Chapter 34

15 11 0
                                    




◇◇◇



Ileana terperanjat kecil di kursinya. Kelopak matanya mengerjap beberapa kali kala tumpukan berkas jatuh di atas mejanya, dihempaskan oleh seseorang. Pandangan Ileana naik, menatap seorang perempuan yang menatapnya dengan kedua alis menukik tajam, bersama seringai yang terbit di celah bibir. Mengetahui dia senior di kantor tempatnya bekerja, Ileana lekas berdiri dan sedikit menundukkan kepala memberi hormat.

"Kerjakan berkas-berkas itu. Isinya tentang beberapa kasus yang terjadi dalam satu tahun ke belakang. Dan cari pasal-pasal hukum yang berkaitan sama kasus-kasus itu. Kamu baru 'kan di sini? Saya mau lihat seperti apa kemampuan kamu."

"Baik, Bu. Saya mengerti." Balas Ileana.

"Bagus. Sebelum pulang kembalikan berkas-berkas itu sama saya, dengan kondisi seperti yang saya minta.”

"Tapi, Bu…" Ileana tak jadi memprotes saat kepala Harini sedikit memiring, seakan menunggu kalimatnya dengan tak sabaran.

"Tapi kenapa? Kamu nolak?" Potong wanita paruh baya itu sengit.

"Tidak, Bu." Jawab Ileana dengan seulas senyum tipis. Memendam dalam-dalam keinginan untuk meminta waktu lebih untuk mengerjakan pekerjaannya.

"Bagus kalau gitu. Memang seharusnya seperti itu." Dengan kedua tangan yang saling menyilang di depan dada, Harini meninggalkan meja Ileana. Ileana mendesah pelan. Ia menatap sedih tumpukan berkas di atas mejanya yang tingginya hampir menyamai tinggi komputer Ileana. Dan berkas segunung itu harus ia selesaikan hingga sore nanti? Yang benar saja. Hingga nanti malam saja berkas-berkas itu belum tentu terselesaikan. Ileana juga harus menyelesaikan pekerjaannya, bukan hanya berkas-berkas itu saja yang harus ia uleti hari ini. Namun Ileana tak bisa berbuat lebih. Seperti kata ibu kekasihnya itu, dia baru di sini, kemampuannya memang harus diuji kendati Ileana rasa ini berlebihan.

"Jangan nyerah, Lea. Kamu pasti bisa!" Desisnya mencoba menyemangati diri sendiri. "Semangat!" Membuka bulpen dengan gigi, kedua tangannya bergerak lincah membuka berkas-berkas di hadapan. Bersiap perang.



●●



Ileana menaikkan pandangannya kala merasa ada seseorang yang berdiri di depannya. Refleks ia berdiri dan membungkuk hormat pada orang itu. Dia, lagi. Makan siangnya pasti tak akan nyaman.

"Gak ada meja yang layak untuk saya. Saya boleh ‘kan makan di sini?" Alih-alih menunggu tanggapan Ileana, Harini langsung saja mendaratkan bokongnya di seberang Ileana. Ileana melirik meja-meja yang ada di kafetaria dengan ekor mata. Ada banyak sekali meja kosong di sini. Perempuan ini memilih meja yang sama dengannya pasti karena ingin memulai perang. Sama seperti putra wanita itu, agaknya Ileana sudah bisa membaca pikiran seseorang sekarang.

"Tentu boleh, Bu." Ileana kembali duduk, menyantap makan siangnya dengan canggung.

"Jadi kamu masih berhubungan sama anak saya?" Pertanyaan telak Harini membuat Ileana nyaris tersedak makanannya. Dia tahu, berada di satu meja yang sama dengan Harini bukanlah hal yang baik untuknya.

Kendati makanannya baru tersentuh sedikit, meninggalkannya tak akan membuat Ileana merasa rugi sepertinya. Dia harus menyelamatkan hatinya terlebih dahulu. "Um, Bu, saya minta maaf sebelumnya karena saya gak bisa nemani Ibu sampai selesai. Masih banyak berkas yang harus saya urus." Pamit Ileana sebelum beranjak pergi meninggalkan Harini.

Sepasang manik Harini menyipit, menatap Ileana penuh intimidasi. "Hm... anak saya itu tentara, berpangkat tinggi pula. Dia dihormati di lingkungannya. Kenapa bisa suka sama perempuan yang gak tahu tata krama kayak kamu?" Mata Ileana mulai mengembun. Ucapan Harini bak gilingan cabai yang diletak tepat di atas matanya. Membuat matanya terasa panas. "Saya penasaran sama kamu." Sambung wanita itu. Dia menyantap makan siangnya dengan begitu tenang. Bahkan sejak mereka duduk berhadapan, Harini hanya sekali memandang Ileana. Itu pun hanya untuk mengintimidasi. Tak ada kehangatan sama sekali dalam sorotnya.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang