Chapter 13

40 16 0
                                    

Melihat Jovanka tiba-tiba berada di dalam kamarnya, Dylan lekas membalut tubuh dengan kaos putih yang tergeletak di atas kasur.

"Kamu gak tahu tata krama, hah? Kenapa gak ngetuk pintu dulu? Sembarangan banget masuk kamar orang. Kamu gak tahu 'kan pemiliknya lagi ngapain di dalam. Gimana kalau aku lagi gak pakai apa-apa tadi?" Tegur Dylan begitu ia selesai memasang kaosnya, lalu menjemur handuk di walk in closet.

Bukannya takut dengan teguran Dylan bersama tatapannya yang tajam, Jovanka malah tersenyum tersipu. Wajahnya merona membayangkan ucapan Dylan barusan. "Berlebihan banget sih kamu. Santai aja kali. Toh kita juga bakalan nikah." Dylan hanya dapat tersenyum kecut menanggapi. Enggan membalas ucapan Jovanka yang satu itu. Dia dan Jovanka tidak akan pernah menikah, Dylan bersumpah. Dylan juga sudah lelah menyangkal semua impian Jovanka untuk menikah dengannya. Jadi dia biarkan saja perempuan itu berimajinasi sendiri sesuka hati.

"Ngapain ke sini?" Tanya Dylan sekembalinya ia menjemur handuk.

"Aku cuma mau bawain sarapan untuk calon suami aku." Dylan menyunggingkan senyum masam. Demi Tuhan, dia bingung dengan sahabatnya itu. Kata apa lagi yang harus ia ucapkan untuk menghentikan ini semua? Dylan muak sejujurnya. Lelah menampik semua ucapan Jovanka yang mengarah ke sana. Tidak tahu cara apa lagi yang harus ia gunakan guna menghentikan angan-angan Jovanka yang ingin menikah dengannya. Dylan lelah, namun dia tidak akan menyerah. Dia tidak akan mengalah menerima perjodohan ini dengan lapang dada. Dia sudah dewasa, sudah bisa menentukan pilihannya sendiri. Termasuk pilihan untuk pasangan hidup. Dan Jovanka bukan perempuan yang ia pilih untuk mendampinginya hingga akhir nanti. Dylan sudah menetapkan pilihannya sendiri, dia telah memilih perempuan yang akan menghabiskan hari bersamanya hingga dia menutup mata. Dan perempuan itu tentu bukan Jovanka.

"Hm. Terserah apa kata kamu. Yang pasti, sekali lagi aku tekankan, kita gak akan pernah menikah, Vanka. Jangan terlalu berharap. Jatuh dari ketinggian itu sakit." Balas Dylan seraya mengancingkan kemeja yang sedang ia kenakan.

"Aku tahu kok." Jawab Jovanka dilengkapi senyuman manis. Dia sama sekali tak marah atau merasa tersinggung dengan peringatan Dylan. Sebab sudah sering Dylan berkata demikian. Namun Jovanka tak akan gentar. Bagi Jovanka sendiri, apa yang sudah dijanjikan menjadi miliknya harus dia miliki. Termasuk Dylan. Harini telah berjanji akan menikahkan Dylan dengannya. Dan Harini tak bisa mengikari itu. Dia harus menepati janjinya. Toh seandainya Dylan menolak, Harini pasti akan turun tangan. Itu sebabnya Jovanka tak gentar kendati Dylan selalu menolak. Karena jika Harini sudah bertindak, semuanya bisa terjadi. Tidak menutup kemungkinan untuk membuat Dylan menjadi miliknya, seutuhnya.

"Kamu mau kemana?" Tanya Jovanka saat melihat Dylan mengutak-atik kamera kesayangannya. Selain mencintai dunia militer dan laut, Dylan juga mencintai fotografi. Beberapa foto yang terpajang di kamarnya adalah hasil jepretan Dylan sendiri. Indah dan mengagumkan. Dan satu lagi kecintaan Dylan bertambah, pada si gadis kedai kopi.

"Nggak tau." Jawab Dylan apa adanya. Dia tidak tahu kemana tempat yang akan dia tuju untuk menghabiskan waktu senggangnya. Hari ini dia sedang dibebaskan dari tugas-tugas rumitnya. Dia akan mengistirahatkan tubuhnya sejenak.

Dia memang belum tahu hendak menghabiskan hari di mana. Tapi satu yang Dylan tahu dan tidak akan ia lewatkan, dia akan menemui Ileana. Itu satu tujuan yang pasti yang sudah Dylan bulatkan menjadi kewajibannya saat ia lepas tugas dinas. Dan setelah itu dia tidak tahu akan kemana. Seharian berada di Sweet Coffee juga bukan ide yang buruk.

"Kalau gitu temanin aku latihan piano hari ini, ya?" Pinta Jovanka antusias. Senyumnya tercetak lebar. Liburnya Dylan menjadi peluang besar bagi Jovanka untuk bisa menghabiskan hari bersama lelaki itu. Dan dia tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang