Ketukan hati ☁

90 25 2
                                    

Happy Reading










Jika mungkin, semua tidak sesuai harapan. Akankah bisa, ia kembali berharap. Berharap pada orang yang sama, kembali menjelajahi sulitnya menembus sebuah ilusi, yang tercipta pada dua pembatas dinding. Menghubungkan keduanya antara ingin memiliki dan mencari pengganti.

Suasana hati yang kacau menjadi pemicu utama untuk melakukan hal apapun yang menurutnya itu benar.

Memang, itu sangat tidak baik jika tidak ada yang membantunya untuk kembali seperti semula.

Tetapi Zweitson, ia memiliki seseorang yang tidak pernah sekali pun berpaling. Dan mungkin, ia harus bisa bersyukur atas itu.

Sejak jam pelajaran ke tiga, Fajri tidak melihat Zweitson memasuki kelas. Sebelumnya Fajri sempat membuntuti Zweitson dan dua anak biang onar itu, namun, saat dijalan ia malah bertemu dengan guru BK yang ternyata sedang mencari anak-anak yang masih berkeliaran.

Dengan kesal dan berat hati, Fajri kembali ke dalam kelas tanpa tahu, Zweitson pergi kemana dan mau apa.

Fajri terus memandangi jam dinding dengan gelisah, waktu sisa lima belas menit lagi menuju bel pulang. Guru sejarah masih asik menjelaskan materi-materi terakhir yang disampaikan.

Anak ips sudah bubar lima menit yang lalu, Fajri dibuat kesal, sisa kelasnya saja yang masih belum dibubarkan.

"Sstt, Aji." Fajri melirik pada pintu, ada Fiki dan Gilang yang sudah membawa tas, diatas punggung.

"Aku lihat Zweitson. Emang dia enggak masuk kelas ya?"

"Hah?"

Fajri menutup mulutnya. Ia tidak paham dengan bahasa isyarat yang diberikan Fiki, Guru yang berusia setengah abad itu sedikit melirik Fajri. Ia dibuat deg-degan sekarang.

"Baik, kita lanjutkan besok. Dari tadi kalian melihat keluar terus, silahkan beres-beres. Berdoa, lalu pulang," katanya sambil membereskan buku. Menutup kembali spidol dan bersiap menutup perjumpaan mereka hari ini.

Fajri buru-buru memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, mengambil tas disebelahnya yang ditinggalkan sang pemilik sendari tadi.

Di warung pojok, istilah yang sering kita dengar dengan singkatan warjok. Tempat perkumpulan anak-anak yang sering tidak masuk kelas, kesiangan, atau yang suka merokok segala macam disini.

Zweitson masih tergolong anak yang baik, ia sendiri tadi hanya diam, melihat dua orang yang membawanya kemari hanya untuk menghisap nikotin berbahaya itu. Ia merasa sangat tidak enak melakukan hal seperti ini, sedari tadi tangannya terus membuka layar ponsel, melihat jam terus menerus.

"Enggak pengen nyebat juga lo?" tanya Charles sekaligus menawari anak itu dengan satu buah rokok.

Zweitson menggeleng. Ia masih waras dan ingin hidup sehat.

"Coba satu kali aja, enggak usah pusing mikirin beban hidup," tambah teman disebelahnya, Jojo.

"Aku tidak mau. Aku ingin pulang," balas Zweitson hendak bangkit, tetapi ujung seragamnya Charles tarik membuat sang empu kembali duduk.

"Eeeh, harus cobain dulu. Karena kita teman, jadi lo harus kaya kita-kita juga." Charles merangkul bahu Zweitson, terlihat anak itu bergerak tidak nyaman.

"Jo, ambil korek. Nyalain!" titah Charles yang diangguki sang empu.

"Enggak, makasih. Lepasin!" Zweitson memberontak, berusaha melepaskan rangkulan kuat Charles yang melilit sebagian lehernya.

"Harus dicoba dulu," katanya mengulangi perkataan yang sama.

Zweitson semakin gusar. Ia terus menjauhkan mulutnya, keadaan disana memang sepi. Lantaran semua siswa sebagian sudah pulang.

"WOY LO APAIN TEMEN GUE!" Gilang berteriak lantang, disusul Fajri dan Fiki yang berlari dibelakang Gilang.

"Heee ini orang, bosen hidup ya lo! Lain kali kalau mau ngajakin yang enggak bener sekalian aja lo, lo pada ke club, tapi jangan ajak temen gue juga! Enggak usah ajak-ajakin orang yang enggak bener," lanjut Gilang dengan keras. Ia tidak terima, teman baiknya diracuni pikiran-pikiran yang tidak baik.

"Ngomong lo?" Charles berkata sambil menatap Gilang meremehkan.

"Gak, gue lagi berak! Ya iyalah bego banget!"

Fajri menarik Zweitson dari sana, biarlah Gilang yang adu jotos bersama dua mahluk itu. Fiki sendiri sedang menjadi pendukung dengan adanya debat ini, jika begini ia tidak perlu susah-susah belajar praktek debat. Wong, temannya saja sudah mempraktekkannya.

"AYO GILANG, BUNGKAM MULUT DUA CURUT ITU DENGAN MULUT PISAU MU, HUUU!"

"Berisik lo Fiki, gue bom juga mulut lo!"

Fajri dan Zweitson sedang berjalan menuju keluar gerbang, tidak ada obrolan yang keluar, baik dari Fajri ataupun Zweitson. Entah Fajri yang tidak tahu harus berkata apa mengenai semua ini, entah juga Zweitson yang kehabisan kata-kata, bingung harus seperti apa untuk membunuh suasana hening di  antara mereka.

"Kenapa?"

Akhirnya Fajri yang turun tangan. Ia tidak bisa berdiam terus, harus ada kejelasan bukan.

"Apanya yang kenapa?" Zweitson balik bertanya.

Fajri menghela napas. "Kenapa enggak masuk kelas, kalau emang kamu enggan lihat wajah aku, aku bisa pindah duduk, tapi jangan seperti tadi. Katanya, kamu ingin lulus dengan nilai tertinggi, supaya orang tua kamu bangga, lantas kenapa kamu abaikan absen mu itu?"

Zweitson diam.

"Masalah kamu sama Lita juga belum selesai, aku saranin kamu temui dia. Bicara baik-baik," tambah Fajri.

"Kenapa peduli?"

"Hah?" Fajri menatap Zweitson sesaat.

"Kenapa kamu begitu peduli sama kehidupan orang lain? Bahkan aku saja, tidak memikirkan orang lain. Yang terpenting, hidupku baik."

Fajri mengulum senyum tipis. "Karena kamu teman aku Zweitson."

"Itu saja?"

"Terus, aku harus bilang apalagi?"

"Enggak." Zweitson bingung, harus bertanya apa lagi dengan Fajri. Sekarang, mengobrol saja rasanya begitu canggung.

"Apa perlu aku kasih tahu Zweitson? Kalau aku kasih tahu, kamu mau respon seperti apa?"

Zweitson masih diam, menunggu Fajri melanjutkan perkataannya.

"Ah enggak, kamu cari tahu sendiri aja. Aku duluan, ada janji sama orang." Fajri sedikit berlari, meninggalkan Zweitson dengan segala rasa penasarannya. 

***

Diibaratkan sebuah debu, mungkin Lita sudah menghilang entah kemana diterpa angin. Hidupnya memang tidak sekacau itu, namun batinnya tidak bisa berbohong untuk berkata baik-baik saja.

Malam kemarin, Lita melepas pekerjaannya sebagai model. Ia ingin menjalani hidup seperti remaja lain, bersekolah, menghabiskan waktu bersama dengan orang terkasih, bersepeda, dan masih banyak hal lainnya.

Sore ini, ia termangu didepan jalan raya yang terlihat masih ramai. Sinar senja menyorot langsung mengenai sebagian wajahnya yang tertutupi oleh tundung jaket.

"Lita!" seseorang mengejutkan dirinya dari arah belakang, seperti biasa itu Thera.

Mungkin, mereka telah menjadi teman ... baik.

Mengingat mereka sering bertemu, mengobrol banyak hal akhir-akhir ini.

"Senang banget kayaknya, kenapa?"

Thera tak henti-hentinya menahan senyum. Ia sekarang malah memeluk tubuh Lita erat-erat.

Siang tadi, sederet kata-kata seseorang masih terus terngiang dipikirkannya.

'Jadi teman aja? Enggak jadi teman hidup sampai garis akhir nih?'

'Kita bisa memulainya dari awal.'

~











To be continued~






ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang