Cenderung pendiam ☁

128 36 9
                                    

Happy Reading




"Eh, bagusin itu kaki mu. Jangan gerak-gerak, nah iya iya gitu," koreksi Shandy yang puas sekali menghukum Fiki yang sudah berani menjahilinya tadi.

"Ck! Bang Shan maaf deh enggak lagi, pegel ini," rengek Fiki dengan wajah memelas. Bukannnya Shandy jadi luluh, ia malah semakin puas saja.

Eksperimen yang di maksud Fiki adalah kabur dari amukan Shandy. Ia berlari ke warung Ceu Lilis melahap makanan di sana, dan sialnya lagi ia kepergok Shandy. Sebelumnya yang membuat Shandy jengkel terlebih lagi soal sampah itu. Ia juga di kelabui Fiki dengan alasan tidak membawa uang untuk membayar makanan yang sudah ia makan tadi.

Remaja itu hanya mampu menarik napas sambil menahan malu. Beruntungnya Ceu Lilis itu baik, ia hanya mengulum senyum sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah absurd dua remaja ini.

"Lagian kamu tuh ada-ada aja deh Fiki," kata Fajri yang sudah menonton adegan Fiki di hukum Shandy dari tadi.

Remaja jangkung itu hanya bisa mengulum bibir. Terdengar kekehan dari yang lain, seakan menertawakan kesialannya pagi ini.

"Diam sampe satu jam. Kurang satu detik lagi aja lo beranjak dari sini, awas aja," ancam Shandy seraya bangkit dari duduknya.

"Yo para babu ku kita cari makan," ajak Shandy pada Farhan, Ricky dan Fenly.

"Bentar, gue mau lihat Neng yang suka jualan jamu. Kok tumben belum lewat ya," gumam Ricky menatap jalanan yang hanya ada lalang-lalu kendaraan.

Alasan mereka mencari makan keluar adalah. Bahan makanan habis tidak tersisa, mereka malas pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang sudah habis. Soal siapa yang masak, tenang saja. Ada Fenly koki andalan mereka.

"Ricky, Ricky! Siapa aja lo godain. Lama-lama janda kembang yang depan toko kue lo godain lagi?"

"Ya enggak lah! Gue juga milih-milih kali," tutur Ricky.

"ADOH BANG SHAN INI UDAH LEWAT SATU JAM LOH!"

Tidak peduli dengan teriakan Fiki. Shandy menarik teman-temannya untuk beranjak mencari makan, hari sudah mulai siang, mereka baru saja selesai membereskan asrama. Dirasa mereka mulai menjauh, Fiki menurunkan kakinya yang sedari tadi ia angkat.

"Makannya enggak usah macem-macem," oceh Zweitson menyodorkan minum.

"Berisik kalian ah! Eh ngomong-ngomong." ucapan Fiki terjeda ketika sang empu lebih memilih minum lebih dulu, ketiga temannya yang lain masih menunggu Fiki melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda.

"APA?!" sentak ketiganya. Pasalnya Fiki belum melanjutkan kembali perkataannya tadi.

"Ada film yang baru diliris kemarin, Gilang kamu pasti tahu," kata Fiki melempar jawaban kepada Gilang.

"Yang di bioskop itu?"

Fiki mengangguk.

"Sabi lah nanti malam kita nonton bareng," ucap Gilang yang sudah bersemangat.

Ketiganya mengangguk. Menunggu malam tiba, hari ini mereka disibukkan dengan aktivitas masing-masing, mereka kembali ke dalam asrama untuk mengerjakan hal yang lain.

Fiki dan Gilang yang sedang meneruskan kerja kelompoknya. Fajri yang sedang bersantai karena memang tugasnya sudah ia selesaikan tadi malam. Zweitson yang siap mengeluarkan buku catatan sejarahnya yang ternyata sudah ada tulisan rapih milik Fajri.

"Kemarin malam aku yang catat. Takutnya kamu pulang dari pasar malam itu ngantuk, jadinya ya gitu deh," jawab Fajri ketika Zweitson menatapnya dengan tatapan meminta Fajri untuk menjelaskan.

"Makasih Fajri."

Fajri hanya membalasnya dengan anggukan dan senyum tipis. Ada sesuatu yang ingin Fajri katakan, namun itu urung. Fajri lebih memilih diam saja, tidak ingin membuat masalah yang rumit nantinya.

Pandangan Fajri beralih pada ponselnya yang bergetar. Menampilkan kontak Umi yang memanggilnya untuk melakukan video call. Senyumnya kembali terbit, baru beberapa hari Fajri sudah merindukan rumah kembali.

Benar kata orang. Sejauh-jauhnya kita pergi, tetap saja yang dirindukan rumah sendiri.

"Assalamualaikum anak Umi, apa kabar?"

Fajri bisa melihat wajah cantik Umi yang terhalang layar ponsel. Di belakangnya ada Abi yang ikut melambaikan tangan.

"Wa'alaikumsalam Umi, Fajri baik kok. Kalian disana gimana? Fajri dengar Kakak mau pulang," kata Fajri seraya bertanya.

"Kabar kami baik. Sangat baik malah, iya Kakak mu dua-duanya mau pulang besok. Nanti Umi jenguk kamu kesana sama Kakak-kakak kamu ya nak." Fajri bisa melihat senyuman tulus dari wajah cantik Umi.

"Enggak usah di jenguk Umi, udah besar juga. Nanti kalau liburan semester Fajri pulang lagi kok. Kalau udah lulus pun Fajri enggak bakal kuliah jauh-jauh," ucap Fajri spontan.

Terdengar kekehan dari sana. Mengobrol dengan Umi selalu membuatnya kembali tenang. Tapi minusnya, Fajri tidak suka membagi masalahnya dengan Umi maupun orang-orang di rumah. Fajri cenderung menjadi anak yang pendiam ketika memilih masalah.

Ia tidak ingin membagi masalahnya dengan siapapun itu. Karena itu, terkadang orang-orang disekitarnya tidak melihat perlakuan kecil yang sering dilakukan Fajri adalah salah satu sikap tulusnya.

Fajri selalu membuat teka teki dengan siapapun. Ia tidak terang-terangan menunjukan sikap pedulinya, sikap tulusnya dan kebaikannya.

Hanya orang tertentu yang bisa menjawab semua teka teki Fajri. Dan sampai sekarang pun masih belum ada yang menyadarinya. Semua itu butuh waktu, dan mungkin sesuatu waktu memang akan terjawab.

Dan itu pasti.

Panggilan berakhir beberapa detik yang lalu. Mereka terkadang iri dengan Fajri yang selalu diperhatikan orang tua nya walau jauh, tidak seperti mereka yang terkadang saling melempar kabar saja jarang. Karena kenapa? Karena orang tua mereka tidak terbuka dengan mereka. Interaksi itu yang menjadi hambatan.


To be continued~



ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang