Ketahuan ☁

102 30 10
                                    

Happy Reading




Tinggal jauh dari orang tua tidak selamanya susah juga, ada teman sekamar kita yang selalu siap menghibur. Seperti nanti sore, Fenly Kakak kelas mereka mengundang mereka untuk ikut lomba memasak, jika ada lomba pasti akan ada hadiah dong tentunya. 

Mereka hanya mengadakan lomba antar asrama saja, dan diantaranya mereka yang di undang.

Fajri dan Zweitson tengah bersiap-siap untuk pulang. Dari membereskan buku paket, pensil dan segala macam. Sebelumnya Fajri juga ingin mengambil baju olahraganya yang tertinggal di asrama. Hari ini ia ada latihan kembali.

"Fajri kita mampir ke loker dulu sebentar," kata Zweitson sambil membawa beberapa tumpukan buku paketnya di tangan.

"Iya, kita juga lewat tangga sebelah aja. Aku mau ke kelas dua belas dulu," ujar Fajri yang diangguki Zweitson.

Di sebrang sana sudah ada Fiki dan Gilang yang menunggu. Kelas mereka paling terdepan soal pulang, tak jarang bahkan guru disana pun malas sekali memasuki kelas Gilang dan Fiki.

Sebenarnya, dalam kelas Fiki dan Gilang banyak sekali anak-anak pintar. Hanya saja, sikap kurang sopannya yang membuat guru-guru mengelus dada. Kelas mereka sudah terkenal sampai ke ruang BK. Hanya saja, murid dari kelas itu tidak pernah masuk BK sekali pun.

"Nanti sore ada lomba masak, semoga gue enggak satu tim sama lo," kata Gilang sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas.

"Siapa juga yang mau satu tim sama kamu," balas Fiki dengan nada sombongnya. Seperti ia pintar memasak saja.

"Bagus deh. Masak bareng lo itu buat semua acara berantakan Fiki," ungkap Gilang memang benar kenyataannya.

Ia pernah membiarkan Fiki memasak mie instan waktu itu, berakhir panci yang gosong akibat kekurangan air. Fiki memasak mie sambil menonton video mukbang, menelantarkan masakannya yang berakhir gagal.

"Nyenye!"

Gilang menahan tangannya agar tidak memukul Fiki, sabar-sabar, mereka menunggu Fajri dan Zweitson dekat ruang BK. Takut guru disana melihat adegan yang akan dilakukan Gilang berakhir salah paham bisa-bisa terkena masalah.

"Fiki Emak lo pas hamil ngidam apaan sih, sampe anaknya gemesin gini hah?" tanya Gilang merapatkan gigi bawah dan atasnya sambil tangannya menahan gemas ingin sekali mencabik wajah Fiki.

"Mana aku tahu, tanya sana sama Ibu. Emang nya diriku ini  di dalam kandungan bisa saling interaksi, bayi ajaib kali aku nih," terang Fiki membuat Gilang mendelik malas.

Gilang, Fiki dan kedua sohibnya sudah berjalan menuju asrama. Cuaca panas kota Jakarta memang sangat mengagumkan sekali, mereka berjalan dari sekolah ke asrama dengan gontai, lantaran kerongkongan yang terasa kering, badan terasa gerah, wajah mereka tersorot matahari sembilan puluh derajat.

"Kita mau ke konter dulu, kalian pulang duluan aja," kata Gilang menarik Fiki yang malah ikut rombongan Zweitson.

"Lah terus kenapa kalian nungguin kita balik? Tadi kalian duluan aja kalau tahu gini mah," ujar Zweitson membuat dua mahluk itu tercengir.

"Ya enggak papa. Sebagai partisipasi selaku teman," kata Fiki dengan gaya bicaranya.

"Yaudah hati-hati, jangan pecicilan di jalan, kalian. Pulang lebih dari jam tiga sore awas aja," ucap Fajri.

"Iya Bapak Fajri. Kita duluan, bye!"

***

Gilang juga Fiki berjalan mengendap-endap memasuki asrama. Bahkan mereka menjinjing sepatu mereka supaya tidak menimbulkan suara apapun. Mereka pulang lebih dari jam tiga, di konter tadi tidak banyak memakan waktu, sisanya mereka bermain tidak jelas. Entah apa lagi yang mereka lakukan hari ini.

"Sttt, Fiki lo aja deh yang buka pintu, awas jangan bersuara," bisik Gilang sedikit berjinjit karena Fiki yang terlalu tinggi.

"Pintunya suka timbul bunyi Gilang, gimana kalau ketahuan," balas Fiki tak kalah kecil suaranya. Bahkan suara mereka sudah seperti tikus yang sedang berkompromi membahas masalah makanan.

"Makanannya pelan-pelan anjir!" sentak Gilang yang diangguki Fiki setelahnya.

Krett!

Gilang dan Fiki menutup mata, sama-sama membuang napas pasrah. Fiki benar-benar sangat pelan membuka pintu, hingga saat pintu terbuka setengah lalu terbuka lebar. Fajri sudah berdiri dengan tangan yang dilipat diatas dada.

"ANJIR!" Fiki dan Gilang kaget ditempat. Sampai sepatu yang mereka pegang pun terlempar tidak sengaja.

"Seperti mati lampu ya sayang ... seperti mati lampu, eh." Fiki membekap mulutnya sendiri. Gilang ingin sekali mengumpati Fiki detik ini juga, anak itu malah bernyanyi.

"Masuk. Ayo letakan tas kalian dengan benar disana, sepatu kalian taruh di rak dengan rapih, acara lomba masak sudah mau dimulai kalian bersih-bersih badan dulu sana," titah Fajri lalu berlalu begitu saja melewati Gilang dan Fiki yang tengah menahan napas.

"Syukur Bapak Fajri sedang baik," kata Gilang membuang napas dengan lega. Begitu pula dengan Fiki.

***

Fajri duduk disebelah Zweitson yang sudah menghadiri undangan dari Fanly. Nampak Zweitson yang tengah membereskan celemek untuk para peserta nanti. Fajri turut membantu membereskan, menciptakan senyuman dari Zweitson untuknya.

"Mereka udah pulang?" tanya Zweitson tanpa melihat ke arah Fajri.

"Udah. Lihat aja, nanti malam hukumannya menyusul. Sekarang aku menyuruh mereka mandi lebih dulu," jawab Fajri membuat Zweitson terkekeh. Fajri benar-benar seperti orang tua bagi mereka.

"Kali ini hukumannya apa?"

"Menyuruh mereka menulis kata yang sama dalam dua lembar kertas. Tulisan harus rapih dan jelas, sisanya aku tes mereka rumus matematika," jelas Fajri yang diangguki Zweitson.

Beruntung sekali Zweitson itu sohib dekat Fajri. Dan Zweitson sendiri tidak pernah membuat ulah dengan Fajri, tidak seperti Gilang dan Fiki yang gemar sekali membuat Fajri turun tangan. Tidak masalah, kelak mereka akan merindukan momen ini ketika mereka lulus nanti.



To be continued~

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang