Lari pagi ☁

127 34 12
                                    

Happy Reading





Tentang sebuah mimpi yang tertahan, terlelap dalam diam. Terkubur dalam sepinya keadaan.

Semua orang tentu memiliki mimpi. Begitu juga dengan kedelapan remaja ini, mimpi mereka berbeda-beda. Fiki yang ingin menjadi seorang penyanyi, Fajri yang ingin menjadi seorang dancer. Zweitson yang ingin menjadi potographer. Gilang yang memiliki bakat dalam dunia persalonan.

Tidak kalah dengan bakat mereka, Fenly yang memiliki wajah rupawan itu memiliki bakat dalam dunia memasak, Fenly bilang dia ingin menjadi seorang koki. Farhan yang ingin menjadi pelatih olahraga, Ricky yang katanya ingin membantu Farhan menjadi pelatih juga. Dan Shandy si tengil itu yang memiliki suara emas.

Kira-kira begitu mimpi mereka.

Dari hari yang terus mereka lalui, akhirnya sampai pada hari akhir pekan. Sesuai rencananya pada hari sebelumnya, mereka memutuskan untuk lari pagi. Zweitson sempat mengusulkan untuk mengajak keempat Kakak kelasnya juga, supaya ramai. Usulan itu disetujui semuanya. 

Fajri sudah terlihat rapih, dengan celana training, kaos putih dibalut jaket. Jangan lupakan topi pemberian dari Zweitson pada ulang tahunnya dulu ia pakai, disusul oleh yang lain, mereka pun sudah siap dengan wajah yang berseri.

"Mari kita bangunkan Kakak kelas kita!" seru Fiki berjalan lebih dulu.

Suasana kamar disebelah mereka masih gelap. Tidak tanggung, mereka pun masih bisa mendengar dengkuran keras dari masing-masing ranjang. Gilang antusias menyalakan saklar lampu, membuat seluruh ruangan terang.

"PARA ABANG-ABANG MAU IKUT KITA LARI APA ENGGAK?!"

Suara melengking dari Fiki terdengar nyaring. Zweitson, Fajri dengan Gilang sampai menutup telinga mereka. Tetapi teriakannya masih menjadi angin lalu bagi keempat remaja yang masih tertidur itu.

"Ya ampun, ekhem!" Fiki berjalan menuju tempat tidur mereka disusul Zweitson, Fajri dan Gilang yang ikut membangunkan keempat Kakak kelasnya.

Dua puluh menit berkutat di kamar para senior. Mereka hanya mendapat kekesalan saja ketika membangunkan remaja kebo itu. Fiki yang rela berteriak sampai suaranya habis, nyatanya tidak membuahkan hasil apapun.

Jalanan yang sepi, angin yang menjadi teman suasana pagi. Udara yang segar mereka lalui, sampai pada akhirnya mereka sampai di depan kang bubur Pak Haji. Mereka memutuskan untuk memakan bubur dahulu, sambil melihat pemandangan yang luar biasa indah ketika belum adanya asap dari kendaraan.

"Bubur ayam empat Pak Haji," ujar Gilang memberikan dua puluh ribu kepada laki-laki yang sudah lanjut usia itu.

"Siap. Semuanya campur nih?"

"Saya jangan pake kacang!" teriak Zweitson.

"Kalau saya enggak usah pake bawang goreng," tambah Fajri.

"Khusus buat satu mangkuk, Pak Haji enggak usah hias bagus-bagus. Si Fiki pasti bakal di aduk cara makannya," kata Gilang memberi tahu.

Sambil menunggu, mereka sesekali membahas perkuliahan setelah lulus nanti. Masih lama memang, tetapi apa sih yang enggak mereka bahas. Semuanya mereka kupas jika sudah berkumpul seperti ini.

"Kalian pada enggak tahu ya, setelah lulus aku bakal dibawa sama salah satu agensi di Korea. Katanya aku diajak debut sama treasure," celetuk Fiki.

"Halah! Di pungut agensi enggak, jadi gembel disana iya lo," tutur Gilang menciptakan tawa dari mereka.

"Jahat beut sama bestie sendiri, awas aja kalau aku beneran debut sama mereka."

"Lagi pun mereka sudah debut dari lama, mau jadi anggota keberapa memangnya." kini giliran Fajri yang berbicara.

"Staff nya aja cakep-cakep, kamu debut disana bukan jadi idol tapi jadi obe mah iya," ungkap Zweitson yang ikut menistakan Fiki. Tolong, Fiki butuh pembelaan. Semua temannya malah menistakan dirinya sekarang.

"Kalian mah gitu," tutur nya sambil merengut tidak jelas.

"Apa, hah?!" sungut Fiki ketika melihat Gilang yang cekikikan. Semua kembali tertawa, kali ini mereka hanya mengobrol santai, melupakan sejenak setiap masalah yang datang.

Obrolan mereka seketika berhenti, keempat anak itu masing-masing anteng dengan makanan yang tengah mereka lahap. Jalanan pun sudah mulai ramai kembali, semua orang kembali memulai aktivitas mereka seperti biasa. Matahari masih bisa mereka lihat, cuaca pagi masih bisa mereka rasakan.

Sebuah nikmat kecil yang patut kita syukuri.

Mereka berangkat dari asrama pukul setengah enam pagi. Kehambat membangunkan para seniornya, sekarang mereka pulang dari lari pagi pukul sepuluh. Mereka tidak benar-benar lari pagi, setengahnya mereka bermain di taman. Tidak masalah, dilihat dari umur mereka memang sudah dewasa, tetapi jangan lupakan sikap kanak-kanak masih mendominasi pada diri mereka. 

"Son, nanti malam jadi 'kan? Katanya kemarin kamu ngajak ke pasar malam." Fajri berbicara sambil menyusun buku-buku pelajaran pada tempatnya.

"Jadi dong. Pokoknya nanti malam kita berdua aja, enggak usah ajak dua curut itu." yang di maksud dua curut itu Fiki dan Gilang bay the way.

"Sip-sip."

Malam yang sedang Fajri tunggu-tunggu dari sekarang. Ketika semua orang terlelap tidur siang, Fajri berkutat dengan lembaran kertas, hanya sebuah kata-kata random yang ia tuliskan lewat pena. Semua kata yang ingin ia ungkapkan Fajri tuangkan dalam lembaran kertas.

Rindu itu kembali ada. Entah kapan ia bisa melupakannya, berbagai cara telah ia lakoni, nyatanya gadis itu memang tidak bisa pergi dari pikiran Fajri. Senyumannya, janji manisnya, dan tawa lepasnya masih bisa terekam dengan jelas pada memori ingatan Fajri.

Sambil terus menunggu. Fajri ingin melakukan banyak hal dengan yang lain, ia tidak ingin menyia-nyiakan teman-teman baiknya. Fajri selalu takut kembali ditinggalkan. Karena bagaimanapun, yang namanya mahluk sosial tidak akan bisa hidup sendiri. Ia perlu bantuan, ia butuh senderan.

Beberapa chapter masih terlihat tenang dan ringan, karena konflik perlu dipertengahan, kita perlu membacanya perlahan, sehingga banyak makna yang tertanam.

To be continued~


   


ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang