Chapter 30

19 12 0
                                    


◇◇◇

Ileana tiba di anak tangga paling atas, berjalan dengan langkah santai menuju unitnya. Tubuhnya agak lelah, mungkin dia akan istirahat lebih awal malam ini. Ia merogoh ponsel di saku blazernya, dan tak ada satu pun kabar dari Dylan masuk. Ileana mendesah kecewa seraya menyimpan kembali ponselnya. Ia sudah tiba di depan pintu. Memutar kunci pada lubangnya, dan pintu pun terbuka.

"Huwaaaaa!" Pekik Ileana terkejut kala ia berbalik setelah menutup pintu, mendapati seseorang berbaring di sofanya dengan damai. Ileana mendekat guna melihat orang itu kendati ia yakin sosok itu adalah seseorang yang ia kenal.

"Kak?" Benar. Perkiraannya tidak meleset. Siapa lagi manusia yang bisa masuk ke dalam rumahnya selain Kapten Angkatan Laut itu. Bahkan Nevan saja tidak tahu nomor berapa rumahnya. Meski dia mengizinkan Nevan datang kapan saja, tapi Ileana belum memberitahunya. Tadi pun Nevan belum bisa singgah lantaran dia masih sibuk.

"Kak Dyl?" Ileana melambai-lambaikan tangan di depan wajah Dylan. Tak ada respon. Mata Dylan tertutup begitu rapat seoah diberi perekat. Ia terkekeh geli melihat Dylan yang tampak lelap dalam tidurnya.

"Kamu nunggu aku, ya?" Ileana bertanya retoris. Tangannya merapikan rambut Dylan seraya memandangi wajah terlelap lelaki itu yang tampak menggemaskan. Rasa kecewanya lantaran tak mendapat notifikasi dari Dylan lindap sudah. Karena kabar sosok yang ditunggu-tunggu sejak tadi sudah berada di depan mata, dan tampak baik-baik saja.

"Duh... kasihannya..." Ileana masuk ke dalam kamarnya. Lalu kembali lagi untuk membalut tubuh Dylan dengan selimut. "Kamu kecapean, ya?" Masih pukul tujuh malam. Menyiapkan makan malam ia rasa masih bisa. Dylan juga pasti belum makan.

Merasa ada kehangatan yang membalut tubuhnya, Dylan berjengit. Di celah kelopak mata yang sedikit terbuka Dylan menangkap selimut abu-abu membalut tubuhnya. Ia membuka sebelah matanya, mencoba mencari tahu di mana dia berada sekarang.

Mendengar adanya suara berisik dari arah dapur, Dylan mengangkat kepalanya dan menoleh ke sana. Siluet seorang perempuan baru saja melintas, tampak menyibukkan diri di sana. Dylan memejamkan mata sejenak, lalu berdiri mendekati Ileana. Bersandar di lemari es seraya bersedekap, tepat di belakang Ileana tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kyaaa! Kamu!" Pekik Ileana yang lagi-lagi mendapat serangan jantung ringan dari Dylan. Ia terkejut saat hendak membuka lemari es, mendapati lelaki itu yang entah sudah berapa lama berdiri di sana. "Kalau kamu ke sini cuma untuk bikin aku ngidap penyakit jantung, tanpa mengurangi rasa hormat, tinggalin rumah ini." Usir Ileana dengan tangan yang mengarah pada pintu, petunjuk jalan keluar untuk Dylan. Dylan berdiri tegap menatap Ileana lurus. Wajahnya terlihat datar, tak ada ekspresi berarti yang dapat Ileana baca di sana. Ileana menelan ludah getir. Oke, dia merasa bersalah sekarang.

"So-" namun ungkapan maaf Ileana terpotong saat Dylan memeluk erat tubuhnya. Dalam hati lelaki itu bersyukur, ini benar-benar perempuan yang ia rindukan, yang selalu menyemprotnya dengan teriakan dan makian lucunya.

"Kamu bener-bener udah kembali, 'kan? Kamu gak akan ninggalin aku lagi, 'kan?" Ileana mengerjap beberapa kali, merasa kebingungan. Apa Dylan benar-benar merasa sebegitu kehilangan saat dia pergi? Mengapa Ileana rasa seberlebihan ini?

"Iya." Ileana membalas pelukan Dylan, mengelus punggung lebarnya dengan lembut. "Aku gak akan pergi lagi." Dylan mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Ileana.

"Kamu harus tetap di sini, tetap sama aku. Kamu gak boleh pergi lagi."

"Iya." Mereka saling melempar senyum setelah menciptakan jarak. Namun suasana romantis itu buyar seketika setelah suara keroncongan perut Dylan mengisi keheningan yang tercipta. Membuat mata Ileana membulat terkejut menatap Dylan. Sedang yang ditatap tertawa renyah, tanpa beban dan rasa malu.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang