"Vanka!" mendengar namanya diteriakkan dengan girang, Jovanka menggerakkan kepala dengan liar mencari si pemanggil. Saat ia mendongak, ia dapati si pemanggil berada di balkon dari sebuah bangunan mewah yang akan Jovanka kunjungi. Di sana, wanita yang selama ini ia anggap sebagai calon mertuanya berdiri melambaikan tangan. Wanita itu tersenyum lebar padanya seakan menyambut kedatangan Jovanka dengan kebahagiaan yang tak terkira.
"Pagi Ma!" Sapa Jovanka yang juga melambaikan tangan pada Harini.
"Tunggu sebentar!" Jovanka mengangguk saat Harini memberi intruksi agar ia menunggu. Agaknya wanita itu sekarang sedang menuruni tangga untuk mendatanginya.
Dan tepat. Hanya berselang beberapa menit, Harini telah berdiri di hadapan Jovanka. Mereka saling berpelukan singkat, kemudian Harini mencium kedua pipi Jovanka.
"Masuk yuk." Ajaknya dengan hangat. Mereka masuk ke dalam mansion saling berangkulan erat.
"Dylan ada?"
"Ada dong. Emangnya dia mau kemana lagi, Sayang? Kalian ada rencana mau keluar?" Tanya Harini penasaran.
"Sebenarnya enggak, Ma. Aku cuma pengin latihan piano diantar Dylan hari ini."
"Oh ... bisa dong. Dylan dengan senang hati bakal antar kamu."
"Dia masih lama di sini?"
"Kayaknya enggak, Sayang. Mungkin besok atau lusa dia balik ke markasnya." Raut di wajah Jovanka seketika terukir murung. Harini bisa melihat dengan jelas adanya kecewa yang bergelayut di wajah cantik itu. Membuatnya merasa bahwa dia harus menenangkan perempuan itu. "Tenang aja... Walaupun Dylan selalu jauh dari kamu, dia gak akan kemana-mana. Dia bakal tetap jadi milik kamu." Jovanka mengulas senyum tipis. Mereka tiba di ruang makan dan memilih berbagi cerita di sana.
"Tapi, Ma …,"
"Ya?" Harini tersenyum hangat, namun terlihat begitu tidak kontras dengan Jovanka. Perempuan itu malah terlihat murung. Tentu saja ekspresi itu memancing kekhawatiran Harini lagi. Harini sangat takut Jovanka kecewa, terluka, atau bersedih karena Dylan. Karena dia sepenuhnya menyerahkan Jovanka pada putranya. Tak akan ia biarkan Dylan menyakiti Jovanka barang hanya seujung kuku. Jovanka juga sudah ia anggap seperti putrinya sendiri sejak kecil. Apa pun yang membuat Jovanka merasa disakiti atau tersakiti, Harini akan menjadi orang pertama yang akan menghalau sumber kesakitan calon menantunya itu. Terlebih Jovanka sudah tidak memiliki ibu lagi. Membuat Harini merasa dialah satu-satunya wanita yang bisa membuat Jovanka kembali merasakan kasih sayang seorang ibu.
"Apa Dylan... mencintai perempuan lain, Ma?" Dahi Harini mengerut, ekspresinya tampak tak setuju dengan pertanyaan Jovanka yang malah terdengar seperti pernyataan.
"Enggak dong, Sayang. Dia cuma cinta sama kamu. Sebentar lagi 'kan kalian mau menikah. Setelah Dylan selesaiin tugas yang lagi dia tangani sekarang, Mama janji kalian akan menikah." Harini tersenyum hangat seraya mengusap lembut tangan Jovanka yang diletak perempuan itu di atas meja, meyakinkan sang calon menantu.
"Enggak, Ma. Dylan mencintai perempuan lain." Sangkal Jovanka. Suaranya mulai bergetar pertanda dia akan menangis. Tidak. Harini tidak akan membiarkan Jovanka menangis, terlebih di hadapannya. Dan dia tidak boleh terlihat panik. Itu hanya akan membuat Jovanka semakin ingin menangis. Dia harus terlihat tenang namun peduli. Terlebih jika Jovanka menangis karena putranya. Tidak akan pernah Harini biarkan.
"Ei... bicara apa kamu ini? Dylan cuma cinta sama kamu, Vanka. Gak ada yang lain." Jovanka mengeluarkan ponsel dari tas jinjingnya, memperlihatkan hasil jepretannya kemarin pada Harini, potret putra wanita itu yang memeluk perempuan lain.
"Terus, perempuan ini siapa, Ma?" Refleks Harini rampas ponsel Jovanka guna memperjelas gambar yang terlihat samar dalam netranya. Begitu gambar itu tampak jelas, mata Harini melebar. Raut-raut amarah juga mulai tercipta. Dia tidak terima tentu saja. Apalagi melihat perempuan itu tak sama dengan mereka, membuat darah Harini mendidih. Dia pasti perempuan penjilat. Perempuan seperti apalagi yang tidak setara dengan mereka yang mendekati putranya jika bukan untuk ikut mencicipi harta mereka? Seandainya pula ada orang lain yang mengetahui hal ini, bisa-bisa keluarga Kagendra akan dipandang rendah akibat ulah memalukan putranya. Yang benar saja, putra pengacara terkenal dan konglomerat ternama, cucu Mayor Jenderal Angkatan Darat Indonesia memeluk seorang karyawan kedai kopi? Itu tidak etis bagi Harini. Ini petaka yang harus segera dihentikan sebelum berlanjut semakin jauh.
"Di mana kamu ambil gambar ini, Sayang?" Harini kembalikan ponsel Jovanka. Wajahnya berubah datar setelah melihat foto itu. Jovanka tahu, calon mertuanya mulai murka. Terlihat jelas dari wajahnya yang berusaha keras meredam emosi.
"Di Sweet Coffee, kedai kopi di daerah Kemang." Harini mendesah pelan. Berusaha meredam rasa geram di hati.
"Oke, ini bakal jadi urusan Mama. Kamu jangan khawatir." Harini tersenyum lembut pada Jovanka, mencoba menenangkan perempuan itu. "Sekarang pergilah temui Dylan. Dia ada di kamar. Kayaknya dia gak sibuk hari ini. Bangunin dia dan pergilah berdua kemana pun yang kamu suka. Dylan pasti siap nemanin." Jovanka ikut tersenyum lebar. Raut murung tadi sirna begitu saja dari wajahnya.
"Serius, Ma?" Tanya Jovanka antusias. Diberi Harini anggukan kepala penuh keyakinan.
"Kalau gitu aku bakal minta Dylan ngantar aku latihan piano hari ini." Ucap Jovanka antusias.
"Kenapa cuma ngantar? Bahkan kamu bisa minta Dylan nemanin kamu latihan sampai selesai. Mama yakin dia gak bakal keberatan." Usul Harini.
"Okay! Oh ya, Dylan udah sarapan, Ma?"
"Kayaknya belum, Sayang. Dia belum turun dari tadi."
"Kalau gitu biar aku bawain sarapan untuk dia." Jovanka berdiri dan segera ke dapur. Tak ada rasa canggung untuk melakukan apa saja di rumah keluarga Kagendra. Rumah ini sudah seperti rumahnya sendiri karena sejak kecil Jovanka sudah sering bermain di sini. Dan tak ada seorang pun dari penghuni rumah ini yang merasa terganggu akan hal itu. Malah mereka semua menyenanginya, termasuk Dylan sendiri.
"Kamu memang calon istri yang sempurna untuk Dylan, Vanka." Desis Harini penuh rasa bangga, mengamati Jovanka yang tampak sibuk menyiapkan sarapan untuk putranya.
Nampan Jovanka telah diisi dengan satu gelas susu dan dua buah croissant. Ia berjalan dengan langkah hati-hati menaiki tangga menuju kamar Dylan. Senyumannya kian melebar ketika ia berdiri di depan pintu kamar Dylan. Tangannya yang tidak memegang nampan memutar gagang pintu pelan-pelan, takut membangunkan sang penguasa ruangan.
Sadar tak ada suara apa pun yang terdengar, Jovanka membuka pintu semakin lebar. Dan yang ia dapati hanya kekosongan di dalam kamar itu. Segera ia alihkan pandangannya pada balkon ruangan besar itu. Pintu balkon terbuka, itu artinya si pemilik berada di sana. Jovanka letak nampannya di atas nakas lantas berjalan ke balkon dengan langkah yang ia usahakan tidak menimbulkan suara. Ingin memberi kejutan untuk Dylan.
"Vanka?" Jovanka terperanjat mendengar suara rendah Dylan. Baru ia hendak berbalik akan menghampiri Dylan, lelaki itu malah lebih dulu mendatanginya. Menyadari satu hal, kedua matanya seketika membulat. Pemandangan menakjubkan berkali-kali lipat terpampang di hadapannya. Dylan sangat mempesona pagi ini. Bahkan Jovanka rasa wajahnya memanas karena pemandangan itu.
Pertama kali dalam hidupnya ia melihat Dylan seperti ini. Memakai jins hitam tanpa memakai apa-apa sebagai atasan, membuat tubuh bagian atasnya yang kekar dan kokoh terpampang jelas di hadapan Jovanka. Dihias dengan ukiran berbentuk kotak-kotak di perutnya. Ditambah dengan handuk kecil yang menggantung di bahu serta tetesan air rambut yang jatuh ke dada. Ini adalah pemandangan terindah yang pernah Jovanka lihat. Agaknya Dylan baru selesai membersihkan diri.
Penampilannya yang seperti ini benar-benar mempesona. Berkali-kali lipat lebih tampan dibanding saat dia memakai seragam kebanggaannya. Mungkin jika Dylan memilih merambah dunia akting, Jovanka pastikan karirnya akan melesat dalam sekejap. Dia akan menjadi bintang yang selalu bersinar. Namun sayang, Dylan lebih memilih menyakiti dirinya sendiri. Entah apa yang dia banggakan dengan profesinya yang sekarang, Jovanka tidak tahu. Yang dia tahu hanya Dylan berlayar, mengarungi laut setiap hari, menangkap musuh di laut, lalu pulang dengan badan penuh memar. Dan dia tidak pernah mau meninggalkan profesinya kendati nyawanya selalu nyaris terenggut. Jovanka heran, beribu cara juga sudah ia dan Harini lakukan untuk membujuk Dylan agar meninggalkan profesinya. Semata-mata hanya karena mengkhawatirkan keselamatan lelaki itu sendiri. Namun selalu gagal. Dylan kukuh pada pilihannya. Dylan lebih memilih mengikuti jejak kakeknya dan terus berusaha meraih pangkat tertinggi dalam militer. Jovanka dan Harini pada akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain membiarkan Dylan dengan pilihannya yang berbahaya. Mereka hanya dapat berdoa, memohon agar Tuhan selalu menjaga Dylan ketika bertugas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
One Man Million Feelings
Romance- 𝐎𝐧𝐞 𝐌𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐥𝐢𝐨𝐧 𝐅𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠𝐬 - Malam itu, Dylan Arkana Kagendra hanya ingin melepas penatnya setelah seharian penuh bekerja dengan menikmati kopi kesukaannya - caramel macchiato - di sebuah kedai kopi kecil di sudut kota. Senyap...