Hari Minggu☁

112 35 6
                                    

Happy Reading



Sekali lagi. Ia hanya mencari kesibukan dengan caranya sendiri. Dengan caranya untuk melupakan seseorang, dengan usahanya untuk tertahan dalam diam.

Pasar malam memang sudah menjadi langganan banyak orang. Seperti banyaknya pasangan yang pergi berkencan kemari dengan menghabiskan waktu tiada henti.

Sama halnya dengan Zweitson sekarang. Ia pergi dengan Lita beberapa jam yang lalu, meninggalkan janjinya dengan Fajri tadi siang. Seolah tanpa adanya beban, Zweitson maupun Lita berkeliling melewati setiap para penjual disana.

Tidak banyak, mereka berhenti di beberapa penjual untuk membeli apa yang mereka mau. Sekarang kedua pasangan remaja itu berada di kursi yang tak jauh dari lokasi.

"Aku senang kamu ada waktu," ungkap Zweitson tiba-tiba. Lita menoleh dengan spontan, pergerakan cepatnya membuat pipi kanannya tergores krim coklat dari kue yang tengah ia makan.

Zweitson terkekeh. Jempolnya beralih mengusap noda coklat pada pipi Lita.

"Hm. Aku juga senang, aku selalu meminta kepada Papah untuk memberikan hari libur. Nyatanya memang Papah keras kepala, jadi untuk ada waktu seperti ini saja aku harus mengancam dulu," ujar Lita.

Sebenarnya, alasan Lita sibuk bukan hanya sekedar alasan. Menjadi seseorang yang dikenal banyak orang memang tidak selalu memiliki waktu luang.

"Ngomong-ngomong hadiah dari kamu kemarin lucu. Dapat darimana?" tanya Lita menatap manik Zweitson sejenak.

"Ada deh. Tapi itu teman aku yang pilih, kamu suka bukan?"

"Iya suka, warnanya juga cantik," tutur Lita seraya menarik senyum.

"Tapi senyuman kamu lebih cantik," balas Zweitson sambil tercengir.

"Aku tahu, haha!"

Bohong jika Lita memberikan ekspresi biasa saja. Dalam hatinya ia ingin menjerit, namun attitude nya harus ia jaga didepan Zweitson.

***

Malam kian larut, Lita sudah pulang setelah puas menghabiskan waktu bersama dengan Zweitson. Begitu pula dengan remaja berkacamata ini, ia kembali pulang menuju asrama yang sudah gelap. Mungkin seluruh penghuninya sudah terlelap tidur.

Ia membawa satu kresek yang isinya martabak manis untuk teman-temannya. Tangannya terulur pada saklar lampu. Ruangan kembali terang, menampakan pemandangan tiga anak yang sudah tidur.

"Tadinya mau kasih martabak, udah pada tidur. Yaudahlah," gumamnya pelan. Meletakan kresek hitam yang ia bawa ke atas meja.

"Gue belum tidur!" teriak Gilang langsung loncat dari tempat tidur.

Mendengar teriakan Gilang, Fiki maupun Fajri ikut  terbangun dari tidurnya. Zweitson menatap malas wajah Gilang, tidak peduli dengan Gilang yang langsung menyerobot martabak yang ia bawa, Zweitson lebih memilih membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Ia menatap ponselnya lama, tersenyum lalu teriak tertahan. Persis seperti gadis yang baru saja di tembak gebetan.

"Najis ngeri gue lihat lo gitu," ucap Gilang yang di setujui Fiki dan Fajri yang entah kapan sudah ikut menguyah martabak.

"Yeeu jomblo mah gitu," ejek Zweitson yang memilih tidur saja. Ia sudah kenyang makan segala jenis makanan dengan Lita di pasar malam tadi.

Fajri terlihat biasa saja. Melihat kepulangan Zweitson tanpa bertanya banyak sekali hal, seakan tidak terjadi apa-apa. Zweitson belum menyadari sesuatu sejak ia kembali ke asrama, dan mungkin Zweitson akan menyadarinya lain waktu.

"Gila keren banget bias ku." Fiki berucap sambil menatap layar ponselnya yang menyala.

"Iya yang keren bias lo bukan lo," ucap Gilang. Anak satu ini memang suka sekali menistakan orang-orang.

"Diem kamu bekicot!" gertak Fiki.

"Fajri, cerita lagi dong soal gadis yang kemarin itu." Fajri menatap spontan ke arah Fiki dengan keadaan yang masih menguyah martabak.

"Ngapain? Malesin ah," balasnya menatap malas wajah Fiki.

"Dih sama Zweitson aja kemarin terus terang, masa sama calon idol kek aku enggak mau," cibir Fiki.

"Udah Fajri enggak usah ladenin dia. Kita tidur aja ayo," ajak Gilang menarik tangan Fajri.

"SAMPAHNYA JANGAN LUPA BUANG YA. KATANYA KAMU MAU DI PUNGUT AGENSI, BELAJAR SEJAK DINI DONG!" teriak Gilang sambil mengejek Fiki kembali.

Fiki hanya bisa merengut saja. Ia benar-benar menyesal telah berceloteh banyak hal di depan Gilang. Sekarang lihat, Gilang jadi semakin gencar menistakan Fiki. Lain kali, Fiki tidak akan berceloteh didepan Gilang lagi.

Sesuai peraturan sejak dibangunnya asrama ini. Setiap hari Minggu, penghuni masing-masing kamar harus membersihkan ruangan dari mulai menyapu, sampai dengan mengelap kaca. Jika perlu, mencabuti rumput yang ada didepan juga. Seperti pagi ini, setelah malam tadi tidur dengan nyenyak. Paginya mereka kerja bakti.

"Ini dibuang kemana?" tanya Fiki memungut dedaunan kering ke dalam plastik.

"Kemana aja yang penting kawasan kita rapih," jawab Zweitson yang masih mengelap kaca.

"Makan aja Fik. Lo kan pemakan segala," tutur Gilang. Ngomong-ngomong anak itu tidak bekerja sama sekali, sekarang ia tengah berbaring santai di atas kursi panjang sambil memakan kacang tanah yang sudah di goreng.

"Enggak usah ngomong Lang, kalau enggak mau aku pitesin tangan kamu!"

"Coba kalau berani," ucap Gilang malah menantang Fiki.

"Sini ka--"

"Udah Fiki, udah. Sekarang buang itu sampah, cepat," potong Fajri. Ia sudah sering sekali menjadi saksi atas perdebatan Gilang dan Fiki. Seperti malam tadi.

Fiki melihat Shandy yang tengah menyapu halaman. Di sampingnya ada Farhan yang tengah menyiram tanaman, di susul Fenly dan Ricky sedang bersantai seperti Gilang. Bedanya mereka seperti sedang main game online bersama, tidak seperti Gilang yang mengemil.

"Bang Shan!" sapa Fiki menghampiri Shandy yang hanya meliriknya sekilas.

"Naon?!"

"Santai Bang, tadinya aku bawa kue kering. Berhubung Bang Shandy ngegas enggak jadi deh," ucap Fiki membalikan badan siap untuk pergi.

"Eh, eh." kerah baju Fiki ditarik Shandy membuat sang empu kembali membalikan badan.

"Bilang dong kalau bawa makanan, makasih ya. Kebetulan kita belum beli makanan," kata Shandy sambil merebut plastik hitam yang Fiki bawa.

"Hehe iya Bang. Pamit ya, bye!"

Fiki berlari dengan tergesa sebelum Shandy benar-benar membuka plastik yang ia berikan tadi.

"Sampahnya udah aku buang, kalau Bang Shandy nanyain bilang aja aku lagi eksperimen bikin gunung meletus jadi enggak bisa di ganggu. Bye bye." Fiki berlari menuju keluar asrama meninggalkan mereka dengan tatapan bingungnya.

To be continued~






ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang