Chapter 22

20 12 1
                                    


◇◇◇


"Kayaknya sistem navigasinya sedikit bermasalah." Lapor seorang Bintara Kanan yang sedang mengecek navigasi kapal pada Dylan.

"Coba saya lihat." Dylan mengambil alih tugas rekannya, mencoba mencari tahu sendiri kesalahan pada navigasi kapal. Dia sudah kembali bertugas di markas karena waktu yang ia pakai untuk mengumpulkan bukti-bukti - dari kasus yang sedang diselidiki - sudah selesai. Di sela kegiatannya mengecek navigasi kapal, telinga Dylan menangkap suara derap sepatu boot yang mendekat ke arahnya. Tapi dia tidak menghiraukan kehadiran orang itu. Dia hanya fokus pada pekerjaannya.

"Benar. Ada sedikit masalah di sini. Kapal ini gak akan bisa berlayar kalau navigasinya rusak. Tolong panggilkan engineer, minta dia untuk perbaiki ini."

"Siap, Kapten!" Dylan mengernyit. Suara tegas itu, Dylan sangat mengenalnya. Bukan rekannya yang mengucapkan itu. Tapi sosok lain yang suaranya sangat familier dalam keseharian Dylan. Dengan cepat ia berbalik ke belakang. Seketika matanya melebar, senyumnya mengembang sempurna.

"Kakek!" Dylan sontak berhambur memeluk lelaki berseragam Angkatan Darat di hadapannya. Hadi Reswara balas memeluk Dylan seraya menepuk-nepuk punggung kokoh sang cucu dengan bangga bersama senyum lebar yang turut tercipta.

Mereka mengurai pelukan singkat mereka. "Kakek ngapain di sini?" Tanya Dylan penasaran, sekaligus tidak percaya.

Hadi merangkul Dylan erat, menuntunnya keluar dari kapal. Rangkulan yang penuh rasa hangat. Membuat beberapa orang yang berada di sekitar mereka menatap iri melihat kedekatan kakek dan cucu itu. "Kami, dari Corps Darat mau bahas sesuatu." Bisik Hadi misterius. Menggelitik rasa penasaran Dylan.

"Mau bahas apa?"

"Kita bahas sama yang lain aja." Hadi tertawa kecil. "Karena ini bukan masalah keluarga yang bisa kita bahas berdua, ini masalah Negara." Dylan mengudarakan kekeh mendengar gurauan sang kakek seraya mengangguk-angguk. Tangannya yang melingkar di bahu sang kakek menepuk-nepuk bahu kokoh itu dengan lembut. Sepasang cucu dan kakek itu berjalan saling berangkulan akrab menuju gedung Lanal sambil sesekali bercanda. Menunjukkan betapa dekatnya mereka. (Pangkalan Angkatan Laut)

"Gimana sama cewek kedai kopi itu?" Goda Hadi. Dylan tersenyum geli. Ia rasa wajahnya memerah kini. Ciuman seminggu lalu memenuhi kepalanya. Ya, waktu memang tidak terasa berlalunya. Karena sekarang seminggu sudah lamanya Dylan meninggalkan Ileana.

.

.

.


"Let's go!" Seru Aksa penuh semangat setelah duduk di samping Dylan, lantas melilit seatbelt ke tubuh. Memijak pedal gas, Dylan mulai berkendara meninggalkan markas yang baru ia datangi tujuh hari lalu. Ia menatap lurus jalanan di depan, namun pikirannya berkelana jauh.

"Ah... seenggaknya berlayar lebih menenangkan ketimbang nyelidikin kasus pelik itu. Beruntung Corps Darat ambil alih." Desis Aksa seraya menyandarkan tubuhnya dengan tenang, sedikit menggerakkan bokong mencari posisi ternyaman.

"Tapi... kamu ngerasa gak sih kalau ini aneh? Mereka tiba-tiba ngambil alih." Dylan mengulum bibir bawahnya. Mencoba memecahkan teka-teki yang ia ciptakan sendiri. Mengais ingatan yang terpecah bak kepingan puzzle. Merangkai hasil penyelidikan mereka satu per satu.

"Enggak. Kita sama-sama pasukan militer Indonesia. Gak ada yang salah kalau mereka pengin bantu." Dylan tak lagi berargumen setelah Aksa menyuarakan pendapat. Dia memilih diam dan beradu argumen sendiri dengan benaknya.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang