Kelabu☁

80 28 3
                                    

Happy Reading






12.45

"I close today's meeting. see you and have a good day." setelah mengucapkan demikian, Miss Ririn berlalu, meninggalkan kelas yang kembali ricuh. Protes akan hasil ujian mereka sendiri.

Zweitson menatap hasil ujiannya Minggu kemarin yang menampilkan angka delapan puluh. Disebelahnya Fajri pun sama, melipat kertas hasil ujiannya yang berhasil mendapatkan nilai tertinggi di kelas yang biasanya Zweitson dapatkan.

Sembilan puluh. Itu yang Zweitson lihat pada kertas milik Fajri. Walau anak itu tidak memperlihatkannya langsung kepada Zweitson, namun ia juga tahu. Apalagi ketika Miss Ririn menyebutkan nilai mereka satu-persatu.

Tiga hari Fajri tidak masuk Minggu lalu, ternyata tidak membuatnya lupa akan materi-materi yang sebelumnya telah dipelajari. Hari sudah kembali seperti biasa, acara disekolah mereka telah usai. Banyak murid yang mengeluh karena selesainya acara, padahal mereka sedang menikmati rasa kejayaan mereka mendapatkan jam kosong.

Hubungan Fajri dan Zweitson tak kunjung membaik, bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Beberapa kali Fajri memberi penjelasan, mengucapakan kata maaf. Yang berakhir dengan Zweitson yang seakan tidak melihat keberadaan Fajri, tidak mendengar apa yang dikatakan Fajri.

Sore ini, setelah sekolah bubar. Lita meminta bertemu dengan Zweitson, hubungan mereka masih berlanjut namun Lita melewati masa-masa yang kelabu, masa-masa yang sulit untuknya.

"Bang, Bang Farhan tunggu! Mau ke kantin 'kan? Aku ikut."

Farhan yang memang sedang berjalan melewati kelas Zweitson hendak ke kantin pun menghentikan langkahnya. Menyembulkan kepalanya diujung pintu menunggu Zweitson membereskan buku-bukunya, Farhan juga bisa melihat, Zweitson yang meremat selembar kertas menjadi sebuah gulungan, lalu dimasukkan ke dalam tempat sampah.

"Tunggu bentar, Fajri lo mau ikut enggak?" tanya Farhan. Fajri yang tadinya sedang menunduk, membuka lembaran tebalnya buku paket pun menoleh.

Fajri hanya tersenyum tipis, lalu menggeleng. Ia tahu, Zweitson tidak akan suka jika dirinya mengiyakan ajakan Farhan. Setidaknya ia peka untuk sekarang.

Memang benar apa adanya, hidup tidak selamanya berjalan sesuai kemauan. Fase remaja membuat Fajri merasa tertekan. Masa remajanya tidak seindah orang lain, Fajri mendapatkan posisi golongan kedua remaja  yang memiliki banyak masalah.

Dalam riuhnya suasana sekolah, Fajri duduk di perpustakaan. Ia hanya menatap buku bersampul biru saja tanpa minat untuk membacanya. Sekedar mengusir rasa bosan dikelas yang sepi, semua penghuni pergi ke kantin untuk mengisi perut. Apalagi setelah ada kuis dadakan pagi tadi.

"Aji, aku boleh duduk disini enggak," bisik Thera ditelinga Fajri.

"Ish. Ngagetin, tinggal duduk aja," kesal Fajri yang diangguki Thera. Anak itu membawa dua buku tebal, novel favoritnya yang selalu Thera baca setiap hari.

"Di perpustakaan 'kan enggak boleh berisik Aji," balas Thera memang bener begitu. Tidak salah juga.

"Iya tapi enggak gitu juga, maksud berisik itu dalam artian enggak boleh adu mulut, berkelahi apalagi main-main enggak jelas," koreksi Fajri membenarkan.

"Iya Aji, pinter ih," puji Thera menyengir kuda.

Fajri menggeleng saja. Kebiasaan Thera dari dulu memang seperti ini sampai sekarang, lalu keduanya saling diam. Tidak ada suara apapun lagi, Thera yang sibuk membaca, Fajri yang hanya membuka setiap halamannya saja tanpa membaca satu baris pun.

