XXVII - This is all a lie, right?

1.4K 126 4
                                    

Hope page 27




Gracia berjalan lunglai ketika memasuki rumahnya, gadis dengan tubuh mungil itu menyeret tas ranselnya hingga menyentuh permukaan lantai. Ia menjatuhkan diri diatas sofa dan berkali kali mengacak rambutnya frustasi. "AHRGG KOK GUE NGAJAK PUTUS ANIN SIH" Suara gracia mendapat perhatian dari penghuni rumah lainnya.

"Duh anak bunda pulang pulang bukannya salam malah teriak teriak, ada apasih ge?" Bunda naomi menghampiri gracia dan duduk disampingnya. Gadis itu hanya menyengir menampilkan senyuman manisnya, lalu menggeleng cepat. "Gapapa kok bun, gege lagi cape aja heheh"


"Ckck, eh ge shani kemana aja? Udah lama lho dia ga kesini. Suruh kerumah dong malem ini, bunda mau minta tolong sama dia" Bola mata gracia membulat sempurna, detak jantungnya berdetak cepat tak karuan. Tubuhnya panas dingin, mulut gracia kaku sekali untuk bergerak. "A-anu bun shaninya lagi sibuk hooh lagi sibuk banget anaknya susah nih dihubungin" Gracia menunjukkan layar hp nya yang mati, ia tak sadar jika belum dihidupkan.

Bunda naomi merasakan perubahan gerak gerik gracia yang aneh ketika sedang membicarakan tentang shani. "Yaudah kalo gitu bunda telfon sendiri aja ya" Bunda naomi beranjak dari duduknya, segera pergi meninggalkan gracia yang masih terpaku ditempatnya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya khawatir, ia cemas dan takut sekali jika shani memberitahu bundanya apa yang terjadi bersamanya selama dua bulan terakhir. "Mampus lo shania gracia" Batin gracia geram.




***


"Kalo malem ini jadwal shani kebetulan lagi kosong kok bun"

"..."

"Iya siap bun shani usahain dateng"

"..."

"Makasih bunda mi, siang juga"

Setelah telfon diputuskan dari pihak seberang telfon, shani menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia cemas karena takut disidang oleh orang tua gracia, tak biasanya bunda naomi yang langsung menelfon shani karena biasanya shani akan dikabarkan terlebih dahulu oleh gracia. Namun kali ini berbeda, gracia sama sekali tak mengirimkan pesan maupun menelfon dirinya.

"Siapa shan?" Tanya desy menyelidik dibelakangnya. Shani memutar badannya menghadap desy. "Nyokapnya gracia" Balasnya santai berusaha menutupi rasa khawatirnya, desy terkejut bukan main. "Hah mampus lo, kobisa!?" Shani menaikkan bahunya acuh seakan tak peduli atas ucapannya tadi. Ia bergerak mendekati desy lalu merakul pundaknya dan berjalan menuju kamar shani. "Kenapa dulu shan!? Kok lo bisa ditelpon nyokapnya gege?" Rasa pengetahuan desy masih terlalu dalam ia sangat kepo dalam hal ini.

"Allahuakbar gue gatau maria genoveva natalia desy purnamasari gunawan" Shani mulai jengkel menghadapi pertanyaan-pertanyaan manusia jerapah dihadapannya.






***







"Sudah ketemu?" Tanya pria paruh baya dengan suara lantang. Tak ada jawaban dari lawan bicaranya, gadis itu masih menunduk dan wajahnya tertutup oleh rambutnya.

"Kalau ditanya jawab!" Lanjutnya membentak. Gadis itu mulai berani menatap mata ayahnya lekat. "Sudah pih, terus anin harus apa!?" Anin spontan membentak kembali pria itu. Tak terima anaknya berbicara dengan suara yang terdengar tak sopan, tangannya bergerak untuk menampar pipi anin.



Plak.

"Ajaran mana kamu membentak ayahmu seperti itu anin!?" Telunjuknya menunjuk tepat didepan wajah putrinya. Anin masih terpaku dengan tangannya yang masih mengelus bekas tamparan keras ayahnya. "Ma-maaf pih"

"Papih mau kamu bawa anak itu kesini"




"Anin gabisa! Jangan bawa bawa anin dalam kasus papih" Gadis itu berlutut dihadapan ayahnya, "Anin gamau terjerat kasus ini pih" Suara anin mulai bergetar, tertanda bahwa air mata akan segera keluar. Pria itu hanya mendengus kasar mengacak rambutnya kesal. "Kasus papih!? Iya!? Kamu yakin cuma kasus papih!?"





"ADIK KAMU JINAN MENINGGAL GARA GARA ANAK ITU ANIN!"

"ANIN YAKIN BUKAN KARNA DIA PIH!" Balasnya tak kalah nyaring. Pertikaian itu mengundang perhatian anak kecil yang sedang berdiri sambil memegang boneka dibelakang ayahnya. Anin ingin beranjak untuk menyusul eve, namun gagal karena gadis itu sudah berlari lebih kencang darinya. "ANIN BAKAL BUKTIIN KE PAPIH!" Kini anin benar benar mulai meninggalkan pria itu untuk kembali menyusul jejak adik kecilnya.

"Eve..." Panggil anin dengan suara yang lembut. Gadis kecil berponi berlari dan segera mendekap erat tubuh kakaknya. "Kak abin huhu kak jiban kenapa?" Air mata gadis itu tumpah diatas pundak anin, "Eve dengerin kak abin..." Anin melepaskan pelukannya untuk menghapus air mata adiknya. "Kak jiban lagi sakit sayang, dia masih bobo untuk sementara waktu. Eve jangan ganggu ya?"

Eve menggeleng kukuh tak percaya, "KAK ABIN BOHONG! KATA MAMIH KAK JIBAN UDAH GAADA!"






***





"Halo cin?"

"Iya halo ril kenapa? Tumben banget lo nelfon"

"Cin please jangan kaget ya"

"Wah kaget banget hahah kenapa dah lo tegang amat keknya"

"Cindy jangan bercanda lah"

"Iya yaudah apaansi"

"Ji-jinan meninggal..."

Tak ada jawaban yang dilontarkan dari cindy, ia meresponnya dengan tawaan.

"Hahah bercanda lo sore sore gini galucu bego ril"

"Gue serius cindy, lo galiat post-an di instagram sekolah?"




Cindy memutuskan telfonnya sepihak, ia mengotak atik ponselnya untuk membuka aplikasi yang dikatakan oleh ariel tadi. Terlihat sudah post instagram terbaru yang dipost 38 menit yang lalu. Disana terpampang wajah gadis yang ia kenal dan tertulis 'Rest In Peace Jinan Safa Cahyadi'

Cindy masih tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang, tubuhnya lemas ia tergeletak dilantai. "Jinan..."












To be continued.
Hope - httpshngrc

PENDING • HARAPAN | HOPE [GRESHAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang