Kembali ☁

97 23 16
                                    

Happy Reading






Banyak kata yang perlu Zweitson rangkai sendari, banyak makna yang belum ia ketahui. Malam ini, ia duduk seperti biasa diatas kasur, menatap teman-temannya yang sudah tertidur.

Perkataan Fajri kembali memenuhi pikirannya, Zweitson kembali berpikir dari awal mereka bertemu sampai sekarang, memanglah hal yang banyak sekali kenangan.

Jika dipikir-pikir, apa yang selama ini Fajri lakukan, Zweitson tidak pernah menyadari hal itu. Sekali pun itu hal yang kecil, namun hari ini cukup menampar batinnya kuat. Ia baru menyadari bahwasanya, menyadari sesuatu itu memang perlu waktu.

"Aku paham. Seharusnya memang aku menyadarinya dari awal, rasa sesal ku memang sudah tidak berarti apa-apa." Zweitson menatap nyalang pada temannya yang tengah tertidur dengan damai.

Lama ia melamun, tidak menyadari hari kian semakin malam. Ia memutuskan untuk tidur, memperbaiki hal yang seharusnya ia perbaiki mungkin Zweitson akan memulainya besok.

Iya.. mungkin besok.

***

Guyuran hujan kembali mengingatkannya pada hari itu. Hari yang paling buruk dari hari-hari yang pernah ia lewati, hari dimana ia harus melepas seseorang. Dengan keberanian tekad berbicara tegas, walau tidak seperti hatinya yang lemah.

Hari ini, hujan kembali menjadi saksi. Lita menunggu Zweitson di kafe yang tak jauh dari sekolah, sambil ditemani alunan musik dan guyuran hujan. Lita mengabaikan secangkir teh yang sudah tidak lagi terasa panas.

"Udah lama?"

Lita mendongkak, melihat Zweitson yang baru saja datang dengan sebagian seragamnya yang sedikit basah.

Tak ada percakapan lagi setelah itu, keduanya sama-sama terasa canggung dan seperti tidak pernah kenal sebelumnya. Memang, ini terasa aneh bagi Zweitson maupun Lita.

"Lihat aku bentar. Katanya kalau ada orang yang lagi mau ngomong lihat ke orangnya," ucap Zweitson tiba-tiba.

Lita yang tadinya menunduk, mendadak harus adu pandang dengan wajah Zweitson yang jaraknya begitu dekat. Jantung Lita berdegup kencang secara tiba-tiba.

Ia tidak ingin, dan ia takut kembali mendengar pengakuan dari Zweitson yang akan kembali merusak hatinya.

"Aku ... ah enggak, maksudnya. Kita bisa lupakan saja  masalah hari-hari kemarin?"

"Aku sudah lama mencobanya Soni," balas Lita.

Zweitson menarik napas panjang, ia jadi kehabisan kata-katanya. Meminta maaf rasanya itu sangat basi dan ia sudah sering berkata seperti itu, rasanya ia tidak pantas jika harus berhadapan dengan Lita yang memiliki hati yang baik.

"Kita bisa mulai dari awal kembali?"

Lita tak langsung membalas, apalagi menjawab pertanyaan kedua dari Zweitson. Hatinya senang, namun sisi lainnnya ia ragu. Lita mungkin harus menyiapkan hatinya agar tidak kembali terluka jika seperti ini.

"Enggak perlu jawab sekarang kok, aku tunggu kapan aja," tambah Zweitson kembali. Ia paham betul, mungkin Lita masih meragukan dirinya. Dan itu memang salahnya sendiri.

"Ah enggak." Lita menjeda ucapannya, membuang napas pelan, seraya tersenyum tipis. "Iya, kita bisa memulainya dari awal."

"Kamu enggak perlu janji apa-apa Soni. Biar kamu tidak perlu ingkar apa-apa nanti," kata Lita. Memang, tidak baik berjanji seperti itu. Berjanji itu, untuk seseorang yang berani bertanggung jawab penuh.

Zweitson tersenyum. Dalam hatinya ia terus mengucapakan beribu kata maaf yang memang tidak berarti apa-apa.

Kedua jari kelingking mereka saling bertaut, kembali disaksikan oleh hujan, dan mereka saling berharap. Untuk selalu bisa bersama, tanpa adanya konflik yang kembali menerja.

Jika pun ada, mereka berharap. Bisa menghadapinya bersama-sama, bukan terpecah belah seperti hari-hari yang lama...

Di kelas Fiki dan Gilang. Jam pelajaran kedua yang seharusnya diisi oleh matematika menjadi jam kosong. Lantaran, ada rapat dadakan yang membuat semua murid bersorak bahagia.

Fiki sedang menunggu Oliv yang pamit keluar, disampingnya ada Gilang yang sedang berbincang, ah lebih tepatnya terpaksa berbincang dengan Dinda.

Masih ingat bukan, Dinda yang bertubuh gempal itu. Anak itu antusias sekali mengobrol dengan Gilang, walau Gilang terlihat malas sekali meladeninya.

"Gilang, dari pada kamu jomblo terus. Aku setuju kok kamu sama Dinda, cocok tahu," kata Fiki menatap mereka bergantian.

"AMIT-AMIT YA FIKI, GUE LEBIH BAIK JOMBLO SAMPE TUA DARI PADA HARUS SAMA DIA, IWH!"

"Ck Gilang, ucapan itu doa. Iya enggak Din?"

Dinda mengangguk dengan semangat.

"Betul tuh betul. Enggak papa enggak sekarang juga, aku bakal menunggu kok, atau kalau perlu aku loncat dari helikopter ke bawah juga enggak papa, demi kamu sayang," kata Dinda dengan wajah yang bersungguh-sungguh.

"Aaaahh Dinda sosweet," ucap Fiki membiarkan dua jempolnya.

"STRES ANJIR!"

Fiki tertawa keras, ia sungguh suka sekali melihat Gilang yang seperti itu. Tak lama setelahnya, ia melihat Oliv yang kembali datang, wajahnya selalu cerah jika berhadapan dengan Fiki.

"Hallo Oliv, gimana nih. Mau enggak?"

Yang menyebabkan Oliv keluar dari kelas tadi, gara-gara Fiki menyatakan perasaannya mendadak seperti  martabak yang baru saja matang. Bagaimana Oliv tidak kaget, mana disaksikan banyak siswa. Ah Fiki menyebalkan! Tapi Oliv sayang.

Oliv mengangguk. Fiki yang jingkrak-jingkrak sampai pantat bohai nya dipukul Gilang.

"AYANG OLIV CINTAKUU! GILANG MASIH JOMBLO. WLEEE!" ejek Fiki menjulurkan lidahnya dengan pinggul yang lenggak-lenggok sana-sini.

"Kurang asem lo Fikii!" teriak Gilang kesal. Sekesal-kesalnya pada Fiki.

Sepertinya, hari ini memang hari penuh dengan hal baik dan kebahagiaan. Sama seperti Zweitson dan Fiki, Fajri juga sama. Dua pasangan itu sedang duduk didepan kelas, sedang menyantap bekal yang Thera bawa dari rumah.

"Habis lulus, Aji mau kuliah atau langsung kerja?" tanya Thera yang sedang memotong nugget dengan sendok yang ia bawa.

"Mau langsung nikahin kamu," balas Fajri tanpa jeda.

Thera memukul bahu Fajri pelan. "Aku serius Aji, ih."

Katakan saja Thera sebenarnya sudah salah tingkah.

"Aku lebih serius," ucap Fajri menerima suapan dari Thera.

"Pengen tabok kamu deh jadinya." Thera gemas sekali, ia mencubit kedua pipi Fajri tanpa ampun.

"Ra, sakit," keluh Fajri dengan nada yang dibuat-buat. Thera buru-buru melepaskan kedua tangannya, namun Fajri malah berlari sambil tertawa.

Hah, Thera tertipu.

"Oh gitu. Sini kamu Aji!" teriak Thera mengejar Fajri yang berlari ke dalam kelas.

Biarkan mereka menikmati masa remajanya, orang lain belum tentu bisa seperti mereka. Ada banyak dan beragam, masa putih abu mereka penuh dengan warna atau kelabu, tidak ada yang tahu...

To be continued~

“Hai kamu, jika lelah boleh beristirahat sejenak ya. Namun tidak untuk menyerah! Didepan sana masih banyak mimpi yang menunggu, jangan sia-siakan masa remajamu dengan berbagai keluhan. Ayo, coba tersenyum dan ... katakan jika kamu itu orang yang hebat. Cukup jadi diri kamu sendiri ya, kamu hebat! Kamu kuat.”

Mana senyum kalian..

Nah iya seperti itu, kalian jadi terlihat lebih manis❤




ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang