Bayangan & udara☁

192 39 1
                                    

Happy Reading








Hanya sebuah perasaan, yang kemudian hilang. Lalu tenggelam. Tidak ada rasa yang kembali ada, tidak ada kata yang kembali terpana.

Semua akan hilang pada masanya.

"Aku bakal lebih marah kalau kamu sampai basah-basahan," ungkap Fajri yang entah dari kapan sudah duduk di dekat Zweitson yang masih melamun.

Dua cangkir teh penghangat badan yang dibawa Fajri. Terkadang, hal-hal kecil yang sering kali teman kita berikan, tidak berarti apa-apa untuk orang yang telat memahami situasi. Semua ia anggap biasa, tanpa sadar ketika seseorang itu hilang, ia akan menyadari hal yang teramat menyakitkan.

Dan. Semoga itu tidak terjadi.

Ting!

[Maaf, aku lupa. Ponsel aku ketinggalan di rumah tadi]

Sebuah pesan singkat, mampu membuat kedua matanya memanas. Ia meremat kuat cangkir teh yang sudah tidak terasa panas lagi, kali ini apa lagi? Hatinya terlalu lemah untuk marah. Ia terlalu sayang, rasanya tidak pantas untuk itu, lebih baik ia mengalah seperti biasa.

Berbicara masalah perasaan memang sulit. Orang yang memiliki pasangan biasanya banyak sekali cobaan, seperti sekarang. Hal itu membuktikan seberapa sabarnya kita, sekuat apa kita. Dua pilihan antara bertahan atau pergi yang menjadi taruhan.

"Aku tidur duluan ya, tugas sekolah jangan lupa." Fajri meletakan buku tulis yang berbalut sampul itu di atas meja. Meninggalkan Zweitson dengan segala pikirannya.

Kurang perhatian apa lagi. Segala macam yang berkaitan dengan sekolah, Fajri selalu mewanti-wanti. Karena ia tahu, Zweitson yang terkadang lupa, Zweitson yang terkadang ceroboh. Perannya disini hanya sebatas bayangan dan udara. Sama-sama jarang di sadari orang, dan sama-sama tidak bisa di genggam.

Sebuah halusinasi yang hanya bisa dilihat sebelah mata.

Malam kian berganti pagi. Irama burung menjadi pelengkap suasana hari ini. Keempat remaja yang menempati asrama ini sama-sama sedang sibuk mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Ada Fiki yang tengah menyisir rambut, ada Gilang yang sedang bercermin, Fajri dan Zweitson yang sedang memakai sepatu.

"Sabtu main kuy," seru Fiki yang menyudahi acara menyisirnya.

"Dari pada main, habisin duit mending lari pagi," protes Gilang yang di setujui Fajri juga Zweitson.

"Ih apaan, lari nya cuman sepuluh persen, sisanya kalian jajan juga," cibir Fiki membuat ketiganya menyengir. Memang benar, tidak salah juga.

"Yaudah sih, lari pagi sambil jajan," koreksi Fajri membernarkan.

"Setuju!" pekik Zweitson yang paling bersemangat.

Hidup tidak selamanya indah. Tat kala kita berada dititik paling bawah, hingga seseorang tidak datang untuk menyanggah. Memberikan bahunya untuk bersender, memberikan hatinya untuk bertumpu. Semua masih bergilir, dan semua orang pasti merasakannya.

Dan, entah kapan pun itu waktunya. Kita yang harus pintar untuk menerima.

***

"Bang Ricky ngapain sih pagi-pagi di kelas orang," omel Zweitson yang melihat Ricky sedang di kerumuni anak-anak perempuan.

"Tahu tuh, sana pergi ke mushola sholat dhuha gitu, biar dapat pahala," tambah Fajri yang di angguki Zweitson tanda setuju.

"Suka-suka gue adek-adek comel," balas Ricky mencolek dagu Zweitson juga Fajri. Ricky sekarang benar-benar seperti buaya.

Keduanya bergeridik jijik. Fajri segera menarik tangan Zweitson untuk memasuki kelas, meninggalkan Ricky yang masih menggoda para kaum hawa. Sudah biasa setiap hari juga, hanya saja sekarang sasarannya kelas Fajri dan Zweitson.

Ricky anak basket, begitu pula dengan Fajri. Jadi seluruh murid disana tentu saja tahu dengan kedua anak itu, beberapa kali anak-anak memberi sesuatu kepada Fajri dan berakhir pada tangan teman-teman Fajri. Bukannnya Fajri tidak menerima, hanya saja ia tidak ingin.

"RICKY BALIK LO ANJIR!" Farhan. Teman satu kelas Ricky berteriak dari arah koridor membuat beberapa pasang mata melihat ke arahnya.

"Ngapain sih pagi-pagi ambet adek kelas gitu, udah buruan balik!" ujar Farhan sambil menarik-narik seragam sekolah Ricky.

"Idih mie goreng, gue laku lo enggak ya. Jangan-jangan lo iri, udah sana nanti juga gue balik ke kelas sendiri," kata Ricky yang sebagian kata-katanya mengejek Farhan.

Farhan mencibir dalam hati. Manusia satu ini memang kekurangan adab sekali. "Tugas kemarin masalahnya kita belum ngerjain! Bentar lagi bel, apalagi itu pelajaran pertama, lo mau kita di hu--"

"KENAPA LO ENGGAK TO THE POINT DARI TADI! DASAR KRIBO!"

"Dih, kadal mesir. Udah baik gue kasih tahu," cibir Farhan segera menyusul Ricky yang sudah hilang di koridor.

Pertemanan mereka memang seperti itu, bercanda kadang tidak tahu tempat. Bukannnya mereka malu-malu, sopan di depan orang, tetapi malu-maluin mah memang iya. Tidak apa-apa, golongan remaja satu ini sedang menikmati dunia dan seisinya. Tetapi bukan berarti mereka tidak memiliki beban, hanya saja mereka lebih mementingkan kesenangan mereka.

Karena jika di pikir-pikir, untuk apa terus memikirkan beban hidup. Tidak ada gunanya, membuat otak stres iya. Selebihnya itu kembali pada diri masing-masing.

Bel pulang sekolah sudah berlalu sekitar lima menit yang lalu, Fiki dan Gilang tengah menunggu Zweitson dan Fajri keluar kelas. Nyatanya anak Mipa memang suka sekali pulang lambat, entah piket kelas dulu lah, anterin buku ke perpustakaan lah, dan masih banyak lagi. Terlalu di siplin menjadikan Fiki dan Gilang malas melirik kelas Mipa itu.

"Lama banget sih!" omel Fiki kepada dua remaja yang terlihat sudah siap untuk pulang.

"Iya tadi ada praktek bentar," balas Zweitson.

"Yuk pulang, ngapain masih di situ," ucap Fajri yang langsung membuat kedua anak itu sadar.

"Kalian pulang duluan," ucap Zweitson tiba-tiba. Fiki Gilang juga Fajri saling melirik sebentar lalu mengangguk.

Zweitson kembali menunggu Lita di halte seperti kemarin. Ia melirik langit yang menampakan awan-awan indah, juga cuaca yang cerah. Ia tidak perlu khawatir akan hujan untuk sekarang.






To be continued~

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang