Chapter 22🥥

1.4K 186 60
                                    

Judul telah diganti dan direvisi ulang( tidak ada banyak perubahan, hanya beberapa kata di setiap part)

Ngga suka ngga usah dibaca YESS!!! Dilarang ribet dan sebagainya oukeyy. Dan thanks buat yang udah mampir kesini. Enjoy

🥥🥥🥥

Sudah beberapa hari berlalu semenjak pertanyaan tidak mengenakkan yang Ali ajukan kepadanya. Tapi sampai saat ini Prilly masih merasa tidak terima dan sakit hati mendengarnya. Jadi Ali selama ini mengira dia mengenakan kontrasepsi karena tak kunjung hamil? Oh pemikiran bodoh dari mana itu. Padahal sudah jelas-jelas bagaimana terpuruknya dia saat kehilangan calon bayinya dulu. Apakah Ali mengira dulu ia tidak hanya menyesali kelalaiannya saja dan menimbulkan trauma hingga ia tidak siap jika harus mengandung lagi? Tentu ia tidak akan berpikir sempit seperti itu. Memang sampai sekarang ia masih menyesali semua itu, tapi juga ia tetap ingin memiliki buah hati.

"Shh astaghfirullah, kenapa nyerinya masih kerasa sampai sekarang?" Prilly mendesis pelan.

Ia merasa heran, pasalnya kram di perutnya belum sepenuhnya hilang dan rasa itu bisa muncul tiba-tiba. Dan anehnya lagi, darah haidnya tidak seperti biasanya. Hanya bercak-bercak flek biasa. Dan ya, jika sedang merasa nyeri hanya akan sembuh jika ia atau Ali menyentuh perutnya secara langsung. Huh, terkadang sungguh memusingkan apalagi hubungannya dengan Ali sedang canggung seperti ini.

"Mungkin lebih baik aku periksa ke rumah sakit."

Prilly bangun dari tidurnya dengan memegang perut bagian bawahnya karena rasa nyeri itu masih terasa.

"Pak, anterin saya ke rumah sakit bisa?" Ucap Prilly pada sopirnya.

"Bisa non." Tanpa banyak bertanya lagi, sopir itu segera membukakan pintu mobil untuk Prilly. Ia juga merasa sedikit khawatir saat melihat wajah pucat majikannya. Mungkin setelah sampai di rumah sakit nanti ia akan menghubungi tuannya.

"Maaf pak, kalau bisa lewat jalan yang rata ya. Soalnya perut saya kram dan rasanya sakit kalau lewat jalan yang nggak rata."

"Iya non."

Beberapa menit kemudian mobil yang Prilly tumpangi sudah sampai di rumah sakit terdekat dari rumahnya. Karena jujur saja ia tidak sanggup lagi menahan nyeri pada perutnya. Untuk masuk ke dalam saja ia harus dipapah oleh sopirnya. Dan untungnya ia tidak perlu menunggu lama karena kebetulan kondisi poli umum sedang sepi.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Sapa seorang dokter perempuan yang berjaga.

"Dok, ini nyonya saya mengeluh perutnya keram sejak tadi." Ucap Pak Bambang kepada dokter untuk mewakili Prilly.

"Baik pak, kalau begitu silahkan bapak tunggu diluar dan kami akan memeriksa beliau."

"Terimakasih dok."

Dokter itu tersenyum dan mengangguk, lalu ia menarik tirai pembatas dan mulai memeriksa Prilly. Ia meletakkan stetoskop pada perut Prilly.

"Apa yang nyonya rasakan saat saya memegang perut nyonya seperti ini?"

Prilly meringis pelan." Sakit dok."

"Kapan terakhir kali nyonya menstruasi?"

"Sejak beberapa hari yang lalu , dan itu saya pikir mens karena ada darah di celana dalam saya tapi hanya bercak-bercak saja."

"Baiklah, saya tidak bisa mengambil kesimpulan saat ini. Nyonya bisa tunggu sebentar? Saya akan memanggil dokter yang lebih mengerti dengan kondisi seperti ini."

"Iya dok." Walau bingung ia tetap menyetujuinya. Apakah penyakitnya separah itu sampai dokter ini tidak bisa menanganinya.

Tak berselang lama kemudian muncul seorang dokter wanita beserta dokter pria yang memeriksanya tadi.

My Life Journey (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang