Chapter 3

65 25 4
                                    




Happy reading


.




"Oh iya, jadi gimana perkembangan kasus itu?" Dylan kembali mengalihkan fokus pada MacBook. Memainkan jemarinya di atas keyboard. Berusaha keluar dari alur pembicaraan. "Aku dapat satu key word." Aksa terkekeh geli. Sembilan belas tahun menjalin persahabatan dengan Dylan membuatnya paham betul seperti apa tabiat lelaki itu. Pasti ada perasaan lain yang tumbuh di hati Dylan terhadap gadis tadi. Dan mungkin pula dia belum ingin bercerita tentang itu sekarang.

"Selamat menikmati. Semoga nggak ada yang kurang dari pesanan..." ucap Nevan dengan ramah setelah menghidangkan pesanan Dylan dan Aksa ke atas meja. Suara lembutnya menarik perhatian Dylan. Ia mendongak menatap pemuda itu, dan air mukanya berubah seketika. Sorotnya tak secerah sebelumnya. Ada rasa tidak terima di sana.

"Suruh teman kamu yang antar." Titahnya tegas.

"Tapi dia,"

"Kenapa?" Protes Dylan cepat. Suara baritonnya yang rendah dan dalam seakan sarat akan ketegasan. Membuat nyali Nevan menciut untuk memprotes, tak ingin berurusan dengan tentara itu.

"Tapi dia yang minta saya untuk ngantar ini semua." Jawab Nevan menahan gugup.

"Dan saya yang nyuruh kamu untuk nyuruh dia ngantar ini semua. Dengar-dengar... Pak Yudhi sangat mengutamakan pelanggannya. Tapi,"

"Ah, baik, baik. Tunggu sebentar. Saya bakal minta teman saya untuk antar pesanan Masnya ke sini." Nevan mengambil lagi gelas dan piring yang telah ia tata di atas meja, mengembalikannya ke atas nampan dengan cekatan.

Aksa menatap Dylan yang kembali fokus pada MacBook-nya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Agaknya opini yang telah ia simpulkan dalam kepalanya benar. Dylan tidak seperti biasanya. Bahkan hal sekecil ini ia permasalahkan demi bisa bertemu gadis tadi. Ini, janggal.

"Salah satu dari mereka pengin kamu yang ngantar pesanannya." Kadu Nevan pada Ileana. Kedua alis Ileana saling mengerut. Dahinya mencetak kerut samar tanda tidak terima.

"Kenapa aku?" Protesnya.

Nevan mengedik halus, "dan kayaknya, dia, laki-laki yang lebih tinggi," Ileana menoleh ke arah Dylan. Ia yakin yang dimaksud Nevan adalah laki-laki itu. "kenal sama Pak Yudhi." Lanjut Nevan berbisik.

Ileana menepuk dahinya kesal, "terus, karena dia kenal Pak Yudhi, dia bisa seenaknya merintah kita, gitu? Pak Yudhi itu terkenal seantero Kemang, Nevan Rayshiva. Kamu lugu banget sih? Bisa aja dia ngada-ngada, pura-pura kenal sama Pak Yudhi karena tahu yang punya kedai ini Pak Yudhi." Cecar Ileana tak habis pikir dengan sikap naif Nevan. Tatapan sangarnya masih mengarah pada Dylan. Pun tautan kedua alisnya belum mengendur. Lelaki itu ingin bermain kotor dengannya? Memainkan latar belakang untuk memanfaatkan orang lain? Ileana benci hal semacam ini. Ini harus segera ia tindas.

"Udah! Udah!" Nevan mengibaskan tangan. "Turutin aja. Toh dia cuma minta kamu ngantar pesanannya, 'kan? Dia nggak minta kamu ngelakuin yang aneh-aneh. Emangnya... kamu nggak takut berurusan sama tentara? Mereka bisa nembak kamu atau ledakin rudal di sini."

"Takut kenapa? Dia juga manusia kayak kita. Apa yang kita makan juga mereka makan. Kotoran mereka juga bau, sama kayak manusia lainnya. Untuk apa takut!" Cecar Ileana bersungut-sungut. Kedua tangannya sudah bertengger di pinggang saking terlalu kesalnya ia.

"Permisi! Di mana karyawan perempuan kedai ini?" Suara Dylan kembali menginterupsi, menyela perdebatan Ileana dan Nevan. "Masih hidupkah?"

"Buruan..." mohon Nevan seperti orang ketakutan. Tak ingin ada masalah di kedai ini.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang