Kesialan☁

104 32 3
                                    

Happy Reading





"Fiki baju olahraga kamu awas lupa," ujar Fajri memperingati.

Kembali pada suasana pagi. Masing-masing dari mereka tengah bersiap-siap untuk berangkat, Fiki sedikit tersentak ketika Fajri mengetahui jika dirinya hampir melupakan baju yang mesti ia bawa.

Yang membuatnya kembali berpikir. Kenapa Fajri bisa sedetail itu memperhatikan semuanya. Kelasnya juga dengan kelas Fajri berbeda, kenapa Fajri bisa selalu tahu jadwal kelas Fiki. Ketika ada tugas juga, Fajri selalu saja tahu. Menyuruh mereka untuk mengerjakannya lebih awal supaya tidak keteteran dan itu memang benar apa adanya.

"Soni periksa dulu tempat kotak pensil kamu, kemarin malam Gilang pinjem pulpen 'kan? Coba di cek lagi takut ketinggalan di atas meja," kata Fiki yang diangguki Zweitson.

Kemarin malam Fajri tidak tidur sebelum anak-anak itu benar-benar menyelesaikan pekerjaan tugas mereka. Dugaan Fajri memang tidak pernah meleset, pukul delapan malam, wali kelas Gilang dan Fiki memberi tahu. Tugas catatan mereka harus di kumpulan besok.

Fiki dan Gilang berterima kasih karena Fajri yang sempat menyuruh mereka melakukan pekerjaan sekolah lebih awal. Bukan karena apa, takutnya kejadian mendadak seperti ini yang tiba-tiba membuat mereka harus maraton sampai malam. Beruntung mereka mengerjakan tugas dari setelah magrib.

"Fajri jadi bapakku saja mau?" tawar Fiki yang langsung dihadiahi pukulan oleh Gilang yang berdiri disampingnya.

"Terus bapak lo yang asli mau di kemanain?!"

"Ya enggak dikemana-kemanain. Fajri kan definisi bapak yang selalu ada dimana-mana ketika aku berada, kalau bapak aku yang satu tetap di hati," balas Fiki apa adanya.

"Najis omongan lo, iwh!"

Setiap pagi pasti selalu ada perdebatan kecil antara Fiki maupun Gilang. Namun, mereka kemana-mana selalu saja berdua. Tidak dapat di pisahkan, seperti kemarin. Mereka melakukan hal konyol pun dilakukan berdua, memang dua bestie ini beda dari yang lain.

Jika di ingat-ingat kembali masa awal mereka kenal itu momen yang perlu diabadikan. Bagaimana Fiki yang polos dan Gilang yang hanya diam saja ketika tidak ada yang memulai pembicaraan. Semua itu masih di golongkan pada anak yang baik.

Lihatlah sekarang? Untung masih ada Fajri yang selalu membimbing mereka ke jalan yang benar, sehingga Fiki yang masuk organisasi osis, Gilang yang tidak pernah bolos dari jam pelajaran. Walaupun mereka tidak paham dengan materi yang disampaikan, mereka akan tetap stan bay sampai jam pelajaran usai.

Semua itu didikan Fajri selama di asrama. Mereka tidak pernah merasakan apa itu hukuman, karena memang Fajri yang selalu mewanti-wanti mereka. Dari tugas sekolah, sampai seragam yang mereka kenakan harus sesuai aturan sekolah.

Ah, mereka beruntung memiliki sosok Fajri yang sudah seperti orang tua sendiri.

Jarak dari asrama ke sekolah lumayan juga. Keempat remaja itu tengah berjalan santai lantaran bel masuk pun masih sangat lama. Kata Fajri, mereka harus berangkat lebih awal agar di jalan mereka bisa leha-leha, tidak terburu-buru nantinya.

"Kemarin aku lihat dia disan--"

Zweitson kembali melihat perempuan itu. Namun hanya sekilas, karena perempuan itu memakai sepeda. Ia yakin, itu perempuan yang sore kemarin ia lihat.

"Fajri, Fajri! Lihat kesana. Itu perempuan yang dimaksud aku kemarin," kata Zweitson menepuk pundak Fajri tetapi tatapannya masih mengarah pada toko kue yang baru saja di masuki si perempuan.

Ketika Fajri menoleh ke arah yang dimaksud Zweitson, sayang sekali. Ia hanya bisa melihat sepeda yang terparkir disana saja tanpa melihat sosok yang Zweitson bilang.

"Lihat enggak?" tanya Zweitson. Fajri hanya menggeleng saja.

"Yah, yaudah deh lain kali mungkin kita ketemu lagi," tutur Zweitson. Hatinya begitu yakin, jika ia akan kembali bertemu dengan sosok itu yang belum ia kenal.

"Heh Fiki Gilang! Kalau dijalan jangan main handphone gitu, masuk got mampus," tegur Fajri yang tidak diubris dua remaja itu.

Perkataan Fajri selalu benar. Seakan semua perkataan yang ia katakan itu cepat sekali terjadi, lihat. Ponsel Fiki tergelincir begitu saja dari tangannya. Zweitson dan Fajri mendengar bunyi benda jatuh itu begitu keras dari belakang.

"Kan udah dibilangin juga, masih untung enggak masuk got," papar Fajri.

Fiki menatap nyalang nasib ponselnya yang kembali retak. Padahal baru beberapa hari ia pergi ke konter.

"Untung hp lo yang jatoh, hp gue kag--"

"An--" Gilang mengumpat tertahan ketika ponselnya yang berharga itu bernasib sama dengan Fiki. Ini semua karena dua bocil sekolah dasar yang bersepeda terlalu memepet jalan.

"Alhamdulillah ya Allah," ucap Fiki penuh haru.

"Makasih ya dek!" teriak Fiki kepada dua bocah yang sudah berlalu dengan cepat.

Fajri hanya bisa menghela napas. Nasib mereka selalu begitu karena memang tidak pernah mendengar patuah-patuah yang selalu Fajri berikan. Padahal itu pun demi mereka juga, dasar sikap mereka saja yang tengil nya naudzubillah.

"Ponsel lo mati kagak Fiki?" tanya Gilang mengelap layar ponsel yang sedikit kotor itu dengan dasi pajang milik Fiki.

"Heh!" tegur Fiki menarik kembali dasinya yang sudah terpasang rapi.

"Enggak mati, layarnya aja yang sedikit retak," jawab Fiki yang sudah memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

"Gue dong," kata Gilang dengan percaya diri dan sedikit dibumbui nada sombong.

"Kenapa? Ponsel kamu enggak ada yang retak gitu?"

"MATI TOTAL!" teriak Gilang frutasi. Bagaimana tidak mati total, ponselnya bukan hanya terjatuh tetapi terlindas ban sepeda anak-anak tadi juga. Bukan hanya sekali, tetapi dua kali karena yang membawa sepeda dua bocah yang masih bersekolah dasar.

Sekarang. Mereka memakan karma dari Fajri.

Makan itu karma! Fajri tertawa jahat.

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang