Tentang hati☁

286 39 2
                                    

Happy Reading








Kata lelah menjadi penghias hati, tutur lemah masuk memori. Secangkir teh menjadi penghangat suasana pagi, setelah hujan mengguyur kota Jakarta hari ini. Dirinya kian bosan, kendati belum menerima pesan dari sang pujaan.

Benda pipih yang sendari tadi ia genggam terjatuh tidak sengaja, ketika seseorang menepuk pundaknya. Hampir saja ia mengumpat jika yang mengejutkan dirinya bukanlah Fajri.

Fajri tercengir, duduk didepan sahabatnya yang masih sedang kehilangan mood. Entahlah kenapa, jika Fajri lihat, mungkin anak itu sedang menghubungi seseorang yang tak kunjung ada kabar. Ia memaklumi itu, soal perasaan, Zweitson memang sudah lama menjalin hubungan dengan seseorang. Dan Fajri tahu tentang itu.

"Udah sih, mungkin dia lagi sibuk," tutur Fajri meneguk setengah teh yang ia bawa kemari.

Remaja berkacamata itu hanya mampu menghela napas pasrah, ya mungkin dia sedang sibuk. Mengingat kekasihnya merupakan seseorang yang dikenal dimana-mana, berkarir sejak dini membuatnya sibuk di dunia entertainment.

"Mungkin, nanti dia kesini tanpa kamu tahu," tambah Fajri membuat Zweitson menoleh. Tatapannya sulit untuk ditebak, sampai Fajri yang tadinya ingin memakan biskuit malah tertahan di udara.

"Semoga," gumam Zweitson kembali menatap jendela yang kian diterjang hujan.

Rintik hujan masih tersisa, membawa bekas genangan air pada setiap aspal yang tidak rata. Jalanan pun tidak ramai seperti biasa, hanya beberapa kendaraan beroda empat yang lewat, sedikit anak-anak sekolah yang menggunakan sepeda di jalan. Karena memang sekolah mereka tidak di perbolehkan membawa kendaraan di bawah umur tujuh belas tahun.

Fajri dan yang lain sudah memasuki kelas masing-masing. Sebelumnya Zweitson pamit keluar karena katanya ada urusan, Fajri hanya mengangguk saja selebihnya ia pokus membaca komik.

Hari yang membosankan. Zweitson berjalan melewati koridor yang ramai, banyak anak-anak yang baru saja datang, kedua matanya memicing. Memastikan apa yang ia lihat itu benar. Perempuan itu disana, sedang berdiri didekat pos satpam sambil melambai-lambaikan tangan. Remaja cantik itu memakai rok hitam, dengan kaos merah yang dibalut jaket tebal.

"Salad buah untuk Soni, hehe." sekotak salad Zweitson terima dengan hati yang berirama. Perkataan Fajri tadi pagi memang benar. Orang yang selalu ia tunggu kabarnya pun berada didepan mata sekarang.

"Duduk dulu," pinta Zweitson mencari tempat duduk yang tak jauh dari tempat awal.

"Gimana kesehariannya, lancar?"

Selalu seperti itu setiap kali mereka bertemu. Zweitson yang akan menanyakan berbagai hal lebih dulu kepada kekasihnya, ketimbang ia menunggu kekasihnya menanyakan kabar dirinya. Dan jika di ingat-ingat, memang tidak pernah. Mungkin karena sudah terbiasa, Zweitson tidak mempermasalahkan hal itu.

Remaja cantik memiliki senyuman yang manis. Namanya Lita khanzaliana. Model muda yang kini tengah naik daun, turunan dari sang Mama yang merupakan mantan model dulu. Sekarang, Mama nya itu sedang mengurus butik besar di Jakarta.

"Maaf ya aku akhir-akhir ini jarang hubungin kamu," tuturnya menatap sejenak manik Zweitson yang terhalang lensa kacamata.

Anak itu tersenyum tulus, sebelum akhirnya merapihkan ujung rambut yang sedikit berantakan. "Tidak apa-apa, aku paham."

"Oh iya, aku mau kasih sesuatu. Kotaknya ketinggalan di asrama, pulang sekolah kamu bisa 'kan kesini?" tanya Zweitson berharap anggukan yang dapat ia lihat.

"Tentu. Sana masuk, satu menit lagi bel. Aku pulang dulu ya, semoga harimu menyenangkan!" serunya seraya bangkit, memamerkan senyum cantiknya sambil melambaikan tangan.

Fajri memanyunkan bibir, menatap Zweitson yang hanya menatap salad buah itu tanpa memakannya. Karena geram, Fajri menarik sekotak salad itu dari hadapan Zweitson, membuat sang empu mengumpat tertahan.

"Kalau dikasih makanan itu dimakan Son! Kata Umi enggak baik loh kalau enggak dimakan, mending dikasih ke aku gitu," ungkap Fajri.

"Bilang aja kamu mau," cibir Zweitson kembali merebut tupperware yang sedang Fajri buka.

"Iya, iyalah! Pake acara basa-basi lagi, kalau enggak dimakan mau dimakan kapan? Sampe nunggu basi. Entar mubazir, kalau enggak percaya tanya aja sama Pak Haji," tambah Fajri mencomot salad buah milik Zweitson.

"Terserah kamu aja."

***

Sekolah bubar dari dua puluh menit yang lalu. Zweitson duduk manis di depan halte dengan kotak kecil yang ia janjikan pagi tadi. Netra nya terus melihat jam tangan yang terpasang, sudah lumayan lama. Kenapa Lita belum juga datang.

Seakan belum puas hujan tadi pagi. Langit kembali mendung, menampung air hujan yang siap terjun kapan saja. Ia tidak membawa persediaan payung, mungkin sebentar lagi kehujanan. Jalan dari asrama ke sini lumayan juga.

Lima belas menit berlalu, belum ada tanda-tanda Lita datang. Kali ini, Lita lupa atau memang jadwalnya kembali padat. Zweitson tidak tahu, ia hendak menghubungi Lita, namun yang ia dapatkan hanyalah suara operator dari sana.

"Hufft!"

Setetes demi setetes, air hujan mulai membasahi aspal. Jika sudah begini, mungkin ia akan kembali ke asrama dengan menerobos hujan. Sekarang pemandangan yang dapat ia lihat hanyalah guyuran hujan yang kian membesar, dari arah trotoar, matanya bisa menangkap seseorang yang berjalan ke arah halte.

Itu Fajri.

Anak itu datang membawa dua buah payung. Satu sedang ia pakai, dan satu ia genggam. Disaat-saat seperti ini, Fajri selalu mengingat Zweitson dalam keadaan apapun. Ia pikir, ia akan berakhir dengan keadaan basah kuyup, namun semua terhalang oleh kebaikan sahabatnya Fajri.

"Thanks."








To be continued~

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang