Chapter 23

22 12 0
                                    

◇◇◇

"Kenapa kamu ngindarin aku?" Suara husky itu sudah pasti dia. Mendengar suaranya yang begitu dalam membuat dada Ileana serasa terhimpit, rongga di dadanya kian menyempit, terasa semakin sesak di dalam sana. Bahkan untuk mengais oksigen saja rasanya begitu sulit. Tenggorokannya terasa kering kerontang, perih akibat menahan ledakan air mata.

"Pergi. Jangan halangi jalanku." Ileana tak berani mendongak. Menatap wajah Dylan hanya akan membuatnya semakin terluka. Hanya akan mengubur dalam keinginan yang sudah ia bangun.

"Mamaku ngelakuin sesuatu sama kamu?" Terka Dylan straight to the point.

"Aku gak mau ketemu kamu lagi." Mata Dylan melebar melihat kehadiran tiba-tiba seseorang dari balik punggung Ileana. Tangannya dengan cekatan menahan ayunan botol bir pecah yang nyaris menghantam kepala gadis itu. Darah dari telapak tangan Dylan menetes ke bahu Ileana. Suara pecahan botol terdengar saat Dylan menjatuhkan botol itu ke tanah. Satu pukulan telak darinya mendarat di wajah lelaki asing itu, membuatnya tumbang dan tak sadarkan diri seketika. Dylan mendekat guna mengecek kondisi lelaki yang tengah mabuk berat.

Selagi Dylan lengah, Ileana bergegas pergi. Namun ternyata Dylan bergerak lebih cekatan dari yang ia duga. Lelaki itu berhasil menangkap lengan Ileana menggunakan tangannya yang terluka.

"Kasih tahu aku, apa yang bikin kamu jadi kayak gini?" Tanyanya dingin. Ada kecewa yang terselip dalam vokalnya. Ileana menghentak tangan Dylan sekuat yang ia bisa. Dan berhasil terlepas. Bukan dia yang terlalu kuat, tapi Dylan yang mengalah. Gadis itu berlalu meninggalkan Dylan yang terpaku di tempat. Menatap punggung mungilnya dengan beribu pertanyaan yang memenuhi benak. Kedua tangannya terkepal erat. Tangannya yang terluka mengeluarkan darah semakin banyak lantaran kepalannya yang terlalu kuat. Tak ingin terlalu lama menerka-nerka, Dylan segera pulang. Dia tahu siapa yang harus ia temui kini.

.

.

"Ma! Mama!" Suara tinggi Dylan menggema memenuhi mansion, terdengar hingga ke ruang keluarga.

"Apa yang udah Mama lakuin sama Ileana?!" Derai tawa hangat yang terdengar dari ruang bersantai mansion keluarga Kagendra sontak terhenti kala suara tegas Dylan menanjak. Hadi yang juga sedang berada di sana tampak keheranan akan hal itu. Cucu kebanggaannya tak pernah semarah ini. Pasti ada sesuatu yang dilakukan Harini yang berhasil membuat Dylan marah sehebat ini.

"Dyl, tangan kamu!" Jovanka yang juga ikut berkumpul bersama keluarga Kagendra hendak menggapai tangan Dylan yang berlumuran darah di bagian telapak. Namun dengan kasar Dylan tepis.

"Dan kamu!" Dylan menunjuk Jovanka dengan murka. Jari telunjuknya yang mengacung pada wajah si perempuan bergetar hebat. Amarah benar-benar sudah membakar habis kesabarannya. "Pasti kamu penyebab ini semua!"

"M-maksud kamu? Maksud kamu apa, Dylan? Aku gak ngerti." Tanya Jovanka dengan wajah kebingungan. Dalam hati ketakukan setengah mati. Ia tahu, murkanya Dylan malam ini pasti berhubungan dengan Ileana. Mungkin saja mereka sudah bertemu, dan gadis itu menceritakan tentang pertemuan mereka pada Dylan. Pikirnya.

Dylan menyugar rambutnya ke belakang sembari memejamkan mata, mencoba meredam emosi yang meledak-ledak dalam dada. Ia memainkan lidah di dalam mulut sebelum memberi ancaman yang tidak main-main. "Jangan pernah ngusik hidup aku," ia menatap Jovanka dan Harini bergantian. Suaranya sedikit lebih rendah, namun dalam. "kalau masih ingin lihat aku ada di rumah ini." Dylan berlalu, masuk ke dalam kamar dengan langkah lebar. Darah di tangannya menetes, seirama dengan langkah lebar Dylan. Berikutnya suara hempasan pintu terdengar nyaring dari ruang bersantai di lantai dasar. Agaknya benda kayu itu juga menjadi tempat pelampiasan amarah Dylan.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang