Asing☁

87 29 7
                                    

Happy Reading









Bukan masalah tentang berubahnya seseorang, hanya saja, janji manis yang sebelumnya diucapkan menjadi sebuah rangkaian kata yang menyebalkan.

Hari Minggu pagi. Didalam asrama, tepatnya di kamar Fajri, Zweitson, Fiki juga Gilang tidak sehening kamar lain, kamar mereka begitu berisik. Tentunya berisik oleh dua oknum yakni Gilang dan Fiki.

Tidak heran lagi memang dengan dua bocah itu. Mereka selalu saja ribut dimana pun berada, hanya masalah kecil, Fiki tidak sengaja merobek tugas Gilang yang sudah tidak terpakai. Gilang tidak terima, mereka saling beradu argumen membuat dua temannya yang lain merengut kesal.

"Iya sih, ini emang bekas semester satu, tapi lo tahu lah Fiki. Ini tuh ulangan matematika gue yang mendapatkan nilai tujuh puluh delapan! Ini tuh bersejarah banget loh, tahu enggak lo!"

Fiki mendecih. Meledek Gilang dengan mulutnya yang ikut berkomat-kamit.

"Bodo amat sumpah, Gilang aku enggak peduli," balas Fiki dihadiahi toyoran yang begitu keras dari Gilang.

"Ahhh kambing lo Fiki!"

"Sorry aku manusia, sehat alami, imut, baik hati dan tidak sombong."

"TERSERAH ANJIR TERSERAH LO AJA!" teriak Gilang sudah frutasi menghadapi Fiki yang selalu saja bisa mengelak. Gilang memang suka menantang adu mulut dengan Fiki, walau pada akhirnya ia juga yang  kalah.

Fajri yang setiap hari menjadi saksi bisu mereka bertengkar hanya mampu membuang napas. Dirasa buku-buku miliknya sudah rapih, Fajri pergi tanpa mengatakan apapun.

Zweitson menaikkan sebelah alisnya ketika beberapa notifikasi terus memenuhi layar beranda. Tertera nama kontak seseorang disana, ada sekitar. Tiga puluh pesan dari satu kontak. Baru saja ia ingin membalas, kontak lain memberikannya pesan yang seakan lebih menarik perhatian Zweitson.

Padahal, chat itu tidak sebanyak tadi. Hanya kata panggilan nama Zweitson saja. Namun Zweitson gerak cepat sekali untuk membalasnya.

Dibawah pohon yang rindang, remaja yang berbalut jaket biru itu terus mendengkus, kendati pesanannya yang terkirim namun belum dilirik sama sekali. Lita, remaja itu menghela napas sejenak, mendongkak melihat langit yang sepertinya akan kembali turun hujan.

"Hufft." Lita menghela napas pasrah, menatap jalanan yang dilalui beberapa sepeda motor, kendaraan beroda empat, ada juga anak-anak yang bermain sepeda.

"Hallo," sapa seseorang dengan ramah, kedua sudut bibirnya terangkat, menampilkan lesung pipi yang indah.

Lita lama terdiam, menatap wajah seseorang itu begitu lama. Ia seperti pernah melihatnya, atau bahkan sebelumnya mereka pernah berbincang-bincang singkat.

"Lita 'kan ya? Aku boleh duduk disini?"

"A-ah iya, iya. Duduk aja," balas Lita masih dengan menatap wajah itu.

"Kita pernah bertemu sebelumnya? Dimana ya, aku lupa," kata Lita tiba-tiba. Ia sungguh mengingat wajah itu, lama berpikir, keduanya sama-sama diam. Tidak berlangsung lama keheningan itu menyapa, karena salah satu dari mereka mengingatnya dengan baik.

"Kita pernah bertemu didepan supermarket, waktu itu turun hujan. Dan ... orang baik memberikan aku sebuah payung, dan orang itu adalah kamu, Lita ....,"

Thera tersenyum manis, mengingat momen itu. Dan ia sungguh sangat berterima kasih kepada Tuhan yang telah mempertemukannya kembali dengan Lita. Gadis yang begitu baik padanya.

Lita sendiri diam. Pikirannya bukan mengingat pertemuan yang di supermarket itu, justru Lita mengingat saat Zweitson menerima sebuah bingkisan dari seseorang, dan seseorang itu Thera. Orang yang berada disampingnya sekarang.

ARBOR Vi [End] || Un1ty Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang