Happy Reading
Hari yang terasa berbeda dari biasanya ...
Pukul lima tepatnya setelah subuh. Fiki dan yang lain masih belum beranjak bangun, kamar mereka pun belum bersih seperti biasa. Masih sangat berantakan akibat semalam Gilang dan Fiki menonton drakor, mereka maraton sampai pukul tiga dini hari tanpa pengawasan Fajri.
Usai menerima hukuman dari Fajri, mereka langsung saja menonton drakor itu sampai dini hari. Bekas makanan dimana-mana, mereka berdua pun tidur satu ranjang dengan cara tidur yang sangat tidak elit.
Fajri agak kesiangan, biasanya sebelum subuh Fajri sudah membangunkan teman yang lain untuk bersiap-siap seperti biasa. Namun hari ini Fajri agak terlambat membangunkan mereka.
Matahari semakin naik, memamerkan cahayanya yang kini sudah masuk secara langsung ke dalam pentiliasi jendela.
Fajri masih merebahkan tubuhnya, ia sama sekali belum bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Tidak memperhatikan dan memperingati tiga teman nya yang sering ceboroh itu sekarang.
Zweitson baru selesai mamakai seragam. Ia hendak membereskan buku, namun matanya lebih dulu melirik ke arah Fajri yang masih leha-leha. Fajri terlihat tidak bersemangat hari ini, biasanya anak itu yang sering menyemangati mereka setiap hari.
"Bapak Fajri kok belum siap-siap," kata Gilang yang baru saja selesai mandi. Di ikuti Fiki yang tengah memakai dasi.
"Aku berangkat siang. Son, nanti tolong kasih tahu sama guru yang ngajar aku hari ini enggak ikut KBM. Aku sama Pak Fery mau ke lapangan untuk latihan seperti biasa," ujar Fajri yang diangguki Zweitson.
Berhubung acara yang akan di gelar tinggal menghitung hari saja. Fajri akan lebih banyak izin dari biasanya, begitu pula anak osis dan pengurus yang lain. Mereka disibukkan beberapa hari ini. Seperti sekarang, Fiki sudah bersiap-siap berangkat pagi sekali, Gilang berangkat pagi juga karena ada piket.
"Aku berangkat duluan," pamit Fiki meninggalkan sarapan pagi ini. Fajri mungkin hanya menitip pesan saja kepada Gilang nanti.
"Eh Fiki tunggu! Gue juga ada piket!" teriak Gilang dengan memasang sepatu terburu-buru.
"KALIAN BERDUA JANGAN LUPA SARAPAN DI KANTIN!"
Gilang tidak lagi menyahut perkataan Fajri. Anak itu sudah lebih dulu menghilang di ambang pintu, Zweitson masih santai seperti biasa. Mungkin hari ini ia berangkat sendiri.
"Kamu berangkat sendiri enggak papa Son? Atau mau aku temenin," tawar Fajri.
"Heh enggak usah lah, aku laki," ujar Zweitson setengah terkekeh.
"Laki enggak tuh," goda Fajri diakhiri tawa dari keduanya.
Kamar seketika sepi, ketiga penghuni itu sudah berangkat melakukan Aktivitas seperti biasa. Fajri yang kini tengah membereskan kamar, dari mulai kasur, sampai membuka jendela supaya udara masuk. Menyapu dan mengepel lantai, setiap hari juga seperti ini. Terkadang ada Zweitson yang membantu, Fiki dan Gilang yang hobinya membuat kamar berantakan.
***
Zweitson berjalan dengan santai sambil sesekali memotret objek yang sekiranya bagus. Apapun jika Zweitson yang mengambil poto, hasilnya akan lebih jernih dan bagus. Beda lagi jika Fiki yang mengambilnya.
Langkahnya kembali terhenti ketika matanya yang terhalang lensa itu melihat kembali wanita yang sama.
Wanita yang memiliki kedua lesung pipi itu kembali di pinggir trotoar dengan kucing-kucing jalanan seperti hari itu. Terlihat sekali senyuman menghiasi wajahnya yang tersorot sinar ultraviolet secara langsung, Zweitson siap mengambil kamera. Memotret wanita itu dalam diam.
Zweitson masih tidak beranjak dari sana. Sampai akhirnya ia disadarkan dengan kedua anak kucing yang menghampirinya sekarang, menudusal manja pada kaki Zweitson yang terhalang sepatu.
Pandangannya beralih seketika. Ia menatap lama kedua kucing itu yang terus memamerkan suara cantiknya, Zweitson berjongkok. Tangannya terulur mengelus halus bulu-bulu kucing yang terasa lembut ditangan.
Bayangan seseorang berdiri tepat di hadapan Zweitson. Zweitson melihat dari bawah langsung disuguhi sepatu putih milik wanita tadi, lalu beralih rok hitam sebatas lutut, baju putih panjang dan wajah itu. Zweitson dapat melihat wajahnya dari jarak dekat.
"Kau tidak ingin berangkat sekolah? Hari sudah mulai siang," katanya membuat Zweitson tersadar. Melihat sekilas jam tangannya yang menunjukan pukul setengah tujuh.
Keduanya berjalan bersama menuju sekolah, Zweitson merasa sangat canggung sekali. Begitu pula wanita tadi, mereka hanya sesekali melempar pertanyaan biasa, mengenai sekolah, sampai dengan umur saja.
"Rumah kamu dekat sekolahan memangnya?" tanya Zweitson kembali melempar pertanyaan setelah beberapa menit terasa hening.
"Iya. Sebenarnya aku baru-baru ini tinggal di Jakarta, Papah ada kerjaan disini, dan oh iya sendari tadi kita mengobrol kita belum sempat kenalan." Zweitson tersadar, dari tadi mereka mengobrol belum sempat berkenalan.
"Nama aku Zweitson, terserah mau panggil apa," kata Zweitson sambil tersenyum kikuk.
"Ah nama yang indah, aku panggil kamu Zwei saja jika begitu. Nama ku Lenthera, panggil aku Thera," katanya membalas jabatan tangan Zweitson.
"Thera," gumam Zweitson seakan tidak asing dengan nama itu.
"Kenapa? Kau memikirkan sesuatu?" tanya Thera, membuat Zweitson menggeleng dengan spontan.
"Aku duluan, sampai bertemu lagi." Thera sedikit berlari sambil melambaikan tangannya, Zweitson hanya menatap kepergian Thera yang kini sudah hilang dari pandangannya.
Pikiran masih berkecamuk dalam benak Zweitson. Ia menatap telapak tangannya yang baru saja dipegang gadis tadi. Sampai suara seseorang yang memanggil namanya pun masih tidak Zweitson sadari.
"Thera, Thera." Zweitson masih bergumam memikirkan nama itu yang pernah disebutkan oleh seseorang. Tetapi ia lupa, benar-benar lupa.
Pundaknya ditepuk seseorang, yang ternyata Lita. Kekasihnya yang beberapa hari tidak ada kabar. Dan sekarang gadis itu sudah berada dibelakang Zweitson.
"Son!" panggil Lita setengah berteriak. Sendari tadi ia memanggil Zweitson masih tidak merespon.
Zweitson menoleh dengan spontan, wajahnya terlihat linglung setelah melihat kedatangan Lita.
"Salad buah untuk Soni." Lita menyodorkan satu kotak salad buah seperti biasa yang ia selalu berikan pada Zweitson.
Hari ini Lita melihat keanehan. Sorot mata Zweitson yang ia lihat tidak seperti biasanya, ia menduga mungkin Zweitson sempat marah karena beberapa hari ini tidak ada kabar mengenai dirinya. Ya Lita masih menganggap ini wajar.
Lagi pun, Zweitson berhak merah padannya. Jadwal Lita yang kembali sibuk membuatnya tidak ada waktu lebih.
To be continued~
KAMU SEDANG MEMBACA
ARBOR Vi [End] || Un1ty
Novela JuvenilFajri tidak pernah menyangka, jika semua akan berakhir pada masanya. masa yang sulit, membuat dirinya tidak ingin bangkit. Sebuah konflik yang datang, menerjang kapal yang sedang berlayar. diterpa badai dan lautan yang berakhir tenggelam. Fajri ||...