Beralih pada kelas Fiki yang baru saja selesai mengisi perut di kantin. Semua penghuni sudah kembali ke kelas, sisa sisa waktu istirahat, mereka gunakan dengan beragam. Ada yang mengisi kekosongan itu dengan berjoget-joget, ada yang pacaran, ada juga yang sedang gibah berjamaah.

"Fiki, kamu teh sebenarnya suka enggak sama aku?" tanya Oliv menerima suapan dari Fiki yang sedang menyuapinya salad.

"Suka atuh Oliv," balas Fiki.

"Kalau nanti aku diambil Ajun gimana," kata Oliv. Pasalnya ia kesal, Fiki masih tidak menjadikannya pasangan sampai sekarang. Disisi lain, Ajun selalu muncul dihadapan Oliv.

"Enggak bakal, tenang aja. Kamu 'kan jodohnya aku, kalau sama Ajun tuhan enggak kasih restu nanti hubungan kalian hancur deh berkeping-keping bak kapal yang terkena meteor," jelas Fiki membuat Oliv terkekeh. Bahasa Fiki itu loh, iwh menggelikan.

Gilang yang berada tak jauh dari sana seketika seperti mendengar suara nyamuk yang sedang mengejek dirinya. Gilang mendengkus kesal, hendak kembali pada posisi awal malah hampir terjengkang, ketika melihat anak IPS 2 yang bernama Dinda itu tengah menopang dagunya sambil memainkan matanya genit pada Gilang.

Dinda, anak bertubuh gempal itu yang sendari dulu suka dengan Gilang. Tetapi Gilang selalu bersih keras menjauhi anak ini, memang pada dasarnya cinta itu buta, itu cewek terus saja ke kelas Gilang.

"Jomblo enggak enak yakan, sini sama aku aja," ujar Dinda merangkul Gilang membuat sang empu meringis.

"Dih gendut! Lepasin gue huwaa FIKI TOLONG!"

"Ih ayo-ayo ke kelas aku, aku bawain kamu nasi goreng loh," tawar Dinda. Gilang semakin menggeleng brutal. Ini seperti gambaran ikan buntal yang sedang bersampingan dengan ikan badut.

"Ayo dong," ucap Dinda menarik Gilang paksa. Mau berontak pun rasanya Gilang percuma, tubuh Dinda lebih besar dari Gilang. Tentunya Gilang hanya bisa pasrah saat diseret Dinda.

"Selamat berkencan Gilang! Happy fun ya!" teriak Fiki disusul tawa dari seisi kelas.

***

Suasana sore kembali Zweitson rasakan. Dua puluh menit mereka duduk bersama, tidak ada obrolan ataupun lemparan kabar dari pihak mana pun. Lita dan Zweitson sama-sama diam dalam heningnya keadaan. 

"Ekhem." Zweitson berdehem. Memecahkan keheningan, Lita sedikit melirik pada Zweitson lalu pokusnya kembali pada jalanan.

"So?"

Lita masih tidak bergeming. Ia pikir Zweitson akan peka, ia ingin sekali membahas masalah-masalah sebelumnya yang membuat mereka semakin menjaga jarak seperti ini. Sejujurnya, sesibuk apapun Lita dalam dunia karirnya, ia tidak bisa begini. Tidak bisa berdiam-diaman terlalu lama dengan Zweitson.

"Soni, kamu pasti paham maksud aku," ucap Lita tanpa menatap lawan bicaranya.

Lita bisa menangkap Zweitson yang membuang napas pelan. "Aku tentu enggak paham maksud kamu, orang kamu enggak ngomong apa-apa sebelumnya," balas Zweitson santai. Ia seperti tidak salah telah berbicara seperti itu.

Zweitson seperti sudah melupakan kejadian beberapa hari lalu tanpa memberi alasan yang jelas pada Lita.

Lita sendiri, ia seperti tidak mengenal sosok disampingnya sekarang. Dimana Zweitson yang selalu cepat tanggap dalam masalah, dimana Zweitson yang ramah, dimana senyuman yang biasa Lita tangkap.

Ini seperti sebuah halusinasi, lalu dilumpuhkan oleh keadaan. Lita merasa ia sedang tidak bersama Zweitson, tetapi dengan orang lain. Ia ingin Zweitson yang dulu, ia ingin Zweitson yang ia mau bukan ini.

"Soni, kamu seperti orang lain."









To be continued~




ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang