Chapter 18

24 9 0
                                    

◇◇◇

"Pagi..." sapa Pramana dengan hangat, berjalan seraya merapikan kerah kemeja. Lalu duduk di kursi ujung di ruang makan, diapit oleh istri dan putra tunggalnya. "Gimana tugas kamu, Dyl? Udah selesai?" Tanyanya membuka percakapan pagi mereka.

"Udah, sepuluh persen. Hehe..." jawab Dylan dengan senyuman.

"Wow, berarti masih ada sembilan puluh persen lagi yang harus kamu selesaikan, Son." Ucap Pramana turut antusias. Dylan mengangguk dengan senyuman yang belum memudar. "Kamu bisa?" Ia tatap putra kebanggannya itu dengan wajah menggoda.

"Bisa dong... Papa gak lupa, 'kan, dari kecil aku udah suka tantangan." Pramana tertawa kecil seraya mengacak rambut Dylan. Walaupun Dylan sudah dewasa, bahkan sudah menjadi Perwira Pertama yang menjabat sebagai Kapten di kemiliteran Laut Indonesia, mengacak rambutnya menjadi hal favorit yang tidak pernah hilang dari Pramana. Dan Dylan tidak pernah merasa kesal atau malu. Dia sendiri juga sangat suka dengan perlakuan hangat sang ayah tersebut.

"Good boy!" Puji Pramana. Menjadi seorang konglomerat terkenal tidak membuat Pramana menjadi pribadi yang angkuh. Dia tetap menjadi Pramana Cawisadi Kagendra yang Dylan kenal sejak kecil, yang penuh dengan kelembutan dan kehangatan, dan selalu menjadi panutan. Dia adalah sosok ayah yang diinginkan semua orang. Dylan merasa sangat beruntung memilikinya.

Kegiatan sarapan mereka dimulai, diselingi percakapan hangat khas kekeluargaan, membuat suasana hangat seperti ini menjadi suasana yang selalu Dylan rindukan dan tak akan pernah terlupakan kendati anggota keluarga mereka tak ramai.

"Selamat pagi, Ma, Pa, dan... My Captain, Dylan Arkana Kagendra." Ekor mata Dylan mendelik tak suka pada arah sumber suara. Ia tahu, si cewek manja nan penuntut sudah datang guna menagih janjinya. Ini bukan karakter baru Jovanka. Sifat manja dan cengeng sudah melekat pada dirinya sejak Jovanka kecil karena dia terlalu dimanja oleh setiap orang yang berada dalam ruang lingkup kehidupannya termasuk Dylan sendiri. Sejujurnya Dylan pun suka-suka saja memanjakan Jovanka, memperlakukannya bak putri kerajaan. Namun setelah perjodohan antara mereka direncanakan, semuanya berubah total. Perjodohan yang memupuk rasa benci Dylan terhadap Jovanka sedikit demi sedikit. Itu semua karena Jovanka menerima perjodohan konyol itu dengan tangan terbuka, membuat Dylan merasa bahwa perempuan itu sudah mengkhianati persahabatan mereka.

"Hai, Sayang. Sini..." Harini menyentuh kedua bahu Jovanka, menuntun perempuan itu agar duduk di sebelahnya. "Kenapa baru datang sih? Kita baru aja selesai sarapan. Harusnya kamu datang lebih cepat tadi supaya kita bisa sarapan sama-sama." Suara lembut Harini membuat telinga Dylan berdengung. Ibunya itu selalu bisa mengimbangi sikap manja Jovanka. Yang pastinya akan membuat Jovanka merasa semakin dimanja di keluarga ini. Dan Dylan sama sekali tidak suka itu. Kendati memang sikap dasar Jovanka manja, tapi bukan berarti semua orang harus mengimbanginya. Dia tidak akan bisa hidup bersama sikap manjanya itu selamanya.

Jovanka memang manja, sejak kecil. Namun tidak seberlebihan ini. Dylan hanya merasa, semenjak adanya rencana perjodohan mereka, sikap kekanakan sahabat kecilnya itu semakin menjadi saja. Dan itu terasa menggelikan plus memuakkan.

"Aku sengaja datang jam segini karena gak mau ganggu sarapan keluarga Kagendra, Ma." Jawab Jovanka dengan suara yang dibuat seolah merasa bersalah.

"Ngomong apa sih kamu ini... kamu gak pernah ganggu kita, Sayang. Malah kita senang kamu gabung sama kita." Tampik Harini.

"Tapi Dylan selalu bilang aku pengganggu." Sungut Jovanka dengan bibir melengkung ke bawah.

Harini menghardik putranya yang tampak tak peduli dengan keadaan sekitar, lalu tersenyum hangat pada Jovanka seraya mengelus lembut surai coklat pekat perempuan itu. "Dylan kayak gitu karena dia lagi capek sama pekerjaannya, Sayang." Alibi Harini.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang