Chapter 38

13 12 0
                                    




◇◇◇



Sialnya, pagi tadi Dylan sangat sibuk. Bahkan hingga sekarang. Ia tak bisa meluangkan waktunya sebentar sekadar untuk menemui Nevan. Terpaksa ia gunakan jam istirahat makan siangnya untuk menemui lelaki itu di kantor polisi. Dan agaknya dewi fortuna sedang memihak padanya kini. Dia mendapati Nevan berada di pekarangan depan kantor polisi bersama rekannya. Agaknya mereka hendak makan siang bersama. Lekas Dylan keluar dari mobilnya dan menghadang Nevan dengan emosi yang meledak-ledak. Ia yakin lelaki itu yang sudah mengubah Ileana-nya. Pasti dia yang memaksa Ileana untuk meninggalkannya.

"Berengsek!" Dylan menarik kerah kemeja Nevan dan hendak melayangkan sebuah tinjuan telak pada wajahnya. Namun todongan pistol dari Azlan di kepalanya menahan tindakan Dylan. Ekor mata Dylan melirik tangan Azlan yang siaga di pelatuknya, memberi Dylan peringatan agar tidak bertindak lebih. Ia menghentak tarikannya pada kerah kemeja Nevan, sedikit menghempasnya. Membuat tubuh Nevan terdorong ke belakang.

"Apa seperti ini sifat asli seorang Kapten?" Sindir Azlan sengit. Melihat Dylan mulai mendingin, Azlan menyimpan kembali pistolnya.

"Saya mau bicara sama dia." Alih-alih menanggapi kalimat skeptis Azlan, Dylan lebih memilih mengutarakan tujuan kedatangannya.

"Sepuluh menit dari sekarang." Ucap Azlan.

"Apa?" Dylan memprotes, menatap Azlan tidak terima. Azlan mengeluarkan ponselnya, menyalakan timer dan mengatur waktu mundur dalam hitungan sepuluh menit.

"Sepuluh menit dari sekarang." Peringat Azlan sekali lagi.

"Tunggu, saya butuh bicara empat mata sama dia." Tahan Dylan. Berusaha mempengaruhi Azlan agar memberinya sedikit kelonggaran.

"Dia anggota saya. Kalau terjadi sesuatu sama dia, saya yang harus bertanggung jawab. Di depan saya aja Anda berani bersikap kasar sama dia. Tentu saya gak akan lepasin dia bersama Anda tanpa pengawasan dari saya." Azlan orang yang cerdas. Dari cara lelaki itu bicara saja Dylan sudah bisa menilai. Tipe orang yang sulit untuk dikelabui dan diajak bernegosiasi. Terpaksa membuat Dylan harus mengalah.

"Oke." Dylan akhirnya mengalah. Ia kembali menatap Nevan sengit, yang mendapat tatapan tak kalah sengit dari sang lawan bicara. "Apa yang udah kamu bilang sama Lea semalam? Kenapa dia berubah setelah kalian bicara?" Tanya Dylan dengan vokal yang terdengar datar. Sementara kedua tangannya saling mengepal erat menahan gelegak emosi. Ucapan Ileana pada saat terakhir mereka bertemu kembali berputar dalam kepala Dylan. Dan hal itu berhasil memancing emosinya kembali memenuhi kepala.

"Tanyakan itu pada Hadi Reswara, Kakek Anda." Jawab Azlan.

"Ini sama sekali gak ada hubungannya sama Kakek saya. Gak usah beralibi." Sanggah Dylan tidak terima.

"Jam makan siang kami gak banyak. Permisi." Azlan merangkul bahu Nevan, membawa juniornya itu menjauh dari Dylan.

"Tunggu!" Dylan menghadang Azlan dan Nevan. Masih menuntut penjelasan karena belum menemukan titik terang. "Tolong jelaskan sama saya, kenapa Ileana berubah sekarang?" Dylan menatap Nevan lurus. Lelaki itu tidak bersuara sejak mereka berdiri berhadapan. Hanya Azlan yang menjadi juru bicaranya. Dia tidak bersuara sama sekali. Dan itu sukses membuat Dylan geram. Ingin sekali rasanya ia layangkan tinju ke mulut lelaki itu agar dia buka suara.

"Apa masih kurang jelas? Tanyakan itu pada Kakek Anda. Dan tolong, jangan membuat Korps Laut menjadi ikut buruk. Cukup Korps Darat saja yang mendapat nilai buruk. Jangan membuat satuan Anda menjadi buruk hanya karena tindakan gegabah Anda. Atau jangan-jangan, kalian menjadi Angkatan memang untuk ini?" Azlan dan Nevan melewati Dylan sekali lagi - yang masih dibalut kekalutan. Sama sekali tidak mengerti dengan perubahan Ileana yang malah dikaitkan Azlan dengan kakeknya, ditambah lagi polisi muda itu menyebut-nyebut satuan militernya. Dan rasanya kepala Dylan hendak pecah lantaran gelegak emosi yang semakin menguasai diri.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang