Chapter 21

23 13 1
                                    

◇◇◇

Dylan menghampiri ayah dan ibunya yang sudah lebih dulu menghuni ruang makan seraya membetulkan posisi baret di kepala, sementara lengan kanan menggendong ransel besar. Kedua orangtuanya sudah berada di meja makan guna mendahului sarapan. Dylan sengaja meminta mereka untuk lebih dulu memulai sarapan, tak perlu menunggunya karena dia akan turun sedikit lebih lama lantaran menyiapkan segala keperluan yang akan dibawa ke markas. Dia tak sempat menyiapkannya semalam.

"Kamu pergi sepagi ini?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Harini kala presensi Dylan sudah bergabung di ruang makan. Ia mulai curiga. Lebih-lebih setelah mendapati hal memuakkan semalam, setiap pergerakan kecil Dylan menimbulkan kecurigaan besar di hatinya. Merasa setiap tindakan Dylan harus dipantau, setiap langkah kakinya harus diikuti.

Dylan menarik satu kursi di sisi kiri Pramana. Menarik kursi yang satunya lagi sebagai tempat ranselnya. "Hm. Jam tujuh ntar aku mimpin apel pagi." Dylan meraih sepiring sandwich yang sudah dihidangkan untuknya, didampingi segelas susu putih.

"Kamu gak nunggu Vanka dulu?" Tanya Harini dengan arah pandang menatap lurus putranya yang tengah menikmati sarapan dengan tenang. Sejujurnya merasa bangga melihat Dylan dengan atribut lengkap di seragam loreng abu-abu itu. Terlihat gagah dan berwibawa. Namun alangkah lebih menawan lagi jika Dylan memilih mengenakan setelan suit dan dasi, fokus dengan tumpukan berkas di atas meja.

"Enggak. Untuk apa?" Dylan menatap ibunya heran, sementara mulutnya terus bekerja mengunyah. Seleranya agak sedikit menyurut jika topik yang diseret di meja makan adalah Jovanka. Bersumpah dalam hati akan benar-benar meninggalkan meja makan jika topik ini diperpanjang. Masa bodoh dengan perutnya yang kosong.

"Dia pengin ngantar kamu." Gurat kesal mulai mencuat di wajah angkuh Harini. Dia tidak bodoh untuk menangkap raut tak suka di wajah putra tunggalnya.

"Aku gak perlu diantar." Balas Dylan tak acuh.

"Dylan ...," Dylan berdiri, membetulkan letak ransel besar di bahu, membuatnya nyaman untuk ia gendong. "kamu kenapa sih? Kenapa kamu berubah drastis kayak gini? Kamu ngelupain keluarga kamu sendiri cuma karena-"

"Aku pergi, Ma, Pa. Aku gak boleh telat." Dylan mencium pelipis ayah dan ibunya secara bergantian. Lalu keluar dari istananya tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Awalnya ia berniat sarapan bersama mereka, sarapan bersama untuk yang terakhir sebelum ia kembali ke markas. Namun menangkap arah lain percakapan yang diciptakan sang ibu, Dylan memilih untuk segera keluar dari rumah. Dia tidak main-main. Andai saja yang dibahas ibunya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan Jovanka, Dylan bisa saja menghabiskan waktunya sedikit lebih lama dengan orangtuanya. Untuk saat ini, Dylan benar-benar menghindari topik yang melibatkan Jovanka, setidaknya sampai rencana konyol itu dibatalkan.

"Dia udah dewasa. Biarin dia menjalani hidupnya seperti apa yang dia mau. Dia bisa nentuin pasangannya sendiri. Kita gak perlu cariin atau maksa dia. Jangan terlalu mencampuri kehidupan pribadi Dylan." Tegur Pramana dengan tenang dan penuh wibawa. Tak berniat menciptakan suasana panas di meja makan, terlebih di pagi hari. Apalagi perdebatan hanya karena masalah sepele.

"Apa menurut Papa wajar kalau dia lebih milih seorang pelayan kedai kopi?" Balas Harini. Berharap sang suami akan setuju dengan opininya. Mencari aliansi agar rencananya dipermudah.

"Kalau dia bahagia, kenapa enggak?" Harini mendengus sebal. Ia muak, tak ingin membahas ini lebih lanjut lagi. Sudah pasti dia akan kalah. Nafsu makannya menyurut. Lantas ia nyalakan ponselnya guna menghubungi Jovanka untuk mengatur rencana. Pasti ada yang tak beres dengan Dylan yang berangkat sepagi ini.

.

.

Senyum Dylan mengembang lebar. Buru-buru ia keluar dari mobil menghampiri gadis yang hendak masuk ke dalam Sweet Coffee.

One Man Million FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang