Hanya Teman ☁

94 27 6
                                    

Happy Reading





Jakarta, pukul 13:40.

Ibukota Indonesia kembali diguyur hujan, sialnya sekolah sudah bubar sekitar beberapa menit yang lalu. Bersamaan dengan itu, hujan turun dengan sangat deras.

Guyuran air terdengar berirama beradu dengan aspal yang kini sudah dibanjiri oleh hujan. Zweitson memilih berteduh di dekat warung yang sudah tidak ada lagi penghuni, disebelahnya terdapat pohon yang besar dan rindang. Memang menyeramkan mungkin, namun bagaimana lagi. Ia tidak bisa pulang dalam keadaan seperti ini.

Semakin lama ia berdiam diri disitu, situasi sekitar semakin dingin dan mencengkam. Apalagi hujan dibarengi dengan angin yang lumayan juga, dedaunan yang sudah menguning langsung saja berjatuhan mengotori jalanan.

Dretttt!

Dretttt!

Ponselnya berdering, menandakan seseorang memulai panggilan. Ponselnya tergelincir begitu saja dari tangan sang pemilik, terjatuh dengan sangat keras membuat Zweitson hanya mampu meringis saja melihatnya.

"Sial!" gerutu Zweitson benar-benar kesal. Ponselnya mati total, belum sempat mengangkat panggilan yang entah dari siapa ia tidak tahu.

Ia harus bagaimana sekarang? Siapa yang akan ia hubungi. Disaat-saat seperti ini, Zweitson berharap Fajri kembali menjemputnya seperti hari-hari itu. Dan rasanya itu tidaklah mungkin, mengingat posisi Zweitson yang tidak seperti biasanya berada di halte.  Anak ini sekarang berada jauh dari tempat biasa.

"Terobos ajalah." pada akhirnya ia memilih pilihan kedua. Zweitson juga tidak mungkin terus-terusan menunggu disini, ia ingin pulang.

Baru saja sebelah kakinya mengenai aspal, tangan seseorang menariknya ke samping. Itu Thera yang tengah menanteng satu kresek hitam yang entah isinya apa.

"Zwei ya ... kita bertemu kembali, aku kira kamu siapa tadi," katanya setengah terkekeh.

"Thera, yang tadi pagi 'kan? Kok bisa disini?" tanya Zweitson. Mereka sekarang malah mengobrol lebih dulu, tidak memikirkan situasi yang tengah hujan seperti ini.

"Iya. Tadi habis dari supermarket, pulangnya hujan, beruntung tadi ada yang kasih pinjam payung," ujar Thera.

Zweitson mengangguk-angguk saja sebagai jawaban yang mampu ia berikan. Sekarang ia tidak tahu harus seperti apa, mereka saling diam beberapa detik ini. Sampai suara petir menyadarkan mereka.

"Kamu pulang kemana? Biar aku antar, jangan menerobos hujan, tapi payungnya hanya ada satu. Tidak apa-apa?"

Zweitson hendak menolak, namun sepertinya Thera tidak menerima penolakan. Dengan terpaksa, Zweitson akhirnya mengiyakan saja, sekarang mereka berdua berjalan bersama ditengah-tengah hujan yang sedang mendera, dengan Zweitson yang memegang payung. Dan Thera yang menanteng barang belanjaannya.

Disetiap perjalanan mereka berceloteh random. Memberikan tebak-tebakan yang membuat keduanya terkekeh lalu tertawa, Zweitson sampai lupa dengan ponselnya yang harus ia bawa ke konter. Mungkin Zweitson akan menyadarinya nanti malam ketika sedang bersantai.

"Sampai sini saja, terima kasih Thera. Sampai jumpa!" seru Zweitson langsung berlari meninggalkan Thera yang masih berdiri ditempat.

Thera menggenggam gagang payung dengan erat. Senyumannya kembali terukir, ketika seseorang yang ia tidak kenal dengan senang hati meminjamkan payung untuknya. Setidaknya ini tidak hanya membantu dirinya saja, melainkan juga orang lain.

Di supermarket tadi ....

Cuaca sudah terlihat sangat mendung. Thera bisa memastikan pulang dari sini pasti akan turun hujan, ia tidak menyiapkan payung ataupun apa itu, karena memang ia berpikir tidak akan seperti ini.

Usai membeli kebutuhannya, rintik hujan yang tadinya kecil semakin besar dan Thera sudah terjebak dengan guyuran hujan.

Kedua netranya melirik ke arah kakinya yang kini sudah terciprat air hujan, bahkan sandal yang ia kenakan juga sudah terasa basah. Ia hanya bisa menghela napas, ia sudah siap untuk menerobos saja. Walau nanti sampai ke rumah, Bundanya akan mengomel panjang.

Niatnya terhenti ketika seseorang yang berdiri dihadapannya dengan memakai jas hujan berwarna ungu dengan corak polkadot. Thera tidak tahu itu siapa, dan ia baru melihatnya.

"Ambil. Semoga bermanfaat, jangan hujan-hujanan nanti sakit," ujarnya menyodorkan satu payung berwana abu-abu polos.

Beberapa detik ia hanya memandangnya tanpa berniat untuk menerima pemberian dari orang asing. Bahkan, ini terasa aneh bagi Thera. Sudah baru pertama kali bertemu, baik pula.

"Hei!" tegurnya lembut, jangan lupakan tangannya yang terbungkus mantel menyadarkan Thera dengan melambai-lambaikan didepan wajah cantik milik Thera.

"A-ah iya. Terima kasih," ucap Thera yang pada akhirnya ia menerima pemberian dari orang dihadapannya.

"Tunggu! Nama kamu siapa?!" teriak Thera yang menyadari gedis tadi yang berada dihadapannya sudah berlari menuju mobil putih yang terparkir tidak jauh dari posisi ia berdiri.

"Lita."

Thera tersadar ditempat, ia melihat tulisan rapih dari pemilik payung tersebut. Lalu segera berlalu dari hadapan asrama seusai mengantarkan Zweitson.

Tepat setelah itu. Fajri datang dari arah berlawanan dengan wajah celingak-celinguk mencari keberadaan seseorang, kaki jenjangnya ia bawa memasuki area asrama, menyimpan payung yang ia pakai barusan sebelum benar-benar memasuki kamar.

Fajri menghela napas lega. Orang yang ia cari kini tengah merebahkan tubuhnya diatas kasur sambil membaca sebuah buku. Masih dengan menggunakan seragam sekolah tanpa berniat menggantinya.

"Enggak nerobos hujan 'kan?"

Zweitson mengalihkan pandangan, menatap kedatangan Fajri yang kini tengah berjalan kearahnya.

"Enggak kok, ada yang anterin tadi," jawab Zweitson memang benar apa adanya.

"Oh iya? Lita?"

Zweitson sempat terdiam. Ia jadi teringat ponselnya sekarang, jangan-jangan yang menghubunginya tadi itu memang benar Lita. Bukannnya pertanyaan dari Fajri Zweitson jawab, kini anak itu malah menatap layar ponselnya begitu lama.

"Soalnya tadi aku lihat perempuan," kata Fajri menimpali.

"Iya itu tadi yang antar kesini, tapi bukan Lita," ungkap Zweitson yang pada akhirnya menyimpan kembali benda pipih itu ke dalam saku.

"Terus?"

"Th--"

"FAJRI MIE NYA NGEMBANG, WOY FAJRI BURUAN KE SINI!"

Suara Fiki dari arah dapur membuat perkataan Zweitson terpotong dengan spontan. Fajri juga langsung melesat ke arah dapur, ia takut dapur kesayangannya berakhir dengan tidak sangat baik nanti.

To be continued~

Visual Lita dan Thera part selanjutnya ya!🐨

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang