidak begitu deras. Andin mengehela nafasnya berat.

"Kamu tunggu sebentar, ya. Saya ambil payung dulu." Kata Aldebaran. Andin hanya mengangguk.

Tangan Andin menengadah, menyambut butiran air hujan, seperti sudah menjadi kebiasaannya. Seraya memejamkan matanya, ia menghirup udara segar nan dingin itu dengan perasaan yang mengganjal. Bayangan akan apa yang telah ia lihat beberapa saat yang lalu melintas di pikirannya.

Saat pria bernama Aldebaran itu dipeluk oleh perempuan yang tidak ia tahu. Bahkan pria itu membiarkan saja perempuan tersebut memeluknya, sementara masih di hari yang sama Aldebaran baru saja menyatakan perasaannya pada Andin.

"Semua laki-laki sama saja." Dengus Andin masih dengan memejamkan matanya, sedangkan tangannya masih ditetesi sekelompok air hujan.

"Maksudnya?" Suara berat seseorang tiba-tiba kembali menyadarkan Andin. Ia spontan membuka matanya, dan sedikit panik saat tahu bahwa Aldebaran telah kembali.

"Are you okay?" Tanya Aldebaran. Pria itu memekarkan sebuah payung transparan yang baru saja ia ambil. Andin terdiam, tidak menjawab.

"Kamu sakit?" Lanjut Aldebaran, menatap Andin dengan teduh. Andin membalas tatapan itu dengan datar.

"Nggak kok. Aku baik-baik saja, Mas." Jawab Andin, namun Aldebaran rasa itu bukan jawaban sebenarnya.

"Yaudah, yuk." Ajak Aldebaran.

Ia menelesupkan jemarinya di antara jari-jemari gadis itu yang terasa dingin. Sedangkan satu tangannya lagi memegangi gagang payung. Andin melirik Aldebaran yang telah menggenggam tangannya erat, dan mulai mengajaknya untuk melangkah meninggalkan teras rumah tersebut, menembus malam yang sedang diselimuti hujan bersama sebuah payung yang melindungi mereka.

Rintik hujan kian terdengar nyaring menjatuhi tanah, dedaunan, dan atap-atap rumah. Kondisi dua sejoli yang hanya saling diam dalam perjalanan mereka menambah keramaian suara rintiknya yang menjatuhi payung putih transparan tersebut. Tak ada obrolan, hanya ada suara-suara resah dalam kepala mereka masing-masing.

Aldebaran melihat Andin yang terus berjalan lurus dengan tatapan datar. Ia tidak bisa melihat binar yang terpancar dari kedua bola mata indah itu. Ia tidak melihat senyuman manis gadis itu lagi sejak beberapa saat yang lalu. Benaknya semakin bertanya-tanya, apa yang sedang gadis itu pikirkan? Apakah Aldebaran telah melakukan sebuah kesalahan? Atau apakah Andin tidak nyaman bersamanya?

Aku ingin berjalan bersamamu

Dalam hujan dan malam gelap

Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu

Di antara daun gugur

Aku ingin berdua denganmu

Tapi aku hanya melihat keresahanmu...

(Payung Teduh- Resah)

Hanya berselang beberapa menit, keduanya sampai di depan sebuah rumah berpagar putih yang tak lain adalah rumah Andin. Gadis itu segera menepi ke teras rumahnya, keluar dari perlindungan payung yang masih dipegang oleh Aldebaran.

Forever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang