Happy Reading
Fajri dibuat sabar ketika pulang dari sekolah disuguhkan dengan berantakannya asrama. Apalagi ditempat tidurnya yang banyak sekali remahan kue kering. Siapa lagi jika bukan Gilang dan Fiki, anak itu pulang lebih awal dari siapapun.
Sekarang ia tidak melihat siapapun. Ia hanya sendiri, matanya terus menatap setiap sudut ruangan. Benar-benar berantakan, Fajri melepaskan tas nya lesu. Berjalan mengambil sapu dan kresek hitam untuk membuang remahan yang berada di atas kasurnya.
Benar-benar hari yang melelahkan.
Ngomong-ngomong soal Zweitson. Anak itu masih belum kembali ke sini setelah ia bermain dengan Lita tadi siang, entah kemana perginya anak itu sekarang yang jelas Fajri tidak tahu.
Fajri merogoh saku celananya. Menyalakan ponsel yang hanya tersisa tiga persen, ponselnya sudah kehabisan daya jika ia menghubungi anak-anak ini untuk segera kembali ke asrama sebelum magrib. Ia memutuskan untuk memberi daya lebih dulu. Setidaknya sampai ia selesai membereskan asrama yang berantakan.
"Sudah mau magrib, anak-anak curut ini kenapa tidak ada yang pulang," gumam Fajri seraya merapikan sprei yang sudah tidak lagi berbentuk itu.
Masih dengan menggunakan baju basket nya sehabis latihan tadi, Fajri selesai membereskan asrama tepat pukul lima lebih lima belas menit. Ia memutuskan untuk mandi lebih dulu, setelahnya ia menghubungi anak-anak yang belum pulang sampai saat ini.
Ditempat yang lain, Zweitson berjalan menuju asrama setelah berpamitan pulang dengan Lita tadi. Ia cukup puas bisa menghabiskan banyak waktu dengan gadis itu. Dari berbincang santai, makan bersama, sampai bermain di taman tadi. Semuanya ia simpan dalam rekaman memori ingatan Zweitson.
Dari kejauhan Zweitson menangkap sosok perempuan yang tengah duduk sendiri di pinggir trotoar dengan tangan yang aktif mengelus kucing dengan penuh kasih sayang. Nampak gurat senyum indahnya yang membuat langkah Zweitson berhenti begitu saja.
Siapa perempuan itu. Ia baru melihatnya tetapi ... Zweitson seperti langsung terhipnotis begitu saja. Ia masih berdiri kaku, dengan tatapan yang terus melihat ke arahnya. Tanpa teralihkan sedikitpun, perempuan itu memiliki rambut yang panjang di ikat. Memiliki lesung pada kedua pipinya ketika tersenyum.
Dretttt!
Pandangannya beralih pada saku celananya yang bergetar, menampilkan kontak sahabatnya Fajri.
Ketika panggilan berakhir, Zweitson hendak melihat perempuan tadi kembali, namun sosok itu sudah tidak lagi ada. Hilang begitu saja, hanya tersisa kucing itu saja dengan sisa roti yang perempuan itu tinggalkan.
"Kemana dia?" gumam Zweitson celingak-celinguk lalu setelahnya ia berlari.
Pikirannya jadi kemana-mana, mengingat ini sudah hampir mau Magrib. Mungkin 'kah perempuan tadi mahluk jadi-jadian? Jika iya Zweitson tidak percaya.
Sekarang di asrama. Fiki dan Gilang sedang disidang oleh Fajri. Fajri dibuat pusing dengan jawaban-jawaban konyol yang diberikan Fiki maupun Gilang sendiri tadi.
"Gini aja deh, kalian dari mana pulang-pulang jadi gembel seperti ini?" tanya Fajri. Bagaimana Fajri tidak menyebut mereka gembel. Pakaian mereka jadi kusut begitu pula dengan wajah mereka.
"Kita udah jujur loh Fajri, kita habis bantuin Pak RT nangkap bebek," jawab Fiki. Gilang ngangguk-ngangguk tanda setuju.
"Iya. Soalnya anu ... kita tuh gimana ya jelasinnya." Gilang menggaruk kepalanya. Kehabisan kata-kata untuk menjelaskan perihal mereka pulang Magrib seperti ini.
"Soalnya kalian yang udah buat bebek-bebek itu kabur, iya?" tanya Fajri membuat Fiki dan Gilang saling adu tatap. Lalu mengangguk.
Fajri menggeleng, kenapa ada bentukan anak-anak seperti ini yang Fajri kenal.
"Soalnya kita kurang kerjaan aja gitu," tutur Gilang diiringi kekehan kecil.
Fajri memijat pelipisnya pelan. Menarik kedua buku tulis milik Fiki dan Gilang. Melemparkannya ke atas kasur sambil berdecak pinggang.
"Kalian masih bilang enggak ada kerjaan? Sedangkan tugas sekolah kalian aja enggak di kerjain, ayo mau kasih alasan apa lagi?"
Gilang dan Fiki diam seketika. Kalah debat dengan Fajri sekarang. Fiki terkekeh sambil menggaruk tekuknya, sedangkan Gilang memberikan senyum pepsodent kepada Fajri.
"Kalian berdua sekarang bersih-bersih badan cepat! Setelah sholat magrib kerjakan tugas kalian!" titah Fajri. Gilang berjalan lebih dulu dengan ogah-ogahan begitu pula dengan Fiki yang sudah tidak bergairah.
"Pelajarannya masih tiga hari lagi, besok ajalah Fajri. Kita nanti mau mabar loh iya enggak Fik?"
"Iya," jawab Fiki lesu.
"Enggak ada ya! Udah sana kalian mandi. Keburu magrib CEPAT!" teriak Fajri. Barulah kedua anak itu berlari terbirit-birit.
***
Pemuda berkacamata bernama Zweitson itu sedang berdiam diri di dekat jendela. Sambil melihat pekatnya suasana malam, pikirannya juga tiba-tiba terlintas sosok itu kembali.
Segera ia menepis pikiran negatif itu. Disaat-saat ia sedang sendiri seperti ini akan selalu ada Fajri yang menamainya duduk dengan ditemani satu cangkir teh hangat. Seperti sekarang, bedanya hari ini Fajri membawa dua gelas coklat dingin.
"Teh nya habis hehe. Belum beli lagi, di ganti sama coklat dulu," tutur Fajri meletakan gelas berkarakter kelinci itu dihadapan Zweitson.
Anak itu mengulum senyum, sebelum melempar pertanyaan.
"Fajri tadi aku ketemu hantu atau manusia ya?"
Fajri menaikan satu alisnya, menyimpan kembali gelasnya setelah menikmati coklat dingin yang ia buat barusan.
"Mana ada hantu," celah Fajri dengan cepat.
"Ih ada tahu! Kata siapa enggak ada," potong Fiki dengan cepat. Anak itu suka sekali mencampuri pembicara orang lain.
"Fiki kamu diam ya! Jam delapan belum selesai juga tugasnya tidur diluar!" ancam Fajri membuat Fiki tidak lagi bersuara.
Fajri benar-benar tidak sungguhan dengan ancamannya. Hanya saja, jika tidak seperti itu, mereka tidak akan selesai-selesai nantinya.
"Serius heh. Tadi tuh perempuan, rambutnya panjang tapi diiket gitu, punya dua lesung pipi. Kulitnya putih, dia kaya blesteran banget, rambutnya juga agak pirang soalnya," jelas Zweitson.
Dari ciri-ciri yang Zweitson katakan. Fajri berpikir keras, ia jadi ikut memikirkan perempuan yang dimaksud Zweitson sekarang.
To be continued~
KAMU SEDANG MEMBACA
ARBOR Vi [End] || Un1ty
Teen FictionFajri tidak pernah menyangka, jika semua akan berakhir pada masanya. masa yang sulit, membuat dirinya tidak ingin bangkit. Sebuah konflik yang datang, menerjang kapal yang sedang berlayar. diterpa badai dan lautan yang berakhir tenggelam. Fajri ||...